Kerja Berat Menuju Era Energi Bersih di Indonesia

Transisi energi merupakan fokus utama Indonesia untuk mencapai netral karbon pada 2060. Aneka kebijakan dan upaya dilakukan oleh pemerintah, swasta hingga masyarakat untuk mewujudkan energi bersih. Edisi khusus ini merupakan kerja sama Katadata dengan Institute for Climate and Sustainable Cities dan Asia Comms Lab untuk mendorong pembangunan berkelanjutan di Indonesia. pembiayaan-transisi-energi

alt

Kapal milik Fahrul Ibnu kini dapat berlayar dengan tenang pada malam hari. Tak ada lagi suara bising dari mesin genset di kapalnya. Sejak Januari lalu, penerangan kapal miliknya telah diganti menggunakan teknologi panel surya, sebuah langkah kecil dari kerja besar transisi energi yang tengah berlangsung di Tanah Air.

Pemuda berusia 18 tahun ini awalnya menggunakan panel surya karena ingin memangkas biaya operasional kapal. Biaya bahan bakar minyak selama ini sangat menguras kantongnya meski sedang sepi tangkapan. “Dulu satu kali berangkat, solar habis hingga 10 jeriken. Saat ini hanya butuh 5 jeriken atau kadang 6 jeriken.” ujar Fahrul.

Ia bisa memangkas biaya operasional dari semula sekitar Rp 8 juta menjadi Rp 5-6 juta setiap melaut. Sementara uang yang dikeluarkan untuk sewa panel surya hanya Rp 750 ribu per bulan.

Kapal miliki Fahrul adalah satu dari lima kapal nelayan Pantai Sadeng, Desa Songbanyu, Gunung Kidul, yang menjadi proyek uji coba Awab Abdullah dan para pegiat Kampung Wisata Edukasi Eco Energi.

Setiap kapal dipasang 15 lampu berdaya 50 watt yang dialiri listrik dari tenaga surya. Investasinya sekitar Rp 3 juta hingga Rp 5 juta. “Sayang lampu hanya bertahan hingga jam 3 pagi sehingga masih juga harus menggunakan solar,” katanya.

Pemasangan PLTS atap di kapal nelayan Pantai Sadeng, Desa Songbanyu, Gunung Kidul, Yogyakarta
PLTS atap yang dipasang di kapal nelayan dirakit sendiri oleh Awab Abdullah dan para pegiat Kampung Wisata Edukasi Eco Energi.
Pemasangan PLTS atap di kapal nelayan membutuhkan investasi Rp 3 juta hingga Rp 5 juta.
PLTS atap di kapal nelayan dapat melistriki 15 lampu yang masing-masing memancarkan cahaya sebesar 50 W.

Awab bercerita, teknologi untuk memasang panel surya di kapal dibuat sederhana untuk menekan anggaran. Biaya investasi panel surya di kapal nelayan masih berasal dari kantong pribadi Awab dan para pegiat Kampung Wisata Edukasi Eco Energi. Nelayan kemudian membayarkan biaya sewa atas penggunaan panel surya tersebut.

“Belum ada bantuan pembiayaan dari pemerintah atau perbankan. Ke depan jika proyek ini sudah berjalan, kami harapkan ada dukungan dari banyak pihak,” ujarnya.

Pemasangan PLTS di kapal nelayan sebenarnya bukan hal baru. Sejumlah nelayan di Pekalongan, Jawa Tengah juga sudah menerapkan sejak 2020.

Awab awalnya hanya mengembangkan panel surya untuk menerangi rumah warga di Dusun Ngemplak, Desa Candirejo, Gunung Kidul, Yogyakarta. Saat ini, ada 15 rumah yang menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS Atap) di dusun tersebut.

Semua bermula saat gempa melanda Yogyakarta pada 2006. Saat itu, banyak infrastruktur lumpuh, termasuk prasarana penerangan. Bermodal pengetahuan dasar tentang elektronik yang diperolehnya selama aktif sebagai sukarelawan tanggap bencana, Awab mencoba membangun PLTS atap sendiri untuk penerangan di rumah dan jalan di dusun.

Lantaran merasakan manfaat menggunakan PLTS Atap, Awab mulai gencar mengajak warga di dusunnya untuk menggunakan panel surya pada 2016. Ia meminjamkan dan mengajarkan cara memasang panel surya kepada warga.

“Uang hasil penghematan listrik warga karena menggunakan PLTS kemudian ditabung untuk menukar dengan panel surya baru. Lalu panel surya lama kembali dipinjamkan kepada warga lain,” katanya.

Salah satu rumah warga di Dusun Ngemplek, Desa Piyaman, Gunung Kidul, Yogyakarta yang sudah menggunakan PLTS atap.

Biaya pemasangan PLTS atap untuk penerangan satu rumah antara Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta. PLTS tersebut dapat menghidupkan tiga hingga empat lampu.

PLTS atap yang saat ini telah dipasang di belasan rumah warga memang sejauh ini hanya digunakan untuk penerangan tempat tinggal. Warga tetap menggunakan listrik dari PLN. Menurut Awab, warga yang memiliki PLTS tertolong karena pemadaman listrik kerap terjadi.

