Pada masa penjajahan Jepang, bangsa Indonesia pernah mengalami pengerahan tenaga rakyat secara paksa yang dikenal sebagai romusha. Romusha meninggalkan catatan menyedihkan bagi bangsa Indonesia, sabab menimbulkan banyakkorban jiwa.
Dikutip dari laman kemdikbud.go.id, romusha adalah sistem kerja paksa yang diterapkan Jepang kepada penduduk Indonesia saat masa penjajahan. Dalam bahasa Jepang romusha memiliki arti serdadu pekerja.
Para penjajah membentuk kelompok-kelompok penduduk pribumi dan menjadikan mereka sebagai buruh kasar di bawah kekuasaan Jepang. Romusha berlangsung selama tiga tahun dari 1942 sampai 1945.
Latar Belakang Romusha
Awalnya, romusha dilakukan secara sukarela dan dipekerjakan tidak jauh dari tempat tinggal. Bahkan, gelombang pertama romusha dilepas dengan adanya upacara kebesaran.
Akan tetapi pada gelombang kedua dibutuhkan banyak tenaga kerja, sehingga memaksa kepala keluarga menyerahkan anak lelakinya untuk bekerja. Pihak Jepang tidak lagi menginginkan pengangguran, mereka menginginkan semua penduduk bekerja untuk Jepang.
Kepala desa diperintahkan untuk menyediakan warganya guna melaksanakan pekerjaan yang diperintahkan oleh pihak Jepang. Rakyat diklasifikasikan sesuai dengan statusnya di masyarakat dan jenjang pendidikannya, yakni rakyat buta huruf, rakyat pandai baca tulis, rakyat cerdik cendekiawan, alim ulama, dan tokoh adat.
Walaupun telah merekrut banyak tenaga kerja, mereka tetap menginginkan tambahan pekerja untuk dieksploitasi. Bahkan penjajah Jepang juga melakukan razia di setiap jalan dan menangkap siapa pun yang mereka temukan untuk memperkuat barisan romusha.
Tujuan Romusha
Tujuan romusha adalah untuk membuat tempat-tempat pertahanan dan meningkatkan hasil produksi pertanian. Pekerjaan berat yang dilakukan oleh romusha adalah membangun kubu-kubu pertahanan, terowongan bawah tanah dan daerah perbukitan, lapangan terbang, dan bangunan militer di garis depan.
Perlakuan penjajah Jepang kepada para romusha untuk memenuhi tujuannya bahkan lebih keji daripada apa yang terjadi pada para pekerja rodi. Para romusha bekerja tidak mengenal waktu, karenanya begitu banyak di antara mereka yang tumbang karena kelaparan dan beberapa lainnya tewas karena dibunuh.
Tenaga kerja romusha juga dikirim ke luar negeri seperti Burma, Malaysia, Thailand dan Indocina.
Dampak Romusha Bagi Bangsa Indonesia
Dampak romusha bagi bangsa Indonesia membuat banyak kematian, kesakitan, kekurangan makan, sampai terjadi banyak kecelakaan ketika bekerja. Pada 1943 Jepang melakukan propaganda baru.
Romusha digambarkan sebagai tugas suci untuk pahlawan kerja dan prajurit ekonomi. Romusha membuat perubahan struktur di Indonesia berubah.
Pemuda yang bekerja sebagai tani menghilang dari desa karena takut dikirim untuk bekerja romusha. Berikut dampak romusha bagi bangsa Indonesia.
Banyak Memakan Korban
Salah satu dampak romusha bagi rakyat Indonesia adalah tingginya angka korban jiwa. Pada perkembangannya, para romusha tidak hanya dipekerjakan di daerahnya, tetapi dimobilisasi secara paksa sampai ke luar pulau dan luar negeri.
Mereka juga tidak hanya dipekerjakan dalam hitungan bulan, tetapi lebih dari satu tahun. Di tempat kerjanya, romusha mengalami penderitaan yang besar akibat beban berat yang tidak diimbangi dengan asupan makan yang cukup atau fasilitas kesehatan.
Kondisi tersebut membuat mereka mengalami kelaparan dan mudah terserang penyakit. Belum lagi perlakuan tidak manusiawi dan siksaan yang harus mereka terima dari para pengawas proyek.
Hasilnya, banyak romusha yang menderita kurang gizi, busung lapar, bahkan meninggal dunia akibat kelelahan, kelaparan, dan terserang penyakit. Jawa adalah sumber utama para pekerja romusha, yang dikirim Jepang ke beberapa wilayah jajahannya di Asia Tenggara.
Sayangnya, jumlah romusha yang dikerahkan Jepang secara keseluruhan dari berbagai negara tidak pernah diketahui pasti, begitu pula dengan korbannya. Perkiraan jumlah romusha di Indonesia sangat bervariasi, antara 2 juta hingga 10 juta.
Kemiskinan
Kemiskinan merupakan dampak pengerahan romusha di bidang sosial. Meski teratur menerima upah, hasil yang didapatkan romusha sangat sedikit.
Besaran upah yang diterima tergantung pada kemampuan tenaga mereka. Umumnya, upah yang rendah langsung dipotong untuk dikirim ke keluarga mereka di desa.
Sayangnya, yang yang dikirim banyak yang tidak sampai ke tangan keluarga mereka karena diselewengkan oleh beberapa pejabat yang bersangkutan. Hasilnya, perempuan tidak hanya bingung dengan keberadaan atau keadaan suaminya, tetapi juga harus menanggung beban ekonomi yang demikian berat.
Bahan Pangan Sangat Langka
Dampak negatif kebijakan romusha di bidang pertanian adalah menurunnya produksi karena berkurangnya jumlah petani di desa. Pada masa penjajahan Jepang, terjadi berbagai blokade oleh Sekutu yang mengakibatkan kelangkaan pangan.
Kelangkaan pangan semakin menjadi ketika romusha direkrut secara besar-besaran. Para romusha umumnya adalah laki-laki.
Akibatnya, desa mengalami kekosongan tenaga pria yang seharusnya bisa mengerjakan sawah. Kelangkaan bahan pangan pun berimbas pada terjadinya kelaparan yang luar biasa di daerah pedesaan.
Perubahan Struktur Sosial
Penderitaan yang dialami oleh para romusha beredar dari mulut ke mulut, sehingga banyak pria yang melakukan segala cara untuk menghindar. Para pria, terutama yang masih muda, pergi dari desanya, meninggalkan perempuan, anak-anak, orang tua, dan orang-orang cacat.
Struktur sosial di desa pun bergeser, di mana banyak pekerjaan kemudian dilakukan oleh tenaga perempuan, bahkan anak-anak. Mereka harus bertahan hidup sendiri, karena tidak mengetahui kapan kepulangan suami atau ayahnya.
Tidak sedikit pula yang tidak kembali pulang karena meninggal atau sama sekali tidak diketahui jejaknya.