Jika dibagi berdasarkan jumlah properti, kelurahan terkaya ditempati oleh Gambir dengan rata-rata Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar Rp 101 juta per objek pajak. Pulau Tidung paling bawah dan bedanya tetap sekitar 1000 kali lipat.
Ramda Yanurzha
Oleh Ramda Yanurzha
15 Juni 2017, 16.01

Tidak mudah untuk mengetahui kekayaan atau harta dan pemasukan orang Jakarta. Harta adalah gosip yang menyebar di grup WhatsApp ibu-ibu tentang tetangga baru yang mobilnya tiga atau anaknya sekolah di Australia.  

Untuk mengetahui seberapa kaya orang Jakarta, saya dan teman saya menerka-nerka untuk mencari kebenaran.

1. Data Resmi Pemerintah

Data resmi pemerintah sulit untuk menjadi patokan. Sebab, jika melihat data pemerintah, hanya ada 850 ribu orang di Indonesia yang pengeluarannya lebih dari Rp 4 juta per bulan. Jadi, sopir taksi di Jakarta dengan gaji Rp 4 juta sudah termasuk 1 persen top income se-Indonesia. (I don’t know what to believe anymore, everything is fake news)

2. Toyota Alphard

Sebenarnya, ini adalah cara yang paling buruk dan judgemental. Tapi saya mengambil contoh ini karena paling terlihat: MPV mewah ini sepertinya masuk dalam starter pack keluarga kaya di Jakarta yang butuh mobil berkapasitas 7 orang dan slot garasi tinggal sisa satu. Alphard ini ada di kategori 4x2 dengan mesin 2500 atau 3000 cc, lebih kecil dibanding 500.000 unit mobil yang terjual di kategori ini, namun seakan ada di mana-mana saat pulang kantor.

Permasalahannya, data yang ada hanyalah target penjualan nasional (200 unit per bulan) dan hasil penjualan di Jawa Timur (31 unit per bulan). Dengan asumsi yang sangat kasar, saya sampai pada angka 1.200 unit @ Rp 1 miliar per tahun untuk area Jakarta. Dengan asumsi satu rumah beli satu unit, ini berarti ada penambahan kekayaan setidaknya sebesar Rp 1 miliar untuk 1.200 keluarga di Jakarta setiap tahunnya. 

(tentu saja, sebenarnya ini tidak signifikan dibanding Avanza yang rata-rata penjualannya  2.163 unit per bulan di Jakarta dengan harga jual Rp 200 juta, yang setia datang setiap saat saya pakai Uber walaupun tetap saya tidak bisa membelinya) 

Tentu saja, tidak adil kalau kita hanya melihat mobil merakyat ini saja, perlu melihat merek lain..  

3. Pajak Bumi Bangunan 

Sebenarnya banyak sumber data soal harga rumah dan tanah. Ada persentase kepemilikan rumah BPS. Ada Survey Harga Properti Residensial dari BI. Ada data transaksi properti second yang luar biasa keren dari Brickz. Bisa juga crowdsourcing dengan mendatangi tiap pameran properti di tiap ITC dan mal lalu minta brosur sama mas/mbak agennya. Ok itu ribet. 

Masalahnya, semua sumber data tadi hanya menggambarkan nilai properti saat ada transaksi. Bagaimana cara saya bisa memvalidasi kemarahan irasional saya pada generasi sebelum saya yang baru lulus sudah bisa beli rumah?

Yang saya temukan, ternyata DKI Jakarta merilis Data Cetak Masal PBB 2015 per KelurahanNo, I have no idea why it's called cetak masal, but whoa.

Kelurahan Ancol rupanya menyumbang Rp 226 miliar dari Pajak Bumi Bangunan, tertinggi di Jakarta. Sementara itu, yang terendah itu Kelurahan Pulau Tidung dengan sumbangan pajak sebesar Rp 220 juta saja, dengan gap sebesar 1000 kali lipat.

Jika dibagi berdasarkan jumlah properti, tempat pertama digantikan oleh Gambir (Rp 101 juta per objek pajak). Pulau Tidung tetap paling bawah dan bedanya tetap sekitar 1000 kali lipat. Silakan cari sendiri kelurahan anda di versi interaktif ini karena saya tidak tega memvisualisasikannya ke dalam peta.

Implikasinya tentu saja 10-20 rumah di Pondok Pinang berharga (baca: menghasilkan pajak) setara seluruh Pulau Tidung.

Lalu apa hubungannya dengan harga properti? Kalikan saja dengan 1.000 untuk dapat perkiraan harga properti aslinya. Rp 5 juta per tahun = properti seharga Rp 5 miliar. Pondok Pinang, rata-rata Rp 17 juta? Rp 17 miliar. 

So the awkward thing is, I live in Pondok Pinang. 

Yup. Pojok kiri atas. Paling gede di Jakarta Selatan. Tentu saja, ini termasuk Pondok Indah (karena ponpin itu pondok indah coret pfft), tetapi setelah dipikir-pikir memang harga tanah di daerah rumah saya terus naik tidak masuk akal setiap tahunnya. Seberapa keras usaha saya melabeli diri saya sebagai kelas menengah yang menimbang-nimbang menabung nikah, mobil, dan rumah suburban (pilih dua dari tiga), dalam data-data tadi, saya mungkin ada di kelas atas.

Jadi seberapa kaya orang Jakarta?
Menurutmu, seberapa kaya kamu sebagai orang Jakarta?

Artikel selengkapnya bisa disimak di link berikut ini.

Ramda Yanurzha adalah Urban Data Scientist.  Alumni Center of Urban Science & Progress New York University.

Editor: Ramda Yanurzha