Bagyo yang juga memasang panel surya di atap rumahnya bercerita tertarik menggunakan lantaran dusun mereka sering terkena pemadaman bergilir. Sejak menggunakan panel surya, ia tak lagi risau rumahnya gelap gulita saat listrik padam. Tagihan listrik pun berkurang sejak memasang PLTS Atap.

Pemadaman yang sering terjadi kemudian menginspirasi Awab dan Bagyo membangun Cakruk Edukasi. Lahan di depan rumah Bagyo diubah menjadi tempat belajar dengan penerangan dari panel surya. “Jadi, meski rumahnya mati lampu, anak-anak tetap bisa mengerjakan tugas sekolah dan lain-lain,” ujarnya.

Awab Abdullah dan salah seorang warga membangun Cakruk Edukasi agar anak-anak di dusun tetap dapat belajar meski aliran listrik dari PLN sedang terputus.

Kerja PLTS atap di Dusun Ngemplek, menurut Awab, sama dengan panel surya pada umumnya. Bedanya hanya terletak di komponen controller bernama Jimat yang dirakit sendiri. “Jadi lampu akan menyala dan mati sendiri sejak sore hingga besok pagi tanpa bantuan saklar. Controller ini kami buat supaya alatnya bisa bekerja maksimal dengan biaya yang rendah,” katanya.

PLTS atap rakitan Awab kini juga digunakan oleh usaha kecil di dusunnya yang memproduksi makanan ringan. UMKM tersebut memproduksi lempeng singkong di dapur edukasi yang aliran listriknya berasal dari panel surya.

Awab bercerita, seluruh biaya yang dikeluarkan untuk membangun panel surya di rumah-rumah warga berasal dari kantong pribadinya dan swadaya warga. Sementara itu, dana memasang penerangan di jalan dusun dengan PLTS atap diperoleh dari hadiah lomba kreasi inovasi masyarakat.

Menurut Awab, biaya PLTS atap rakitannya dan warga jauh lebih murah dibandingkan yang tersedia di pasaran saat ini. Ia berupaya menghemat setiap komponen yang digunakan, salah satunya aki.

Aki yang digunakan untuk PLTS rakitannya adalah aki motor atau mobil bekas yang masih dapat dipergunakan. Ia dapat menghemat cukup banyak lantaran harga aki baru mencapai Rp 1 juta, sedangkan harga bekasnya hanya Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu, bahkan terkadang bisa didapat gratis.

Ia mengaku belum pernah menerima bantuan dari pemerintah setempat maupun pusat. Edukasi kepada warga untuk menggunakan panel surya pun, menurut dia, masih sangat menantang.

“Memberikan pemahaman kepada warga untuk beralih ke energi baru terbarukan tidak semudah membalikkan telapak tangan karena mereka sudah terbiasa dengan energi konvensional,” katanya.

Menyelamatkan Panen Hingga Berhemat

Pemanfaatan PLTS di desa atas inisiatif warga tak hanya sebatas penerangan. Di Desa Krincing, Magelang, Jawa Tengah, PLTS digunakan untuk mengairi lahan pertanian. Sebanyak 64 buah panel surya dengan energi 6.400 Watt dipasang di lahan dekat Sungai Elo, tak jauh dari Kantor Kepala Desa Krincing. Pembangkit ini melistriki mesin pompa yang berfungsi memindahkan air sungai melalui pipa ke saluran irigasi.

Kepala Desa Krincing Heri Purwanto mengatakan, pembelian panel surya tersebut menggunakan anggaran dana desa sebesar Rp 350 juta pada 2019. Sebelum ada PLTS, petani hampir selalu mengalami gagal panen saat musim kemarau.

“Desa kami punya banyak air, tetapi posisinya di bawah sehingga air perlu dipompa dengan mesin. Sebelum ada panel surya, petani sama sekali tidak bisa panen,” ujarnya.

Ia bercerita, kepala desa sebelumnya sempat mencoba menghidupkan mesin pompa dengan diesel. Namun, biayanya terlalu mahal karena harus membeli solar setiap hari. Ia pun mencari cara dan menemukan PLTS sebagai solusi.

Saat ini, menurut Heri, PLTS yang sudah ada mampu mengairi sawah seluas 5-10 hektare saat musim kemarau. Adapun satu hektare sawah dapat menghasilkan lima ton beras saat panen.

“Kami bisa menghasilkan beras selama musim kemarau kurang lebih 30 ton sejak ada PLTS,” katanya.

Namun, masih butuh lebih banyak PLTS untuk mengairi seluruh lahan sawah di Desa Krincing. Total lahan sawah di desa ini mencapai sekitar 30 hektare.

Heri mengaku masih mengandalkan dana desa untuk pengadaan PLTS. Belum ada bantuan lain dari pemerintah, BUMN ataupun perusahaan swasta.

Meski begitu, ia saat ini juga telah mengadakan 25 panel surya untuk menerangi jalan di dua dusun. Pengadaan dilakukan menggunakan dana desa tahun anggaran 2020 dan 2021 masing-masing Rp 100 juta dan Rp 80 juta.

“Tahun ini, kami belum menganggarkan untuk PLTS karena dalam regulasi baru dana desa, 68% anggarannya untuk programnya Pak Presiden seperti ketahanan pangan, BLT, dan lainnya. Sisanya baru untuk program mandiri desa,” ujarnya.

