4 Cerita Rakyat NTT yang Melegenda dan Sarat Pesan Moral

pexels/Suzy Hazelwood
Ilustrasi, bahan bacaan.
Penulis: Ghina Aulia
Editor: Safrezi
2/2/2024, 22.56 WIB

Cerita rakyat merupakan salah satu bentuk ekspresi sastra suatu masyarakat dari kebudayaan tertentu. Pengertian ini disampaikan oleh Hutomo (dalam Emzir: 2009). Maka dari itu, karangan ini sifatnya anonim dan berkaitan erat dengan suatu budaya.

Di Indonesia, umumnya tiap daerah memiliki cerita rakyat yang juga dikenal sebagai legenda. Singkatnya, legenda merupakan salah satu jenis cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi.

Terkait dengan itu,, kali ini kami juga akan menyertakan cerita rakyat NTT. Meski tidak terbukti kebenarannya, sebagian menjadi legenda yang seiring perkembangan zaman justru mengandung nilai hiburan. Berikut lengkapnya.

Cerita Rakyat NTT

1. Sebuah Cerita dari Pulau Roti

Alkisah pada zaman dahulu kala hiduplah seorang nenek dan cucunya yang tinggal di Pulau Roti, Nusa Tenggara Timur. Mereka memiliki ladang dan menanam sayuran. Setiap hari si Nenek menjual sayuran hasil ladang mereka ke pasar.

Pada suatu pagi, seperti biasa nenek akan pergi ke pasar.
Sebelum dia pergi, dia meminta cucunya untuk memasak. “Tolong masak nasi untuk makan siang. Tapi masak satu butir nasi saja. Sudah cukup untuk kita berdua. ”

“Kenapa, Nenek?” tanya gadis itu.

“Lakukan saja apa yang aku katakan!” kata nenek.

Sang nenek kemudian pergi ke pasar. Kemudian, gadis itu mulai memasak. Namun, dia merasa sebutir beras tidak akan cukup untuk mereka.

“Saya pikir itu tidak cukup untuk saya dan nenek saya,” kata gadis itu dalam hati.

Kemudian dia mengambil dua genggam beras. Tiba-tiba, sesuatu yang buruk terjadi pada panci nasi.

“Oh tidak! Beras mengalir keluar dari pot! ” teriak gadis itu.

“Apa yang harus saya lakukan?”

Nasi menjadi bubur nasi, dan itu mengalir keluar terus menerus sampai menutupi dapur. Tiba-tiba, sang nenek pulang ke rumah. Gadis itu menjelaskan apa yang terjadi.

“Kamu adalah gadis nakal! Mengapa kamu tidak mendengarkan saya? ” nenek itu sangat marah.

Dia memukul gadis itu dengan tongkat kayu.

“Maafkan aku, Nenek!” gadis kecil itu menangis dan menangis.

Tapi nenek terus memukulnya. Kemudian, sesuatu yang luar biasa terjadi! Gadis itu berubah menjadi monyet. Monyet kemudian lari dan memanjat pohon. Sang nenek mengejar si monyet.

Dari pohon, si monyet berkata. “Nenek, aku sudah menjadi monyet sekarang. Aku tidak bisa hidup denganmu lagi. Kamu sendirian. ” Kemudian monyet itu memanjat pohon dan menghilang didalam hutan.

Sang nenek sangat sedih. Dia menyesali apa yang dia lakukan pada cucunya yang tercinta.

“Tolong kembali padaku. Tolong maafkan aku, cucuku!” tapi sudah terlambat.

Gadis kecil itu telah berubah menjadi monyet dan tidak pernah pulang. Orang-orang di Pulau Roti percaya cerita ini. Dan itulah sebabnya sampai sekarang, orang-orang di Pulau Roti tidak pernah memukul anak-anak mereka atau anak orang lain. Mereka takut anak itu akan berubah menjadi monyet.

