Ekonomi Sri Lanka disebut Perdana Menterinya sendiri sudah runtuh sehingga negara dengan penduduk 22 juta jiwa ini butuh bantuan global dan IMF. Pemerintah Sri Lanka bahkan kehabisan dolar AS untuk biayai impor barang-barang penting, seperti makanan, obat-obatan dan bahan bakar.
"Ekonomi kami telah menghadapi keruntuhan total," ujar Wickremesinghe dikutip dari CNN, Jumat, 24 Juni lalu.
Negara Asia Selatan benar-benar menghadapi krisi keuangan terburuk dalam tujuh dekade, setelah cadangan devisanya anjlok ke level terendah. Inflasi pun naik gila-gilaan sebanyak 33 persen.
Kondisi buruk Sri Lanka diperparah dengan utang luar negeri yang tinggi dan tak mampu dibayar kan. Sri Lanka mencatat utang sebesar $51 miliar dengan jatuh tempo sebesar $4 miliar yang harus dibayar pada tahun ini. Sementara cadangan devisanya hanya mencapai $1,93 miliar.
Saking krisisnya masyarakat Sri Lanka kesulitan untuk makan. Orang dewasa hanya makan satu kali sehari agar anak-anak mereka bisa makan tiga kali sehari. Bentrok pun kerap terjadi karena dipicu oleh sulitnya mendapatkan bahan bakar dan penjarahan.
Pemerintah telah mengabil kebijakan darurat untuk mengatasi krisis dengan meminta masyarakat menamam bahan pangannya sendiri, dan mengurangi waktu kerja mereka dalam seminggu. Sayangnya, tindakan ini pun tidak terlalu banyak membantu untuk meringankan kesulitan warga.
Banyak ahli ekonomi menilai bahwa situasi Sri Lanka bukan hanya dampak dari situasi pandemi dan global. Namun sejak lama perjalanan menuju krisis diciptakan oleh pemerintahannya sendiri yang tidak menciptakan target pembangunan dengan tepat.