Sejarah Pemberontakan DI/TII di Indonesia

historia.id
Ilustrasi, Kartosuwirjo dibawa ke Kepulauan Seribu.
Editor: Agung
12/7/2023, 09.25 WIB

Salah satu pemberontakan yang pernah terjadi di Indonesia adalah Darul Islam (DI) Tentara Islam Indonesia (TII). Pemberontakan ini meluas di berbagai daerah di Indonesia. berkaitan dengan itu, menarik membahas sejarah pemberontakan DI/TII.

DI/TII disebut sebagai pemberontakan tersulit di Indonesia karena tersebar di Jawa, Sulawesi, Aceh, dan Kalimantan. Kartosuwirjo memimpin DI/TII di Jawa Barat dengan mendirikan Pesantren Sufah yang juga menjadi tempat latihan kemiliteran Hizbullah dan Sabilillah.

Darul Islam juga memiliki tentara sendiri yakni Tentara Islam Indonesia (TII). TII itu bentukan laskar Hizbullah atau tentara Allah dan Sabilillah atau Jalan Allah. Oleh sebab itu disebut dengan DI/TII.

Awal Mula DI/TII dan Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat

Kartosuwirjo dibawa ke Kepulauan Seribu (historia.id)

Negara Kurnia Allah-Negara Islam Indonesia (NKA NII) atau yang dikenal sebagai DI artinya wilayah, rumah, atau negara Islam. Tokoh Masyumi Jawa Barat bernama Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo merupakan komandan tertinggi gerakan tersebut.

Kartosurwijo dan pengikutnya menegaskan NII itu adalah implementasi pesan-pesan Islam yang kaffah. Bahkan pendiri organisasi Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Baraja juga pernah bergabung dengan NII karena visinya yang sama.

Sejarah pemberontakan itu berawal pada 1948, saat pemerintah menandatangani Perjanjian Renville yang mengharuskan pengikut RI mengosongkan Jawa Barat dan pindah ke Jawa Tengah. Bagi Kartosuwirjo ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan rakyat Jawa Barat.

Kemudian ia dan 2000 lebih pengikutnya menolak pindah dan mendirikan NII. Pemerintah berupaya menyelesaikan dengan cara damai yakni dengan membentuk komite yang dipimpin Natsir selaku Ketua Masyumi. Namun tidak berhasil dan pada 1949, pemerintah melakukan penumpasan DI/TII yang disebut Operasi Bharatayuda.

Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat berakhir dengan Kartosuwirjo ditangkap di Gunung Beber. Operasi Pagar Betis itu berhasil membatasi ruang gerak DI/TII.

Kartosuwirjo pun dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Mahkamah Darurat Perang pada 16 Agustus 1962. Sebelum dijatuhi hukuman mati, ia meminta bertemu dengan keluarga.

Pemberontakan DI/TII Jawa Tengah

Amir Fatah - Pemberontakan DI/TII (historia.id)

Sejarah pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah yakni sebuah pemberontakan yang dipimpin Amir Fatah dan Mahfu’dz Abdurachman atau Kyai Somalangu. Amir Fatah adalah komandan Hizbullah di Mojokerto, Sidoarjo, dan Tulangan.

Amir Fatah memproklamasikan diri bergabung dengan DI/TII di Tegal dan diangkat sebagai Komandan Pertempuran Jawa Tengah berpangkat Mayor Jenderal TII. Kyai Somalangu pun melakukan pemberontakan DI/TII bersama Angkatan Umat Islam (AUI) yang dipimpinnya.

Keduanya bergabung dalam pimpinan Kartosuwirjo. Pemberontakan di Jawa Tengah menguat pasca Batalion 624 pada 1951 membelot dan menggabungkan diri dengan DI/TII Kudus dan Magelang.

Pemerintah RI membentuk Banteng Raiders untuk mengatasi pemberontakan itu. Banteng Raider melakukan serangkaian operasi penumpasan DI/TII yakni Operasi Gerakan Banteng Negara (OGBN) yang dipimpin Letkol Sarbini dan diganti kemudian oleh Letkol M. Bachrun dan berikutnya oleh Letkol A. Yani.

Pemberontakan DI/TII Jawa Tengah berakhir pada 1954. Untuk atasi pembelotan Batalyon 624, pemerintah melancarkan Operasi Merdeka timur yang dipimpin Letkol Soeharto.

Pemberontakan DI/TII Aceh

Sejarah Pemberontakan DI/TII Aceh terjadi pada 20 September 1953 yang dipimpin Daud Beureueh. Pemberontakan ini muncul usai pernyataan proklamasi berdirinya NII dipimpin Kartosuwirjo dan muncul rasa kecewa oleh pimpinan masyarakat Aceh. Alasannya, Presiden Soekarno dinilai berbohong menjanjikan Aceh boleh menerapkan syariat Islam dan menjadi provinsi Indonesia.

Daud pun memberontak dan memutuskan bergabung dengan DI/TII Kartosuwirjo. Pemerintah berupaya mengatasi dengan militer dan diplomasi. Militer yakni Operasi 17 Agustus dan Operasi Merdeka. Diplomasi yakni dengan mengirim utusan ke Aceh dan berdiskusi dengan Daud.

Pemerintah pun akhirnya memberi hak otonomi kepada Aceh sebagai Daerah Istimewa Aceh dan menerapkan syariat Islam. Pemberontakan DI/TII di Aceh dapat diselesaikan secara musyawarah pada 1962.

Pemberontakan DI/TII Sulawesi Selatan

Pemberontakan DI/TII (www.antarafoto.com)

Sejarah pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan yakni berlangsung pada 1950 hingga 1965 yang dipimpin Kahar Muzakkar, pemimpin Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). Pemberontakan ini muncul usai perbedaan cara pandang pemerintah dengan Kahar muzakkar yang berkaitan dengan reorganisasi APRIS/TNI.

Muzakkar pun menyarankan seluruh anggotanya mendaftar ke Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Namun banyak yang ditolak karena tidak memenuhi syarat. Kahar pun kecewa dan mulai memberontak.

Aksi pertama pada 1950 hingga 1952. Aksi kedua yakni 1953 hingga 1965. TNI membentuk Operasi Baratayudha untuk mengatasi ini. Waktu yang diperlukan agar selesai yakni 12 tahun. Pemberontakan ini usai setelah Kahar Muzakkar ditembak mati.

Pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan

Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan dipimpin Ibnu Hajar, dan terjadi pada 1950. Alasan pemberontakan ini adalah ketidakpuasan Ibnu terhadap reorganisasi TNI yakni ALRIS Divisi IV yang merupakan kelompok dirinya bertugas.

Baginya, reorganisasi ini membuat beberapa anggota ALRIS Divisi IV diberhentikan karena tidak memenuhi syarat termasuk Ibnu. Ibnu pun kecewa dan membentuk Kesatuan Rakyat yang Tertindas. Penyerangan pertamanya ke kesatuan tentara di Kalimantan Selatan pada Maret 1950.

Untuk mengatasinya, pemerintah menerima Ibnu kembali ke dalam APRIS. Namun setelah diberi persenjataan lengkap, Ibnu justru melarikan diri dan melanjutkan pemberontakannya.

Ia sempat sembunyi di dalam hutan agar terhindar dari kejaran TNI. Namun usai diberi janji pengampunan, Ibnu bersedia menyerahkan diri pada 1963, dan sempat ditahan dua tahun sebelum dikirim ke Jakarta yakni ke Mahkamah Militer pada Maret 1965. Ia kemudian dijatuhi hukuman mati dan meninggal dunia pada 22 Maret 1965.