2. Suri Ikun dan Dua Burung

Di Pulau Timor, ada seorang petani yang memiliki empat belas anak, tujuh laki-laki dan tujuh perempuan. Hasil kebun mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup karena sering dirusak babi hutan. Petani itu pun menugaskan anak laki-lakinya untuk menjaga kebun. Namun, hanya ada satu anaknya yang pemberani, yaitu Suri Ikun.

Suatu malam, kakak tertua mengajak Suri Ikun mencari gerinda milik ayahnya di tengah hutan. Namun saat mencari, Suri Ikun ditinggal sendiri di tengah hutan. Lalu, Para hantu hutan menangkap Suri Ikun. Mereka mengurung Suri Ikun di dalam gua. Pada gua itu ada celah kecil, membuat sinar matahari bisa masuk. Karena kurus, para hantu memberi Suri Ikun makanan agar lekas gemuk. Setelah gemuk, barulah Suri Ikun akan mereka mangsa.

Suatu hari, Suri Ikun melihat dua ekor anak burung kelaparan. Ia pun memberi mereka makanan. Singkat cerita, burung-burung itu tumbuh besar dan kuat. Mereka ingin membalas jasa Suri Ikun. Kedua burung itu menyerang para hantu. Lalu, mereka menerbangkan Suri Ikun ke daerah aman. Di lokasi itu, burung-burung tersebut menciptakan istana. Di sanalah Suri Ikun hidup dengan bahagia. Itulah balasan bagi Suri Ikun yang baik dan mau berbagi.

3. Puteri Bete Dou

Manek Bot dan Bete Dou adalah anak laki-laki dan perempuan seorang raja. Bete Dou adalah seorang putri yang cantik jelita. Seluruh keluarga sangat menyayanginya. Saking sayangnya, sang Raja serta sang Permaisuri membuatkan rumah kecil di atas pohon beringin besar dan rimbun. Tujuannya agar sang Putri aman dari segala bahaya. Manek Bot diberi tugas untuk membuat rumah tersebut.

Jika ingin datang ke rumah itu, Manek Bot menyediakan tangga yang terdiri dari dua puluh satu anak tangga. Dua puluh satu anak tangga itu terbagi menjadi tujuh anak tangga besar, tujuh sedang, dan tujuh kecil. Sang Raja meminta sang Putri untuk menetap di rumah pohon itu.

Sang Putri pun melalui kehidupan seorang diri di rumah pohon tersebut. Pekerjaan sehari-harinya adalah menyulam dan menganyam tikar. Karena bosan dan sedih, saat malam ia sering menyanyikan lagu-lagu sedih.

Suatu malam, seorang putra raja dari Kerajaan Loro yang bernama Mane Loro mendengar lagu sedih Putri Bete Dou. Mane Loro segera terbang untuk menemukan sumber nyanyian itu. Hingga tibalah ia di rumah pohon Putri Bete Dou. Ia terkejut mendapati seorang putri cantik sedang menganyam tikar sambil bernyanyi. Mane Loro langsung jatuh hati.

Mane Loro segera berkenalan dengan Putri Bete Dou. Tak menunggu lama, keduanya sudah akrab. Beberapa hari kemudian, mereka berkeinginan untuk menikah. Setiap malam, Mane Loro mengunjungi Bete Dou. Mereka saling bersenda gurau hingga menjelang pagi.

Suatu malam, Manek Bot mengunjungi adiknya. Saat itu, ia melihat adiknya sedang berbincang dengan seorang laki-laki. Ia pun marah. Mane Loro segera turun dan buru-buru menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya dengan jelas. Mendengar hal tersebut, amarah Manek Bot mereda. Ia pun segera menyarankan agar keduanya segera menghadap sang Raja.

