Beberapa bulan terakhir ini, harga saham mayoritas perusahaan Grup Lippo di Bursa Efek Indonesia (BEI) tertekan dan terus melorot. Penyebab utamanya ditengarai masalah likuiditas keuangan. Moody's Investor Service menyoroti masalah likuiditas yang dihadapi sejumlah perusahaan grup ini --khususnya yang di sektor properti dan bisnis retail-- untuk membayar utangnya. Bagaimana sebenarnya performa kinerja dan keuangan Grup Lippo?
Awal April lalu, Moody's menurunkan peringkat utang PT Matahari Putra Prima Tbk. (MPPA) dari B2 menjadi B3. Alasannya, pemilik jaringan retail modern Hypermart itu membutuhkan tambahan dana untuk membayar utang jangka pendeknya yang akan jatuh tempo.
Tak sampai sebulan berselang, Moody's juga menurunkan peringkat utang PT Lippo Karawaci Tbk. (LPKR) dari B1 menjadi B2 dengan prospek negatif. Bahkan, lembaga pemeringkatan internasional ini juga menurunkan peringkat utang semua anak usaha corporate familiy rating (CFR) Lippo Karawaci dari Ba3 menjadi B1. Penilaian kritis Moody’s itu menimbulkan sejumlah pertanyaan mengenai kondisi keuangan perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dan bernaung di bawah Grup Lippo.
Selama ini, kelompok usaha milik James Riady tersebut mengandalkan pendapatan dari dua lini usaha utama. Pertama adalah sektor properti yang dimotori oleh Lippo Karawaci dengan dua anak usaha besarnya yaitu PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) dan PT Siloam International Hospitals Tbk (SILO) yang bergerak di bidang jasa rumah sakit. Kedua, lini usaha retail yakni Matahari Putra Prima dan PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) yang bernaung di bawah induk usaha (holding) bidang Investasi yaitu PT Multipolar Tbk (MLPL).
Dalam kurun lima tahun terakhir, nilai penjualan keenam perusahaan mesin uang Grup Lippo tersebut mengalami tren penurunan. LPCK, MLPL, dan MPPA mencatatkan pertumbuhan penjualan yang negatif pada tahun lalu. Sedangkan LPKR, SILO, dan LPPF masih membukukan pertumbuhan positif, namun jauh melambat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
LPKR misalnya, mencatatkan penjualan Rp 11 triliun pada 2017, atau hanya tumbuh 1,4% dibandingkan tahun sebelumnya. Padahal, pada tahun 2016, perusahaan properti ini mampu mencetak pertumbuhan penjualan 23,5% dibandingkan tahun sebelumnya. Pada sektor lain, LPPF juga mengalami kondisi yang sama. Penjualannya tahun lalu hanya tumbuh 1,3%, melambat dibandingkan tahun sebelumnya yang tumbuh 9,9%.
Merosotnya penjualan tersebut berdampak langsung terhadap laba bersih perusahaan. Meski masih meraup keuntungan, dua emiten properti Lippo yakni LPKR dan LPCK mengalami penurunan laba bersih dibanding tahun sebelumnya. LPCK membukukan laba bersih Rp 366,8 miliar pada tahun lalu atau merosot 32% dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan laba bersih LPKR tahun lalu sebesar Rp 715,3 miliar atau turun 18,8%.
Sementara itu, perusahaan retail Grup Lippo yaitu LPPF, meraup laba bersih Rp 1,9 triliun atau dengan margin sebesar 19,3% terhadap total penjualan pada 2017. Nilai laba ini merupakan yang terbesar dibandingkan emiten lain Grup Lippo. Namun, torehan tersebut menurun 4,2% dibandingkan tahun sebelumnya.
Yang paling tertekan adalah MPPA. Di tengah kondisi daya beli masyarakat yang melemah, perusahaan retail modern ini harus menelan kerugian Rp 1,2 triliun pada tahun lalu. Padahal, pada tahun sebelumnya MPPA masih mencatatkan profit Rp 38 miliar. Tren penurunan ini sebenarnya sudah terjadi sejak 2014, profit MPPA terus tergerus hingga akhirnya mengalami kerugian pada 2017.
Kondisi MPPA turut menyeret kinerja keuangan induk usahanya yakni MLPL. Perusahaan investasi ini membukukan kerugian tahun lalu sebesar Rp 1,4 triliun. Pada 2015, MLPL juga sempat mengalami kerugian hingga Rp 1,2 triliun.
SILO –perusahaan pengelola jaringan rumah sakit– menjadi satu-satunya emiten Grup Lippo yang mencatatkan pertumbuhan laba tahun 2017. Laba bersih SILO tumbuh 8,6% menjadi Rp 93,3 miliar. Meski tidak mencatatkan performa yang menakjubkan, SILO masih konsisten membukukan laba dan terus bertumbuh sejak lima tahun lalu.
Beban Utang
Menyusutnya pendapatan dan laba bersih sejumlah perusahaan tersebut masih diperburuk oleh beban utang yang tinggi. Akibatnya, kemampuan perusahaan membayar utang melalui hasil pendapatan operasionalnya semakin melemah.
