Menikah merupakan salah satu ibadah dalam agama Islam. Namun ternyata terdapat bentuk pernikahan batal yang artinya, pernikahan tersebut menjadi tidak sah.
Pernikahan batal itu berbeda dengan pernikahan rusak. Pasalnya, pernikahan rusak adalah pernikahan yang tak memenuhi syarat.
Baik pernikahan batal maupun rusak, keduanya memiliki hukum yang sama. Berkenaan dengan itu, menarik membahas pengertian dan bentuk-bentuk pernikahan batal dalam Islam.
Pengertian Pernikahan Batal
Pernikahan batal adalah pernikahan yang tidak memenuhi rukun. Pernikahan batal tidak ada konsekuensi apapun seperti pernikahan yang sah.
Konsekuensi yang dimaksud yakni yang ada pada pernikahan yang sah berupa mahar, nafkah, nasab, mahram atas pernikahan, maupun masa iddah. Hal ini masuk akal karena pernikahan itu dianggap tidak terjadi.
Bentuk Pernikahan Batal
Pernikahan yang batal terdiri dari 9 bentuk. Berikut ini masing-masing bentuk dan penjelasan lengkapnya:
1. Pernikahan Syighar
Pernikahan batal jenis syighar adalah pernikahan seorang laki-laki menikahkan putri atau saudara perempuannya dengan laki-laki lain dengan mahar berupa dirinya dinikahkan dengan puri laki-laki tersebut. Ungkapan akadnya yakni: “Aku nikahkan engkau dengan putriku dengan mahar engkau menikahkanku dengan putrimu.”
Akad tersebut pun menjadi tidak sah karena terdapat gabungan dua akad dan menjadikan akad masing-masing sebagai mahar. Namun, jika akad itu tidak menjadikan akad masing-masing sebagai maharnya, maka pernikahannya tidak sah.
2. Pernikahan Mut'ah
Pernikahan batal jenis mut'ah adalah pernikahan yang dibatasi waktu tertentu. Artinya, seharusnya pernikahan adalah ikatan selamanya, bukan per periode. Perceraiannya tidak boleh disyaratkan sejak awal.
Contoh akadnya yakni: “Aku menikahimu selama satu bulan.” “Aku menikahimu hingga aku selesai menempuh pendidikan.” maupun “Aku menikahimu hingga aku mencampurimu dan menjadikanmu halal bagi suami yang telah menalakmu dengan talak tiga.”
3. Pernikahan Orang Ihram
Pernikahan orang yang sedang ihram dianggap pernikahan batal, baik haji, umrah, maupun keduanya. Hal ini sesuai dengan sabra Rasulullah SAW: “Orang yang ihram tidak boleh menikah dan tidak boleh dinikahkan.”
Selain menikah, orang yang sedang ihram boleh rujuk atau menjadi saksi pernikahan. Alasannya, rujuk adalah melanjutkan perkawinan, bukannya mengawali pernikahan.
4. Pernikahan dengan Beberapa akad
Pernikahan batal ini adalah ketika dua orang wali menikahkan seorang perempuan dengan dua laki-laki yang tidak diketahui dengan pasti siapa yang akadnya lebih dahulu. Jika diketahui akad yang dilakukan lebih dahulu, maka akad itu yang sah.
Jika salah seorang laki-laki itu menggaulinya, maka ia wajib memberikan mahar mitsil atau mahar yang belum disepakati. Jika keduanya menggaulinya, maka perempuan berhak mahar mitsil juga dari keduanya.
5. Pernikahan Perempuan Beriddah dan Istibra dari Mantan Suami
Pernikahan batal yang berikutnya yakni pernikahan seorang perempuan yang beriddah serta sedang istibra dari mantan suaminya. Istibra yakni menyucikan diri atau dalam hal ini istri tidak melakukan hubungan dengan mantan suaminya.
Jika laki-laki menikahi perempuan ber-iddah dan menggaulinya, maka ia harus dikenakan hukuman. Hukuman itu tidak dikenakan jika ia tidak mengetahui status keharaman menikahi perempuan ber-iddah dan istibra.
6. Pernikahan dengan Perempuan yang Ragu atas Kehamilannya Sebelum Habis Masa Iddah
Pernikahan batal selanjutnya yakni ketika seorang laki-laki menikahi wanita yang ragu atas kehamilannya ketika belum habis masa iddah. Keharaman itu akan hilang jika keraguannya iddah.
Keharaman itu tetap ada meski masa iddah dengan 3 kali masa suci telah habis. Artinya, keharaman tersebut muncul dari keraguan yang ada.
7. Pernikahan Muslim dengan Perempuan Non-Muslim
Pernikahan batal selanjutnya yakni pernikahan seorang muslim dengan perempuan non-muslim selain ahli kitab asli. Contohnya yakni penyembah berhala, penyembah api atau majusi, matahari, murtad, atau perempuan kitabiyyah yang tidak murni seperti keturunan kitabi dan majusi maupun sebaliknya.
Hal ini selaras dengan firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman,” (QS al-Baqarah [2]: 221).
Kitabiyyah adalah perempuan nasrani dan yahudi. Perempuan yahudi boleh dinikahi apabila asal-usul agama yahudinya tidak termasuk ke dalam agama yahudi setelah di mansukh.
Perempuan nasrani juga boleh dinikahi jika diketahui jelas asal-usul agama nasraninya masuk ke dalam agama nasrani sebelum di-mansukh. Mansukh artinya dihapuskan atau diganti.
Dasar kebolehan ini selaras dengan firman Allah SWT:
"(Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu," (QS al-Maidah [5]: 5).
Maksudnya kitab yang diberikan ke mereka adalah Injil dan Taurat. Hal ini tidak termasuk kitab lain seperti Suhuf Nabi Syits, Suhur Nabi Idris dan Suhur Nabi Ibrahim A.S.
8. Menikahi Perempuan yang Pindah dari Agama ke Agama Lain Selain Islam
Perempuan itu tidak boleh dinikahi kecuali ia berpindah ke agama Islam.
9. Pernikahan Muslimah dengan Lelaki Non Muslim Maupun Perempuan Murtad dengan Lelaki Muslim
Pernikahan batal ini dilarang atas dasar ijma' ulama. Jika antara suami atau istri ada yang murtad sebelum bergaul, maka pernikahannya menjadi batal.
Jika antara suami atau istri bergaul dan murtad maka wajib ada masa iddah. Jika keduanya dipersatukan kembali pada masa itu, maka pernikahannya berlanjut. Jika tidak, maka pernikahannya terputus.