Singkat cerita, orang tua Bete Dou dan Mane Loro saling memberi restu. Tak berapa lama, keduanya pun menikah. Setelah menikah, Mane Loro memboyong istrinya pulang ke Kerajaan Loro. Oleh ayahnya, Mane Loro diangkat menjadi raja. Sejak itu, Mane Loro dan Bete Dou hidup bahagia dan saling mengasihi.

4. Tampe Ruma Sani

AIkisah pada zaman dulu ada seorang anak perempuan yang suka menguncir rambutnya yang panjang bernama Tampe Ruma Sani. Namanya memang agak sulit, tetapi artinya begitu bermakna untuk masa depannya.

Tampe Ruma Sani sudah setahun ditinggal mati oleh ibunya. Kini dia hidup bernama ayah dan adik lelakinya. Karena ayahnya bekerja sebagai nelayan dan adiknya masih sangat kecil, maka hampir semua pekerjaan rumah dilakukan oleh Tampe Ruma Sani. Setiap hari ia bertugas memasak, membersihkan rumah serta ikut menjual hasil tangkapan ayahnya. Meskipun demikian, gadis kecil itu tak pernah mengeluh.

Suatu hari, Tampe Ruma Sani bertugas menjual ikan hasil tangkapan ayahnya kemarin. Ia menjualnya ke pasar pagi-pagi, dan sebelum sore hari keranjang ikannya sudah kosong. Semua ikannya habis terjual. Tampe Ruma Sani segera pulang.
Di tengah perjalanan, ia disapa oleh seorang perempuan.

“Anak manis, bagaimana ikan yang engkau jual sudah habis padahal hari belum lagi sore.” tanya seorang perempuan tersebut.

“Saya menjual ikan-ikan itu dengan harga murah agar lekas habis, sebab saya harus mengurus adik lelaki saya yang masih kecil, juga memasak untuk makan kami bertiga,” jawab Tampe Ruma Sani.

“Oh! ternyata engkau punya adik kecil juga, siapakah namanya?”

”Adik lelakiku bernama Laga Ligo.”

Perempuan itu terus menanyakan beberapa pertanyaan, seolah ingin sekali tahu banyak mengenai keluarga Tampe Ruma Sani. Gadis manis yang lugu itu pun tak punya prasangka buruk, ia menjawab setiap pertanyaan dengan ceria.

Perempuan itu ternyata bermaksud untuk menikahi ayah Tampe Ruma Sani. Sejak perkenalannya dengan gadis itu, ia datang beberapa kali ke rumahnya. Perempuan itu mencoba mengambil hati ayah Tampe Ruma Sani. Ia ikut membantu mengerjakan pekerjaan rumah dan mengasuh Tampe Ruma Sani dan Laga Ligo. Lama kelamaan, hati ayah Tampe Ruma Sani pun Iuluh dan ia menikahi perempuan itu agar kedua anaknya ada yang mengurus. Kini, perempuan itu menjadi ibu tiri Tampe Ruma Sani.

Tampe Ruma Sani pun senang karena tugasnya menjadi ringan. Ia tak perlu lagi mengerjakan pekerjaan rumah, semua sudah dilakukan ibu tirinya. Ia dapat menjual ikan dengan tenang, tanpa harus terburu-buru pulang. Namun hal itu tidak berarti Tampe Ruma Sani berpangku tangan. Ia tetap membantu ibu tirinya di rumah.

Sang ibu tiri kerap meminta Tampe Ruma Sani untuk menumbuk padi. Ia berpesan agar beras yang masih utuh harus dipisahkan dengan beras kecil yang sudah hancur. Tampe Ruma Sani tak paham mengapa beras-beras itu harus dipisahkan, tapi ia menuruti kehendak ibu tirinya.

Beberapa bulan setelah ibu tiri tinggal di rumah, ia mulai berubah. Awalnya perempuan itu bersikap baik pada kedua anak tirinya, namun sekarang ia mulai suka memarahi mereka, dan kadang-kadang juga memukul jika kedua anak itu dianggapnya tidak menuruti kehendaknya. Sikap buruknya ini dilakukan jika sang ayah pergi melaut.