Di tengah keterbatasan dana, Heri bermimpi PLTS akan menjadi sumber energi utama Desa Krincing. Lapangan futsal hingga rumah warga dapat memperoleh aliran listrik dari energi surya.

Mahsun, petani di Desa Krincing mengatakan tidak seluruh area sawah terjangkau air yang dipompa dari PLTS. Pria berusia 53 tahun ini berharap desanya suatu saat nanti dapat memiliki embung dan PLTS lebih banyak untuk mengairi seluruh areal sawah di desa tersebut.

Pemanfaatan solar panel yang maksimal untuk irigasi juga menjadi keinginan Fera Setiawan (33). Ia mendambakan panen tak lagi gagal karena air tak menjangkau sawah. “Karena saya petani, jadi fokusnya di air,” ujarnya.

Fera Setiawan, Petani di Desa Krincing, Magelang berharap pemanfaatan PLTS di desa lebih banyak agar tak lagi gagal panen saat kemarau.

Manfaat lain menggunakan PLTS dirasakan warga kota Yogyakarta, Richard Wang. Sejak memasang PLTS atap pada Oktober 2021, tagihan listrik yang harus dia bayar berkurang hampir separuh. “Sebelum pasang solar panel saya tagihan listrik sekitar Rp 2 juta, saat ini hanya sekitar Rp 1 juta,” ujarnya.

Richard mulai tertarik memasang PLTS atap karena melihat tagihan listrik rumah yang membengkak sejak pandemi Covid-19. “Sejak WFH (work from home), tagihan listrik yang biasanya sekitar Rp 1,5 juta naik jadi Rp 2 juta,” katanya.

Berbekal informasi dari media massa, ia pun mengusulkan kepada anggota rumah untuk memasang PLTS atap demi menghemat biaya listrik. Untuk memasang PLTS atap dengan daya setara 5.400 VA, Richard mengeluarkan dana sekitar Rp 70 juta.

Meski investasi besar di awal, Richard menganggap pemasangan PLTS atap tetap menguntungkan. Apalagi, Richard menggunakan cicilan kartu kredit dengan bunga 0% dan tenor 36 bulan. Tak semua investasi yang dikeluarkan Richard diubah menjadi cicilan, sekitar 30%-nya dibayarkan secara tunai sebagai uang muka.

“Jadi sangat menguntungkan, ibaratnya uang yang harusnya untuk bayar listrik, digunakan untuk PLTS atap dan nantinya ada saat menikmati listrik gratis karena usia PLTS atap katanya bisa 25 tahun,” ujarnya.

Selain biaya yang cukup besar di awal, ia tak menghadapi banyak kendala dalam proses pemasangan PLTS atap. Proses pemasangan oleh perusahaan penyedia jasa pun hanya membutuhkan waktu 2-3 hari. Hanya saja, proses perizinan ke PLN membutuhkan waktu cukup lama hingga tiga bulan.

“Jadi PLTS sudah dipasang tapi tiga bulan kemudian baru dapat digunakan. Tapi secara keseluruhan, prosesnya mudah. Tidak butuh perawatan yang rumit juga untuk PLTS-nya,” katanya

Richard hanyalah satu dari banyak konsumen yang memilih memasang PLTS Atap demi menghemat biaya listrik. Pandemi Covid-19 yang mengharuskan orang bekerja di rumah sehingga menyebabkan biaya listrik naik mendorong orang melihat PLTS atap sebagai alternatif sumber energi.

Vice President Retail Residential ATW Solar Chairiman mengatakan, banyak orang yang mulai menyadari mahalnya biaya listrik setelah bekerja dari rumah atau WFH. Seperti Richard, sebagian dari mereka melihat pemasangan PLTS atap sebagai solusi untuk menekan biaya listrik.

Chairiman mencatat, minat masyarakat memasang PLTS atap sebenarnya mulai muncul sejak 2018 setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PLN. Ini adalah aturan pertama yang mengatur penggunaan PLTS atap oleh pelanggan PLN.

“Tapi pertumbuhan paling pesat, khususnya untuk rumah tangga, terutama sejak pandemi dua tahun terakhir,” ujarnya.

Kenaikan permintaan PLTS atap juga didukung oleh harga panel surya yang turun hingga 80% dalam 10 tahun terakhir. “Teknologi semakin efisien dan peminat semakin banyak sehingga skala ekonomi semakin terbentuk,” katanya.

ATW solar telah melayani pemasangan PLTS atap di 3.000 rumah sejak 2017 hingga saat ini. Jumlah ini mencapai sekitar 60% dari total konsumen PLTS atap PLN yang mencapai sekitar 5.000 rumah.

Sebagian besar konsumen ATW solar masih berasal dari hasil kerja sama perusahaan dengan pengembang yang sudah berjalan sejak 2018. Namun kenaikan pelanggan rumah tangga di luar kerja sama dengan developer mulai meningkat.

Permintaan terhadap PLTS atap semakin meningkat seiring biaya investasi yang telah turun 80% dalam 10 tahun terakhir.

Menurut Chairiman, kenaikan jumlah pengguna PLTS atap saat ini belum cukup. Apalagi, pemerintah memiliki target besar dalam pembangunan PLTS.

