Kunjungan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan ke pabrik mobil listrik Hyundai di Bekasi, Jawa Barat, pada pekan lalu memberi sinyal kuat. Pemerintah bakal mempercepat pengembangan industri kendaraan listrik. “Kami berharap Hyundai dapat menjadi bagian dari misi penting ini,” katanya, Jumat (6/11).
Pembangunan pabrik tersebut merupakan bentuk implementasi komitmen investasi Hyundai untuk mengembangkan mobil listrik Tanah Air. Penandatanganan kesepakatannya terjadi di Korea Selatan pada 26 November tahun lalu.
Targetnya, Indonesia tidak hanya mengembangkan mobil listrik untuk kebutuhan domestik, tapi juga kawasan Asia Tenggara, Timur Tengah, sampai Afrika. “Indonesia akan menjadi salah satu pasar EV utama di ASEAN,” ujar Luhut.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksi jumlah kendaran listrik roda dua dan tiga di negara ini pada tahun depan mencapai 2,73 juta unit. Pada 2030, perkiraan angkanya naik lebih dua kali lipat, yaitu 7,46 juta unit, seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan Indonesia memiliki potensi besar untuk kendaraan listrik. Angkanya sekitar 10% hingga 20% dari total mobil penumpang yang terjual per tahun. Rata-rata jumlah kendaraan roda empat yang terjual berkisar 1 juta hingga 1,2 juta unit setiap tahun.
Namun, adaptasi kendaraan listrik masih memiliki sejumlah persoalan. Pertama, harganya masih mahal ketimbang mobil berbahan bakar minyak. Kedua, ketersediaan stasiun pengisian kendaraan listrik umum atau SPKLU yamg masih minim. Ketiga, tipe mobil yang masih terbatas. Semua itu, menurut Fabby, sangat mempengaruhi psikologis konsumen.
Idealnya, pemerintah memberikan insentif untuk produksi dan pajak kendaraan listrik. Dengan begitu, harganya dapat turun di kisaran Rp 400 juta. Sebagai perbandingan, Hyundai baru saja meluncurkan dua tipe mobil listrik di Indonesia bertipe Ioniq dan Kona yang harganya di kisaran Rp 600 jutaan.
Fabby mengatakan pemerintah sebaiknya membuat target terukur untuk kendaraan listrik. “Berikan insentif untuk konsumen yang beralih ke mobil listrik, dorong pembukaan pasar, dan dukung pembangunan fast charging station,” katanya kepada Katadata.co.id, siang tadi.
Posisi Rantai Pasokan RI Masih Rendah
Angin segar industri ini juga semakin terlihat dengan terpilihnya Joe Biden sebagai presiden Amerika Serikat ke-46. Dalam kampanyenya Biden berjanji akan fokus menggenjot pengembangan energi baru terbarukan atau EBT. Alokasi dananya diperkirakan mencapai US$ 2 triliun (sekitar Rp 29.175 triliun). Kebijakan yang ia usulkan termasuk percepatan industri mobil listrik.
Fabby mengatakan, jika penetrasi kendaraan listrik di AS lebih tinggi dan cepat, maka pada 2025 harga baterai listrik dapat turun di bawah US$ 100 per kilowatt hour (kWh). Saat ini harganya, menurut catatan BloombergNEF, sekitar US$ 156 per kilowatt hour. Komponen baterai berkontribusi sekitar sepertiga dari harga kendaraan listrik.
Kemenangan Biden juga membuka minat produsen mobil listrik AS berinvestasi di Indonesia. Negara ini dapat masuk dalam rantai pasokan global untuk membuat baterai dan manufaktur kendaraan EV di Asia Pasifik.
Yang perlu menjadi perhatian pemerintah untuk menangkap peluang itu adalah memberikan fasilitas dan insentif untuk investor global. “Saya kira pemerintah harus siap mengantisipasi ini dalam dua hingga tiga tahun mendatang,” kata Fabby. Jangan sampai dana besar itu malah mengalir ke Thailand dan Singapura.
Sebagai informasi, kedua negara tersebut sekarang juga berlomba memproduksi mobil listrik. Iklim investasinya sangat mendukung sehingga perusahaan otomotif Jepang dan Eropa sudah berinvestasi di sana.
Indonesia masih memiliki kesempatan merebut pasar itu. Selain memiliki bahan baku baterai, yaitu nikel, negara ini juga sudah menyiapkan industri hulunya, yaitu pabrik pemurnian (smelter) dan baterai. “Potensi pasar EV di Indonesia masih besar,” ucap Fabby.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, meskipun potensinya besar, di dalam rantai pasokan global, posisi Indonesia masih rendah. Bank Dunia menempatkan negara ini hanya sebagai pemasok wiper (pembersih kaca) dan ban karena memiliki komoditas karet. "Sisanya kita belum terlibat penuh. Masih didominasi Tiongkok, Jepang, dan Amerika. Ini menjadi tantangan kita," kata Bhima.