Jika sang ayah pulang, ibu tiri menyiapkan makanan yang sangat lezat-lezat, namun jika suaminya pergi melaut, kedua anak itu hanya diberikan nasi yang dimasak dan beras hancur. Tentu saga Tampe Ruma Sani dan adiknya merasa sangat sedih Mereka pun mengadukan perilaku ibu tiri kepada ayah mereka.

Sayangnya, sang ibu tiri ini pintar benar berkilah. Ia berhasil meyakinkan suaminya bahwa ia tidak bersalah dan kedua anak itu mengada-ada. Ia juga berhasil mempengaruhi suaminya agar lebih mempercayainya.

Dan keesokkan harinya ketika sang suami pergi lagi melaut, Tampe Ruma Sani pun dihajarnya habis-habisan sampai babak belur oleh ibu tirinya atas tindakannya yang telah mengadu kepada ayahnya.

“Berani-beraninya kalian melapor pada ayahmu!” bentaknya. “lngat! Sekali lagi kalian mengadu, aku tidak segan-segan membunuh kalian berdua!” Suara keras sang ibu membuat kedua anak itu merasa ketakutan.

Dari hari ke hari, Tampe Ruma Sani dan adiknya menjalani kehidupan dengan penuh penderitaan, namun mereka menghadapinya dengan penuh kesabaran. Tahun demi tahun berlalu, kedua anak itu sekarang sudah remaja. Mereka pun sepakat untuk hidup mandiri terbebas dari cengkraman ibu tiri.

Mereka mengutarakan maksud tersebut kepada sang ayah dan meminta izin untuk merantau.
“Sekarang kami berdua sudah cukup dewasa, Ayah! izinkanlah saya dan kakak untuk merantau dan mengejar cita-cita serta pengalaman hidup diluar sana,” pinta Laga Ligo mewakili kakak perempuannya.

Awalnya sang ayah merasa sangat keberatan, namun akhirnya ia memberikan izin juga karena melihat tekad kedua anaknya sangat besar. Ibu tiri pun merasa senang sebab itu berarti ia tak perlu lagi capek-capek mengurus kedua anak itu.

Pagi-pagi buta, Tampe Ruma Sani dan Laga Ligo meninggalkan desa neIayan tempat kelahiran mereka berdua dan mulai merantau. Mereka terus berjalan tidak tentu arah dan tujuan, melalui hutan dan sungai yang belum pernah mereka ketahui.

Setelah beberapa hari berjalan, perbekalan mereka pun mulai menipis. Kedua remaja itu mulai kelelahan. Beruntung mereka menemukan sebuah rumah di tengah hutan. Dengan penuh harapan untuk mendapat sedikit makanan dari pemilik rumah, mereka pun mengetuk pintunya. Tak ada jawaban.

“Mungkinkah sang pemilik rumah sedang bepergian?” Tampe Ruma Sani bertanya-tanya. Dengan rasa penasaran lalu mereka pun mengetuk kembali pintunya, tetap tidak ada sahutan. Akhirnya mereka memberanikan diri untuk membuka pintu yang tidak terkunci,

Mereka pun masuk ke dalam rumah, dan menemukan bahwa rumah itu kosong. Namun anehnya, di meja tersedia makanan lezat yang sepertinya baru saja dimasak. Masih hangat dan mengepul. Terbit air liur keduanya ketika melihat makanan tersebut, namun meski sangat kelaparan, mereka tak hendak menyentuhnya tanpa izin sang pemilik rumah.

“Sebaiknya kita menunggu saja di dalam rumah, menanti sang tuan rumah kembali,” sang kakak berkata kepada adiknya.
Mereka pun menanti pemilik rumah, dan tertidur pulas karena kelelahan dan lapar. Ketika mereka terbangun, hari ternyata telah berganti pagi, namun pemilik rumah belum juga muncul. Keanehan terjadi Iagi karena di meja makan telah tersaji makanan yang baru dimasak.