ATW solar pun bersama dengan 30 perusahaan lainnya dalam Indonesia Solar Summit 2022 telah berkomitmen untuk memasang 2.300 megawatt. “Target ini adalah sesuatu yang mungkin karena sebenarnya sudah masuk dalam target kerja masing-masing dari kami,” ujar Chairiman.

Ia berharap permintaan PLTS semakin meningkat dan dapat dinikmati masyarakat lebih luas seiring dengan harga yang semakin terjangkau dan edukasi yang kian masif. Saat ini, masyarakat dapat memasang PLTS atap dengan investasi di bawah Rp 20 juta untuk daya mulai dari setara 1.000 VA.

“Kami harapkan PLTS atap nantinya akan dapat menjangkau lebih banyak masyarakat, termasuk pengguna listrik dengan daya 1.300 VA,” katanya.

Peningkatan permintaan PLTS tak hanya terjadi pada segmen konsumen, Chairiman mengatakan, banyak perusahaan yang juga tertarik untuk memiliki PLTS atap. Namun pemasangan PLTS atap oleh korporasi umumnya menggunakan skema yang berbeda, yakni sewa.

Pengembangan PLTS juga menjadi salah satu langkah yang tengah dikaji PT Vale Indonesia Tbk untuk mewujudkan target perusahaan mencapai net zero carbon pada 2050, selangkah lebih maju dari target pemerintah. “Target kami ini sejalan dengan Vale Global,” ujar Head of Communication Vale Indonesia Bayu Aji.

Bayu menjelaskan, Vale ingin mengembangkan PLTS untuk menambah daya pembangkit listrik yang digunakan pada fasilitas pendukung area pertambangan. Saat ini, menurut dia, perusahaan sebenarnya telah memenuhi seluruh kebutuhan listriknya dari tiga Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) miliknya, yakni Larona, Balambano, dan Karebbe. Namun, pihaknya ingin memastikan memiliki daya listrik yang stabil.

“Dari seluruh sumber energi untuk operasional kami, baru 36% yang berasal dari renewable energy. Ini perlahan akan kami terus tingkatkan untuk mendorong penurunan emisi karbon,” katanya.

Perusahaan telah memiliki target untuk menurunkan emisi karbon hingga 33% pada 2030 menjadi 1,35 juta metrik ton dari 2,27 juta metrik ton. Selain mengkaji pengembangan PLTS, perusahaan berencana mengambil langkah besar menggantikan seluruh bahan bakar produksi yang masih menggunakan batu bara ke LNG. Langkah ini akan menjadi penyumbang terbesar penurunan emisi karbon hingga 2030 yakni mencapai 28%.

Adapun langkah penurunan emisi karbon lainnya, mencakup peningkatan penggunaan biodiesel bertahap dari saat ini B30 menjadi B50 hingga B100, pengembangan PLTS, hingga mengganti kendaraan di area tambang dengan kendaraan berbasis listrik. “Kami juga akan menggantikan truk yang saat ini masih menggunakan diesel dengan truk berbasis listrik,” kata dia.

Bayu mengatakan, langkah perusahaan menuju transisi energi bersih saat ini memang mendatangkan konsekuensi biaya yang lebih tinggi. Ia mencontohkan biaya investasi yang harus dikeluarkan perusahaan dan partner dalam proyek pembangunan pabrik baru di Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah membengkak US$ 250 juta karena perusahaan ingin bahan bakar pabrik diganti dari batu bara menjadi LNG.

Perusahaan telah berkomitmen tak lagi menggunakan batu bara sebagai sumber energi pada proyek-proyek baru mereka. Selain melakukan transisi ke energi bersih, target perusahaan mencapai nol emisi karbon melalui penanaman pohon. Vale menargetkan penanaman pohon pada 10 hektare lahan yang tersebar di berbagai wilayah di Sulawesi hingga 2025.

Komitmen transisi energi menuju energi bersih juga datang dari PT Adaro Energy Tbk. CEO Adaro Energy Garibaldi Thohir mengatakan, perusahaan akan fokus ke PLTS dan PLTA. “Negeri ini mendapat anugerah Tuhan, yaitu sinar matahari yang berlimpah. Tapi, energi solar tidak bisa 24 jam, jadi mesti dikombinasikan dengan hydro, gas, batu bara jadi mixed energy,” ujar pria yang akrab disapa Boy.

Adaro Energy saat ini telah memiliki PLTS dengan skala kecil di Kalimantan Selatan dan akan mengembangkan PLTS lainnya di Batam, Bintan dan Kalimantan Utara. Menurut Boy, perusahaan harus bertransformasi ke bisnis energi terbarukan dari bisnis mereka yang saat ini masih fokus pada batu bara. Męski demikian, ia menjelaskan bahwa teknologi untuk mengurangi emisi karbon pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batu bara sebenarnya terus berkembang.

Peta Jalan Menuju Nol Emisi Karbon

Transisi menuju energi baru dan terbarukan menjadi langkah penting untuk mencapai komitmen pemerintah menuju netral karbon atau net zero emission (NZE) pada 2060. Komitmen telah disampaikan Presiden Joko Widodo saat berbicara dalam KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP26 pada November 2021.

