Setelah sempat mengemuka pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, ide pemindahan ibu kota negara kembali bergulir. Pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla berinisiatif memindahkan ibu kota negara dari Jakarta. Kajiannya masih dimatangkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dengan sejumlah alternatif calon ibu kota baru, salah satunya Palangkaraya di pulau Kalimantan.
Ada sejumlah alasan mengapa pemerintah berniat memindahkan ibu kota negara dari Jakarta. Satu alasan yang kerap mengemuka adalah beban berat yang ditanggung oleh Jakarta. Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro menyebutkan Jakarta saat ini menjadi pusat segalanya, mulai dari pusat pemerintahan, keuangan, industri dan bisnis. Akibatnya, selain sangat padat penduduk, Jakarta juga macet parah.
Dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 15 ribu jiwa per km2, Daerah Khusus Ibu kota (DKI) Jakarta telah menjadi wilayah terpadat di seluruh Indonesia. Kepadatan Jakarta ini adalah 100 kali lipat dibandingkan dengan tingkat kepadatan penduduk Indonesia secara nasional hanya 134 jiwa per km2. Angka ini sekaligus menunjukkan tingkat penyebaran penduduk yang sangat tidak merata di wilayah Indonesia.
Meski secara ekonomi Jakarta paling maju dan mempunyai pertumbuhan pesat, namun tingginya tingkat kepadatan penduduk ini berimbas pada sulitnya hunian dan kumuhnya beberapa pemukiman di Jakarta. Banyak berita dan laporan yang menyebutkan bahwa satu rumah petak di kawasan padat dan kumuh di Jakarta bisa ditempati oleh beberapa keluarga sekaligus. Bahkan, untuk berisitirahat pun, mereka harus bergiliran.
Dari aspek kemacetan lalu lintas, sebuah riset dari Tomtom Traffic Index menempatkan Jakarta sebagai kota termacet ketiga di dunia. Riset itu menyebutkan, sebagai ibu kota negara, Jakarta hanya lebih baik dibanding Meksiko City dan Bangkok, Thailand. Padahal, beberapa ibu kota negara lain mempunyai lalu lintas yang lebih baik. Lalu lintas pada negara-negara tersebut tidak hanya terpusat di ibu kota namun cenderung lebih merata dengan kota-kota lain di negara tersebut.
Alasan lain yang disampaikan oleh pemerintah untuk memindahkan ibu kota adalah untuk pemerataan pembangunan dan beban ke luar pulau Jawa. Dari sisi aspek distribusi jumlah penduduk saja, terlihat sangat tidak merata. Pemusatan penduduk sangat terlihat terjadi pada kota-kota besar di pulau Jawa, terutama DKI Jakarta. Selain itu ada kota Bandung, Yogyakarta dan Malang.
Terkonsentrasi penduduk di Pulau Jawa menimbulkan efek domino baik dari segi ketimpangan pembangunan ekonomi, pembangunan infrastruktur, hingga masalah kemiskinan. Simulasi kepadatan penduduk ditampilkan dalam peta interaktif di bawah ini.
Di peta terlihat Kalimantan dan Papua menjadi pulau yang mempunyai kepadatan penduduk relatif rendah. Hal ini terlihat pada tampilan peta di atas yang menunjukkan gambar hijau hampir di seluruh wilayah pulau tersebut. Sangat berbeda dengan Pulau jawa yang warnanya sudah berangsur pudar, bahkan terlihat sangat padat dengan simbol merah di beberapa wilayah termasuk DKI Jakarta.
BELAJAR DARI NEGARA LAIN
Guna mengurangi beban kepadatan penduduk di Jakarta, membagi tugas pemerintah dan pusat bisnis, serta mengurangi kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa, pemerintah juga belajar dari sejumlah negara lain yang telah memisahkan pusat bisnis dan pusat pemerintahan. Negara-negara tersebut mengalihkan distribusi penduduk dan menekan kemacetan lalu lintas di ibu kota sebelumnya.
Sebut saja misalnya, Malaysia yang punya Kuala Lumpur dan Putra Jaya. Belanda, ibu kotanya adalah Amsterdam, tapi pusat pemerintahannya berada di Den Haag. Australia juga memindahkan pusat pemerintahan dari Melbourne ke Canberra. Demikian halnya dengan Amerika Serikat yang memindahkan pusat pemerintahannya dari New York ke Washington DC.
Rencana untuk memindahkan ibu kota negara Indonesia sejatinya bukan sebuah hal baru. Bahkan, sejak orde lama, Presiden pertama RI, Sukarno telah menyebut Palangkaraya di Kalimantan Tengah sebagai tempat ideal ibu kota Indonesia. Selanjutnya, Pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, Presiden Soeharto juga mewacanakan pemindahan ibu kota ke kawasan Jonggol, Jawa Barat. Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah ingin memperluas wilayah ibu kota hingga Sukabumi dan Cianjur. Namun semua rencana pemindahan tidak pernah terealisasi.
Saat ini, pemerintah Jokowi telah menugaskan Bappenas bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk melakukan kajian teknis menyangkut pemindahan ibu kota negara.
Tidak hanya soal pemilihan lokasi, kajian ini juga sampai pada skema pendanaan yang kabarnya akan melibatkan pihak swasta guna menekan pemakaian dana anggaran negara (APBN). Mengutip pernyataan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, pemindahan ini membutuhkan dana setidaknya Rp 300 triliun. Angka ini berdasarkan literasi yang didapatnya dari program serupa di beberapa negara-negara dunia.
Selanjutnya, masih dari Kementerian PUPR, ada tiga provinsi yang dibidik sebagai calon ibu kota yang baru, yakni Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Ketiga provinsi tersebut dinilai ideal karena masih memiliki lahan yang luas serta tidak berada di jalur pegunungan api yang kerap terjadi gempa.
Namun, untuk merealisasikan wacana pindah ibu kota, jalan panjang masih harus ditempuh. Setidaknya membutuhkan 4-5 tahun hingga semuanya terealisasi secara penuh. Tak hanya sampai menentukan lokasi baru, namun pembangunan infrastruktur, transportasi massal, perumahan, hingga pemindahan ratusan ribu pegawai negeri sipil (PNS) yang sebelumnya bekerja di pusat pemerintahan masih menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat bagi pemerintah saat ini.
***
Nazmi Haddyat Tamara adalah Data Analyst dan Statistician Katadata. Saat ini, dia mengisi posisi tim Data pada divisi Riset dan Data Katadata. Menempuh pendidikan pada jurusan Statistika IPB dan telah berpengalaman dalam pengolahan dan analisis data pada berbagai topik.
Catatan:
Data Kepadatan Penduduk diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi dan Kabupaten terkait. Riset Tingkat Kemacetan menggunakan data Tomtom Traffic Index.
Editor: Nazmi Haddyat Tamara