“Siapa yang memasak makanan ini? Mengapa kita tidak mengetahuinya?”

“Entahlah, Kak.” Jawab adiknya. “Yang pasti aku sangat lapar. Bolehkah kita memakannya sedikit?”

“Ya, kukira tidak apa-apa. Nanti kalau ketahuan, kita akan menjelaskan pada pemilik rumah. Lagipula sayang sekali jika makanan tersebut tidak dimakan.” Kakak beradik tersebut lantas memakan sajian tersebut sampai habis tidak tersisa. Setelah makan, Tampe Ruma Sani membersihkan piring dan peralatan makan.

Tiga hari sudah mereka tinggal menempati rumah di tengah hutan tersebut, namun mereka belum berjumpa dengan pemilik rumah. Dan setiap mereka bangun pagi, makanan hangat yang lezat-lezat selalu sudah tersedia di meja makan. Keduanya sangat heran, namun menikmati saja makanan yang tersedia dengan mengucapkan rasa syukur yang tak terhingga.

Pada hari keempat sang kakak berkata kepada adiknya

“Adikku, bagaimana jika makanan yang biasa tersaji tidak tersaji lagi pada hari-hari berikutnya? Apakah yang akan kita makan?”

Laga Ligo juga kebingungan, namun segera teringat sesuatu. Beberapa waktu yang lalu ia melihat di sudut dapur ada tiga buah karung besar yang berisi cengkeh, pala serta merica.

“Bagaimana kalau kita menjual rempah-rempah yang tersedia banyak dalam karung besar itu ke pasar, Kak?”

“Baiklah kalau begitu berangkatlah ke pasar, kakak tunggu saja di sini. Siapa tahu pemilik rumah datang.”

“Baiklah, tapi sebaiknya kakak hati-hati. Jangan membuka pintu untuk orang lain selama aku pergi.” Sang adik pun segera berangkat membawa satu karung kecil rempah-rempah untuk menjualnya di pasar terdekat.

Pada saat yang sama, rombongan raja sedang berburu. Mereka keheranan menemukan rumah di tengah hutan itu. Raja penasaran siapakah yang berani tinggal serta membangun rumah di hutan lebat seperti ini. Dengan segera, ia memerintah pengawalnya untuk mengetuk pintu beberapa kali, namun tidak ada jawaban. Di dalam rumah, Tampe Rama Sani tidak berani membukakan pintu rumah, dia diam saja tidak menjawab ketukan itu. Gadis manis itu justru bersembunyi di bawah meja dengan ketakutan.

Karena tidak mendapat jawaban, para pengawal raja memutuskan untuk masuk dan memeriksa keadaan. Awalnya mereka tak menemukan siapapun, dan tak melihat Tampe Ruma Sani yang sedang bersembunyi. Akan tetapi, rambut gadis itu terlalu panjang untuk disembunyikan sehingga para pengawal segera menemukannya. Mereka meminta Tampe Ruma Sani keluar dari persembunyiannya.

Dengan wajah ketakutan, Tampe Ruma Sani akhirnya keluar dan menemui sang raja. Ia menceritakan kisahnya dan juga adiknya yang tengah menjual rempah di pasar. Sang raja pun iba, dan akhirnya mengajak Tampe Ruma Sani dan Laga Ligo untuk menjadi anak angkatnya. Mereka berdua pun hidup bahagia di istana.

Itulah kumpulan cerita rakyat NTT yang bisa dijadikan bahan bacaan. Termasuk dalam proses pembelajaran, kisah tersebut juga bisa dibacakan sebagai dongeng untuk anak. Tentu dengan tujuan menyampaikan pesan moral yang terkandung.

Sumber: Dongeng Cerita Rakyat