Laporan Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Energi menunjukkan, sektor energi, terutama pembangkit listrik selama ini menjadi penyumbang emisi terbesar. Pada 2019, porsinya mencapai 43,83%, yang hampir seluruhnya atau 97% berasal dari pembangkit listrik.

Sementara itu, sektor transportasi menyumbang 24,64% emisi karbon, industri manufaktur dan konstruksi 21,46%, sektor lainnya 4,13%, emisi fugitive dari minyak bumi dan gas alam 4,81%, lain-lain 0,69%, dan emisi fugitive dari bahan bakar padat 0,42%.

Dalam Paris Agreement dan National Determined Contribution (NDC) 2030, Indonesia menargetkan menurunkan 29% emisi karbon dengan kemampuan sendiri atau 41% dengan dukungan internasional. Sektor energi dan transportasi diharapkan menyumbang penurunan emisi terbesar kedua setelah sektor kehutanan.

Dengan kemampuan sendiri, pemerintah menargetkan penurunan emisi karbon di sektor kehutanan mencapai 497 MTon Co2e, energi dan transportasi 314 MTon Co2e, limbah 11 MTon Co2e, pertanian 9 MTon Co2e, serta industri dan penggunaan produk 3 MTon Co2e.

Sementara dengan bantuan internasional, pemerintah menargetkan penurunan emisi karbon di sektor kehutanan mencapai 692 MTon Co2e, energi dan transportasi 446 MTon Co2e, limbah 40MTon Co2e, pertanian 4 MTon Co2e, serta industri dan penggunaan produk 3,25 MTon Co2e.

Demi target tersebut, transisi energi kini menjadi prioritas pemerintah untuk menurunkan emisi karbon. Peta Jalan Transisi Energi Menuju net zero carbon sedang disusun Kementerian ESDM dan ditargetkan rampung pada Juni 2022.

Draf tersebut memuat tingkat emisi sektor energi tahun 2060 diproyeksikan sebesar 401 juta Ton CO2e. Namun, ini akan dapat diserap oleh sektor lain, terutama kehutanan, sehingga tercapai netral karbon.

Salah satu yang akan dilakukan pemerintah untuk mengejar penurunan emisi karbon adalah memensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). PLTU saat ini masih menjadi sumber utama energi listrik di Indonesia. Pembangkit ini menggunakan bahan baku batu bara yang merupakan penghasil emisi karbon.

PLTU akan dipensiunkan mulai 2031 secara bertahap sesuai dengan umur tekno-ekonomis dan berakhirnya PPA

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengatakan, dalam draf yang tengah disusun pemerintah, PLTU akan dipensiunkan mulai 2031. Penghentian operasional PLTU ini akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan umur tekno-ekonomis dan berakhirnya perjanjian jual beli listrik.

Sementara dalam jangka waktu dekat, beberapa PLTU masih akan dibangun karena sudah tertuang dalam RUPTL PLN.

“Sejauh ini skenario pensiun dini PLTU dapat diputuskan jika ada bantuan berupa hibah dari negara maju maupun implementasi mekanisme transisi energi oleh lembaga keuangan,” ujarnya.

Langkah lain pemerintah mengurangi emisi karbon adalah menambah jumlah PLTU yang menggunakan teknologi co-firing dari 27 unit pada 2021 menjadi 114 unit pada 2030. Co-firing adalah proses penambahan biomassa sebagai bahan bakar pengganti parsial atau bahan baku campuran batu bara di PLTU. Besaran tingkat campurannya akan mencapai rata-rata 10% untuk PLTU di Jawa - Bali dan 20% untuk PLTU di wilayah lain.

PLTU baru yang beroperasi setelah 2025 direncanakan menggunakan campuran minimal 30%. Kebutuhan biomassa untuk memenuhi target pada 2030 adalah 8,91 juta ton yang akan dipenuhi dari kebun energi, limbah pertanian/ perkebunan, dan Refuse-Derived Fuel (RDF)/ Solid Recovered Fuel (SRF).

PLTU yang akan dipensiunkan dapat dimodifikasi dengan penggantian bahan bakar menjadi biomassa.

Anggota Dewan Pengarah Badan Riset Inovasi Nasional Tri Mumpuni menilai co-firing PLTU dapat didorong pemerintah dengan memanfaatkan tanaman kaliandra merah. Tanaman ini mudah hidup dan berkembang pesat di Indonesia.

Menurut dia pengembangan kaliandra merah tak hanya bagus untuk menyediakan sumber energi terbarukan, tetapi juga memberdayakan ekonomi masyarakat desa. “Penanamannya dapat menggunakan lahan-lahan yang selama ini terbengkalai,” katanya.

Tri mengatakan, pengembangan tanaman ini dapat dilakukan di daerah-daerah yang masih menggantungkan listrik pada batu bara. Pemerintah harus mendorong masyarakat kecil untuk mampu membudidayakan dan menyiapkan teknologinya.

“Ini tidak hanya akan bermanfaat untuk iklim tetapi juga modal sosial. Salah satu aspek terpenting dalam transisi energi adanya penyiapan SDM,” katanya.

Meski masih akan menggunakan PLTU dalam beberapa tahun ke depan, pemerintah dalam draf Peta Jalan Transisi Energi Menuju net zero carbon, menargetkan seluruh penyediaan listrik berasal dari pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) pada 2060. Kapasitas EBT akan mencapai 578 GW saat itu.