Dengan adanya integrasi industri ini dari hulu ke hilir, nilai tambahnya akan semakin besar. Dari sisi rantai pasok pun Indonesia menjadi lebih dominan.
Sama dengan Fabby, Bhima juga berpendapat pemerintah perlu menyiapkan infrastruktur pendukung, mulai dari charging station sampai insentif pajak. “Sehingga mobil listrik lebih kompetitif daripada yang berbahan bakar fosil,” ucapnya.
Pemerintah saat ini memang sedang menyiapkan peta jalan (roadmap) percepatan pengembangan kendaraan listrik berbasis baterai beserta infrastruktur pendukungnya. Salah satunya melalui skema stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU) dan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU).
Berdasarkan roadmap itu, pengembangan SPKLU tahun ini butuh investasi RP 309 miliar. Angkanya naik hingga Rp 12 triliun pada 2030. “Dananya untuk membangun 7 ribu SPKLU,” kata Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Hendra Iswahyudi beberapa waktu lalu.
Untuk SPBKLU tahun ini diproyeksikan mencapai 4 ribu unit dan akan terus meningkat hingga mencapai 22.500 unit pada 2035. Masyarakat dapat mengisi ulang kendaraan bermotor listrik melalui SPKLU. Sedangkan penukaran baterai kendaraan bermotor listrik dapat dilakukan melalui SPBKLU.
Skema bisnis tersebut telah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2020. Aturan ini merupakan pelaksanaan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 tentang percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai.
Dalam aturan itu, PLN mendapat tugas menyediakan infrastruktur SPKLU dan SPBKLU. Perusahaan setrum pelat merah ini juga dapat menggandeng berbagai pihak untuk mengikuti skema bisnis tersebut.
Kementerian ESDM juga telah menetapkan tiga tipe stop kontak atau colokan mobil listrik yang akan digunakan di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU). Ketiga tipe itu adalah AC Charging tipe 2 (Eropa), fast DC charging CHAdeMO (Jepang dan Amerika Serikat), dan DC Charging Combo tipe 2 CCS (Eropa).
Kontribusi PLTU Perlu Dikurangi
Regional Climate and Energy Campaign Coordinator Greenpeace Indonesia Tata Mustasya berpendapat peralihan ke mobil listrik merupakan langkah penting untuk melakukan transisi hijau, dari energi fosil ke ramah lingkungan. World Economic Forum telah menyebutkan ada tiga sistem sosial-ekonomi yang memerlukan transisi saat ini.
Yang pertama adalah pangan, penggunaan lahan, dan laut. Kedua, infrastruktur dan lingkungan buatan. Terakhir, energi dan industri ekstraktif. "Mobil listrik terkait poin ketiga," ujarnya. Selain penting untuk lingkungan, transisi energi juga membuka memunculkan peluang bisnis dan lapangan pekerjaan baru.
Pemerintah dapat memulainya dari sektor transportasi. "Di kota-kota besar harus ada akses yang nyaman ke moda transportasi publik berenergi listrik," ujarnya. Percepatan industri EV di Indonesia dapat pula menjadi momentum untuk melakukan reindustrialisasi dengan fokus pada perekonomian bernilai tambah tinggi dan ramah lingkungan.
Namun, pekerjaan rumah terbesar pemerintah adalah melakukan transisi energi di bidang pembangkit listrik. Saat ini 54% listrik Indonesia masih berasal dari pembangkit listrik tenaga batu bara atau PLTU. Tujuan pengurangan emisi, menurut Tata, tidak akan tercapai jika hanya mengandalkan sektor transportasi.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Dharma mengatakan mobil listrik merupakan fenomena yang sulit dibendung karena perkembangan dunia yang menuntut efisiensi dan penurunan emisi gas rumah kaca. Berbagai negara di dunia sudah mencanangkan untuk meningkatkan penggunaan mobil listrik, termasuk AS, Tiongkok, Jepang, dan Uni Eropa.
Kondisi itu bakal membuat industrinya tumbuh pesat. Apabila Indonesia tidak mengantisipasinya dengan baik, maka akan tertinggal. Karena itu, pemerintah perlu menyiapkan industri ini dengan tepat. "Jangan sampai, mobilnya listrik, tapi energinya tetap saja batu bara," ujarnya.