Salah satu indikator yang bisa digunakan adalah rasio utang terhadap laba sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi (EBITDA). Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan melunasi utang-utangnya dari sisi pendapatan. Makin tinggi rasio utang terhadap EBITDA maka bakal semakin berat beban perusahaan untuk melunasi kewajibannya.
Ada tiga emiten Grup Lippo yang menanggung beban utang besar dengan rasio tinggi. LPKR memiliki utang terbesar di antara sejawatnya dengan nilai Rp 13,8 triliun. Sedangkan rasio utang terhadap EBITDA sebesar 7,32 kali. Artinya, beban utang yang ditanggungnya 7,3 kali lebih besar dibandingkan perolehan profitnya. Rasio ini terus meningkat dalam empat tahun terakhir, yaitu pada 2014 sempat menyentuh rasio terendah sebesar 2,6 kali.
Sementara itu, dengan kerugian yang diderita MLPL dan MPPA, kedua perusahaan ini masih harus menanggung beban utang tinggi yaitu masing-masing Rp 5,2 triliun dan Rp 1,4 triliun. Alhasil, rasio utangnya negatif, yani MLPL minus 4,9 kali dan MPPA minus 1,2 kali. Hal ini akan semakin menyulitkan perusahaan untuk melunasi utangnya.
Secara umum, kondisi keuangan yang memburuk dan beban utang besar menjadikan perusahaan-perusahaan Grup Lippo kesulitan secara likuiditas jangka pendek dan menengah. Namun, secara grup, Lippo masih diuntungkan dengan sektor usahanya yang terdiversifikasi. Ini membuat perusahaan memperoleh arus pendapatan secara berulang yang cukup seimbang.
Tren Harga Saham.
Kondisi fundamental tersebut turut berimbas ke bursa saham. Jika menilik data sejak tahun lalu, hampir semua emiten Grup Lippo mengalami downtrend. Sejalan dengan kinerjanya, MPPA juga mengalami penurunan harga saham terbesar. Sejak awal 2017, harga sahamnya sudah tergerus 79% atau 90% jika dibanidngkan sejak tahun 2015.
Saat ini, harga saham MPPA berkisar Rp 294 per saham. Padahal, sebelumnya harga saham MPPA pernah mencapai Rp 1.600 pada tahun lalu, bahkan mencapai Rp 4.000 pada awal 2015.
Penurunan tajam harga saham juga dialami perusahaan-perusahaan lain Grup Lippo. Harga saham MLPL dan dua emiten properti Lippo yaitu LPCK dan LPRK masing-masing sebesar Rp 117, Rp 1.940, dan Rp 378. Harga saham ketiga perusahaan itu sudah merosot sekitar 40% hingga 60% sejak awal 2017 dan mencapai 60-80% jika ditarik dari tahun 2015.
Penurunan harga saham SILO dan LPPF relatif lebih kecil dibandingkan emiten lain Grup Lippo, yaitu masing-masing 33% dan 40% sejak awal 2017. Sedangkan jika dilihat dari tahun 2015, harga saham SILO terkoreksi 47% sedangkan LPPF menurun 41%. Tren penurunan tajam harga saham LPPF terjadi mulai 2017 setelah selama dua tahun sebelumnya mengalami konsolidasi (sideways).
Kondisi harga saham SILO dan LPPF yang tidak terlalu tertekan ini sejalan dengan keadaan keuangannya. Dua perusahaan ini masih mampu mencetak kenaikan laba di saat emiten lain Grup Lippo menderita penurunan laba, perlambatan pertumbuhan tahunan, bahkan mengalami kerugian pada 2017.
Rasio Harga Saham
LPPF juga menjadi pilihan paling layak dibandingkan emiten-emiten lain Lippo dari sisi valuasi dan rasio harga saham. Dengan catatan perbandingan harga saham terhadap laba bersih (Price Earning Ratio / PER) sebesar 15,3 kali dan ROE (Return of Equity) mencapai 81,9%, maka perusahaan pemilik gerai Matahari ini menjadi emiten Grup Lippo yang paling murah dan menguntungkan bagi para investor.
Bandingkan dengan SILO yang memiliki PER sangat besar hingga 140 kali, yang menandakan harga sahamnya saat ini sudah terlalu mahal. Di sisi lain, ROE SILO hanya 1,5% sangat jauh jika dibandingkan LPPF dan emiten lain di Grup Lippo.
Untuk dua emiten properti Lippo yakni LPKR dan LPCK, harga saat ini masih kurang menarik. Meski secara PER masih rendah yakni 18,1 kali dan 6 kali, ROE yang rendah (2,7% dan 3%) dan penurunan kinerja, menjadikan emiten ini masih kurang layak untuk dikoleksi. Dua emiten lainnya yaitu MLPL dan MPPA masih menderita kerugian sehingga minus pada indikator PER dan ROE nya.
***
Sumber data: Bloomberg L.P. (diolah)
Editor: Nazmi Haddyat Tamara