Peta jalan transisi energi juga akan mencakup langkah pemerintah mengintervensi kebijakan di sektor demand, seperti penggunaan kendaraan listrik di sektor transportasi, kompor listrik untuk rumah tangga, penggunaan DME (dimithyl ether) batu bara, penggunaan jaringan gas, penerapan efisiensi energi, dan upaya transisi energi lainnya.

Koordinasi secara nasional terkait penyusunan peta jalan ini dilakukan bersama dengan Kementerian Perindustrian untuk sektor industri, Kementerian Perhubungan untuk sektor transportasi, Kementerian PUPR untuk sektor komersial (bangunan gedung), Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Bappenas, dan KLHK untuk mendapatkan angka Net Zero Emission (NZE) tahun 2060 yang disepakati.

Tenaga Surya Menggantikan Batu Bara

Sesuai dengan roadmap, energi surya akan menjadi andalan pemerintah untuk menggantikan batu bara sebagai sumber daya utama listrik. Indonesia yang dilimpahi panas matahari sepanjang tahun, memiliki potensi energi surya mencapai 3.295 GW.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi energi surya jauh lebih besar dibandingkan energi terbarukan lain, seperti hidro 95 GW, bioenergi 57 GW, bayu atau angin 155 GW, panas bumi 24 GW, panas bumi 24 GW dan laut 60 GW.

Meski memiliki potensi paling besar, pemanfaatan PLTS hingga kini sangat minim dibandingkan jenis energi terbarukan lain. Data Kementerian ESDM menunjukkan capaian kinerja kapasitas PLTS baru mencapai 205 MW dari potensinya yang mencapai 3.295 Gigawatt hingga kuartal pertama 2022.

Pemanfaatan EBT paling banyak adalah tenaga air atau PLTA dengan kapasitas terpasang 6.602 MW. Disusul PLTP 2.286 MW, PLT bioenergi 2.284 MW, PLT bayu 154 MW, sedangkan pembakit listrik arus laut masih nol.

Sekretaris Dewan Energi Nasional Djoko Siswanto mengungkap sejumlah tantangan yang masih membayangi pengembangan EBT di Tanah Air, termasuk PLTS.

Beberapa di antaranya, yakni potensi EBT di Indonesia yang cukup besar tetapi tersebar, membutuhkan pembangkit listrik base load atau storage besar terutama pada PLTS dan PLTB karena bersifat intermitten, keterbatasan kemampuan sistem jaringan menyerap listrik PLT EBT, hingga tak dapat ditransportasikan sehingga harus dibangkitkan di lokasi setempat.

Tantangan lain, menurut dia, teknologi dan barang yang masih harus diimpor, ketidakpastian pada pasar, konsumsi energi yang turun selama pandemi covid-19, biaya investasi awal yang tinggi, rendahnya ketertarikan perbankan berinvestasi di proyek EBT karena biaya tinggi, serta bunga bank yang tinggi.

Adapun target pengembangan PLT EBT saat ini masih mengacu pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN Persero 2021-2030. RUPTL ini disebut Menteri ESDM Arifin Tasrif paling green sepanjang sejarah karena memiliki porsi pembangkit EBT lebih besar dibandingkan pembangkit fosil, yakni 52% berbanding 48%.

Dalam RUPTL tersebut, pemerintah akan menambah PLT EBT sekitar 11 GW dengan komposisi terbesar dari PLTS 3,9 GW, disusul PLTA 3,1 GW, PLTP 1,4 GW PLTM/MH 1,05 GW, dan PLT Bioenergi 0,55 GW dan PLT Bayu 0,53 GW hingga 2045.

Tak seluruh wilayah di Indonesia memiliki potensi energi angin. Provinsi dengani energi angin terbesar adalah Nusa Tenggara Timur.

Guna mencapai target tersebut, menurut Djoko, pemerintah perlu memperkuat regulasi pengembangan EBT. Ini telah dilakukan melalui Revisi Peraturan Menteri ESDM terkait PLTS Atap dan penyusunan Rancangan Peraturan Presiden Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang tarif pembelian tenaga listrik yang bersumber dari energi baru terbarukan (EBT).

Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa menilai Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 jauh lebih baik dibandingkan aturan yang dirilis pemerintah sebelumnya mesti tak sepenuhnya ideal. Namun, aturan ini belum diimplementasikan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

“PLN sebenarnya punya alasan. Mereka khawatir jika kapasitas PLTS mencapai 3,6 GW pada tahun ini seperti target pemerintah, maka akan berdampak pada finansial mereka,” ujarnya.

Menurut Fabby, masifnya pembangunan PLTS berpotensi mengganggu penjualan listrik PLN. Padahal, BUMN listrik ini masih memiliki banyak kontrak pembelian listrik dengan produsen-produsen listrik swasta, terutama PLTU, hasil dari proyek 35 ribu megawatt.

Untuk itu, menurut Fabby, PLN sebenarnya membutuhkan penegasan dukungan pendanaan dari pemerintah.

Belum berjalannya Permen ESDM yang diteken sejak tahun lalu ini juga dipastikan Kementerian ESDM. Dadan menyebut, pemerintah tengah mengevaluasi kembali Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 karena ada sejumlah poin keberatan dari PLN selaku pelaksana.

“Beberapa isu yang masih harus dibahas adalah besaran kapasitas PLTS yang dipasang dan proses perizinannya agar terjadi percepatan,” kata Dadan.

Aturan lain, yakni rancangan Perpres tentang EBT saat ini juga masih dalam pembahasan yang dikoordinasikan oleh Kementerian Maritim dan Investasi. Tarif EBT yang menjadi poin krusial dari aturan ini sudah diselesaikan.

Menurut Fabby, Permen ESDM tentang PLTS Atap dan Perpres pembelian EBT adalah dua aturan yang ditunggu untuk memastikan berjalannya transisi energi. Kedua aturan ini diharapkan dapat menciptakan daya tarik investasi pada proyek EBT, terutama PLTS yang didambakan menjadi sumber utama listrik di Indonesia dalam empat dekade ke depan.

Biaya Mahal dan Tantangan Pendanaan

Pengembangan EBT memang bukan proyek murah. Namun, dukungan regulasi diharapkan dapat menciptakan keekonomian sehingga investor tertarik untuk berinvestasi.

Berdasarkan hitungan Kementerian ESDM, anggaran yang dibutuhkan agar seluruh kebutuhan listrik disuplai dari EBT pada 2060 mencapai US$ 1.177 miliar atau setara Rp 16.949 triliun (asumsi kurs Rp 14.400 per dolar AS).

Perhitungan ini juga belum mencakup seluruh upaya yang harus dilakukan pemerintah menuju netral karbon meski transisi energi memang membutuhkan anggaran paling besar.

Berdasarkan perhitungan Kementerian Keuangan sesuai dengan peta jalan Nationally Determined Contribution (NDC) 2020, kebutuhan pendanaan seluruh upaya mitigasi perubahan iklim pada 2020-2030 mencapai Rp 3.779 triliun.

Sektor energi dan transportasi mendominasi kebutuhan pendanaan untuk mengatasi perubahan iklim mencapai Rp 3.500 triliun. Sektor kehutanan butuh dana Rp 93,28 triliun, sektor industri Rp 0,92 triliun, limbah Rp 181,4 triliun, dan pertanian Rp 4 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menekankan, APBN hanya mampu membiayai 34% kebutuhan pendanaan tersebut. Sisanya, dibutuhkan dukungan dari sektor swasta hingga internasional. “Private sector mau ikut, tetapi biasanya mereka membutuhkan insentif. Di sini, APBN juga akan berperan,” ujarnya.

Menurut mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini, sebagian besar pengembangan energi baru dan terbarukan dalam sektor kelistrikan membutuhkan insentif dari pemerintah. Insentif ini dapat berbentuk pajak hingga subsidi sehingga proyek EBT menjadi lebih ekonomis dan menguntungkan untuk dibangun.

Pemerintah pun telah mengguyur sejumlah insentif perpajakan, seperti tax holiday, tax allowance, pembebasan bea masuk impor, pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Ditanggung Pemerintah (DTP), pengurangan pajak bumi bangunan khusus untuk pengembangan energi panas bumi, hingga insentif untuk pemasangan PLTS atap bagi pelanggan PLN.

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi menjadi salah satu proyek energi baru dan terbarukan yang dianggap memiliki risiko tinggi oleh perbankan.

Pemerintah juga telah menerbitkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Perpres Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon yang mengatur penerapan pajak karbon.

Pajak karbon akan mulai diterapkan Juli, setelah mundur dari jadwal sebelumnya pada bulan ini. Pajak ini terlebih dahulu diberlakukan pada PLTU batu bara dengan tarif Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Adapun penerapannya akan menggunakan mekanisme cap and trade.

Sri Mulyani mengatakan, pengenaan pajak karbon merupakan langkah pemerintah untuk menciptakan daya tarik pada investasi EBT. Pasalnya, Indonesia membutuhkan investasi besar untuk mencapai netral karbon pada 2060.

Ia pun sering kali menekankan bahwa Indonesia tak bisa sendiri untuk mencapai netral karbon, sehingga dibutuhkan dukungan internasional. Sebaliknya, dunia internasional pun memiliki kepentingan terhadap target Indonesia terkait iklim ini karena memiliki posisi strategi sebagai salah satu pemilik hutan tropis terbesar di dunia.

Pendanaan transisi energi menjadi salah satu topik utama pembicaraan dalam pertemuan G20 yang tahun ini berada di bawah presidensi Indonesia. Salah satu tujuan akhir pemerintah adalah memastikan komitmen negara maju untuk menyediakan US$ 100 miliar atau setara Rp 1.440 triliun dalam rangka penanganan perubahan iklim yang telah menjadi pembahasan dalam pertemuan G20 sebelumnya.

Djoko Siswanto mengatakan, Indonesia akan memanfaatkan ajang G20 untuk menarik minat investor asing pada proyek EBT. Proyek akan dipamerkan dalam pertemuan ini, antara lain proyek pembangunan pembangkit panas bumi, PLTS terapung, hingga kendaraan listrik termasuk stasiun pengisian bahan bakarnya.

Petugas mengisi daya mobil listrik di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) Ultra Fast Charging, Central Parking Nusa Dua, Badung, Bali
Kendaraan listrik akan menjadi salah satu showcase yang akan dipamerkan pemerintah dalam perhelatan G20 pada November mendatang di Bali.
SPKLU Ultra Fast Charging 200 kw yang disiapkan untuk penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 ini merupakan yang pertama di Indonesia.
SPKLU Ultra Fast Charging mampu mengisi penuh baterai kendaraan listrik berkapasitas >80kWh hanya dalam waktu 30 menit.

Saat ini, menurut Djoko, DEN juga tengah menjajaki potensi masuknya Denmark sebagai investor pengembangan EBT di Tanah Air. Ia optimistis proyek-proyek EBT memiliki peluang investasi besar yang dapat menarik minat investor di dalam negeri maupun asing.

Keyakinan Djoko muncul dari prediksi harga EBT dunia yang akan semakin menurun dan semakin kompetitif dengan energi fosil. Berdasarkan laporan McKinsey pada 2019, harga EBT akan lebih murah dibandingkan harga fosil di sebagian besar negara di dunia pada 2030. Ini juga karena perkembangan teknologi EBT yang terus berkembang. Salah satunya contohnya adalah pada PLTS.

Selain itu, menurut dia, pendanaan hijau juga mulai menjadi fokus utama pembiayaan infrastruktur di dunia. Dengan demikian, portofolio pendanaan pembangkit energi baru terbarukan yang bersifat hijau seharusnya lebih mudah didapatkan.

Indonesia saat ini merupakan salah satu negara penerbit green sukuk terbesar di dunia. Pemerintah bahkan telah mendapatkan penghargaan hingga 13 kali sebagai penerbit green sukuk terbesar oleh oleh Climate Bonds Initiative.

Sri Mulyani menyebut Indonesia adalah negara berkembang yang paling maju dalam mengembangkan instrumen pendanaan hijau. Instrumen pendanaan ini juga dinilai semakin menarik oleh para investor global. Ini terlihat dari permintaan yang tinggi pada setiap penerbitan instrumen pendanaan tersebut.

Pembiayaan pada sektor EBT juga mulai menarik minat sektor perbankan. Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi mengatakan, portofolio pembiayaan perusahaan untuk sektor renewable energy meningkat 68,71% pada tahun lalu mencapai Rp 4,28 triliun.

Bank Mandiri saat ini pun fokus menggali potensi pembiayaan pada sektor ini karena dinilai memiliki potensi pertumbuhan cukup besar di Indonesia.

Menurut Darmawan, potensi pembiayaan sektor EBT tak hanya terbatas pada segmen korporasi, tetapi juga ritel. Perusahaan kini memiliki produk kredit serbaguna mikro dan program kartu kredit khusus pembelian solar panel.

Bank Mandiri tak sendiri, beberapa bank lain juga telah memiliki produk pembiayaan untuk solar panel surya, antara lain BNI, CIMB Niaga, Bank Permata, dan BCA.

Direktur Utama CIMB Niaga Lani Darmawan mengatakan, pihaknya mulai melakukan pemetaan terkait pembiayaan berkelanjutan dan potensi pengembangan transisi energi. “Kami sedapat mungkin mulai dengan yang visible, seperti pembiayaan mobil listrik dan panel surya,” ujarnya.

Ketua Bidang Hukum Perbanas Fransiska Oei menilai pembiayaan proyek EBT masih sangat menantang bagi perbankan domestik. Proyek-proyek EBT masih memiliki risiko yang tinggi bagi perbankan. Debitur yang masuk ke industri ini juga masih terbatas.

"Kebanyakan proyek EBT itu membutuhkan tenor panjang dan kemungkinan besar tidak cocok dengan funding perbankan," ujarnya.

Selain itu, menurut Fransiska, proyek-proyek EBT membutuhkan investasi yang besar dengan risiko yang tinggi. Padahal, bank harus memastikan debitur dapat mengembalikan pinjamannya.

Oleh karena itu, ia menilai, proyek-proyek EBT membutuhkan insentif dari regulator agar perbankan dapat ikut membiayai. Beberapa yang dapat diberikan di antaranya, jaminan pemerintah, insentif pajak, hingga kelonggaran dalam perhitungan risiko kredit.

"Proyek EBT ini memang tantangan bagi perbankan karena risiko yang tinggi. Tapi perlahan kami memang akan mulai mengambil risiko itu," ujarnya.

Tim Produksi

Penanggung Jawab Proyek

Yura Syahrul

Kepala Proyek

Agustiyanti

Editor

Aria W Yudhistira, Muchamad Nafi, Yura Syahrul

Penulis

Agustiyanti, Happy Fajrian, Intan Nirmala Sari, Rezza Aji Pratama

Reporter

Amelia Yasodora

Kontributor

Nindias Nur Khalika

Manajer Proyek

Arie Mega

Periset

Vivi Sumanti (Lead), Prawira, Fatiya Rumi Humair, Rizky Anggia Nursanti, Wayan Aristana

Teknologi Informasi

Aditya Nugroho, Prita Dyah Prawitasari, Maulana

Naskah infografik

Cindy Mutia Annur, Vika Azkiya Dihni

Desainer

Pretty Juliasari Zulkarnaen

Illustrator

Joshua Siringo Ringo

Periset Foto

Muhammad Zaenuddin