Pandemi Covid-19 turut berimbas kepada industri kopi Indonesia. Namun, prospeknya tetap cerah karena ditopang produksi dan konsumsi dalam negeri, serta nilai ekspor yang besar. Sektor ini pun masih berpeluang sebagai salah satu penggerak perekonomian nasional.
Pukulan terlihat dari hasil survei Organisasi Kopi Internasional (ICO) pada 20 Mei-1 Juni 2020 terhadap 16 negara pengekspor kopi, termasuk Indonesia. Sebanyak 75% responden menyatakan pandemi berdampak buruk terhadap pekerja. Lalu, 63% mengaku terdampak buruk dari sisi pendapatan.
Dari sisi konsumsi domestik, 56% responden mengaku terdampak buruk dan 6% sangat buruk. Selanjutnya, 50% responden mengaku terdampak buruk dan 6% sangat buruk dari sisi ekspor. Sementara hanya 31% responden yang mengaku produksinya terdampak buruk.
Hal itu selaras dengan pernyataan Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia, Moelyono Soesilo bahwa pandemi telah menurunkan permintaan kopi dari hulu hingga hilir. Di sisi hulu, permintaan kopi arabika hanya tersisa 25%. Mengingat jenis kopi ini termasuk premium dan berharga tinggi, sementara hotel, restoran, dan kafe yang menjadi hilirnya tutup.
Sedangkan, menurut Moelyono, untuk permintaan kopi jenis robusta yang berharga lebih murah cenderung meningkat. Hal ini terdorong oleh panic buying masyarakat lantaran kekhawatiran pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Kopi robusta biasanya dijual di kedai yang lebih sederhana.
"Sehingga ada pergeseran konsumsi kopi konsumen dari kafe high class ke tempat lebih sederhana. Kedai kopi pinggir jalan dengan ruang terbuka kini peminatnya banyak," katanya dalam diskusi Indonesia Industry Outlook 2021 awal November lalu.
Hasil survei Inventure Indonesia bersama Alvara Research Institute berkelindan dengan peningkatan permintaan kopi robusta. Sebanyak 48,4% responden mengaku cenderung mengonsumsi kopi saset yang biasanya berbahan baku kopi robusta selama pandemi.
Berikutnya, 36,3% responden memilih meminum kopi kemasan, 27% kopi literan, dan hanya 16,7% paket olahan kopi secara manual (manual brew). Sebuah hasil yang menjelaskan pula penurunan konsumsi kopi arabika dan kunjungan ke kedai kopi premium. Mengingat manual brew biasanya menggunakan kopi arabika dan disajikan di kedai kopi premium.
Cracking Chambers yang berbasis di Sidoarjo bisa menjadi contoh pukulan pandemi ke industri kopi di hilir, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pemiliknya, Imam Tohari mengaku pendapatannya menurun sekitar 80% selama masa PSBB di wilayahnya.
“Karena sekarang mulai dilonggarkan, jadi meningkat lagi,” kata Imam kepada Katadata.co.id, Kamis (3/12).
Sementara, Dua Coffee bisa menjadi contoh bisnis hilir yang sukses memanfaatkan kecenderungan peralihan konsumsi ke jenis kopi literan. Kedai kopi yang memiliki gerai di Bintaro, Cipete, Bandung, dan Washington D.C ini berhasil menutup omzet bulanannya dengan menjualn kopi literan secara daring, menurut pemiliknya, Omar Prawirangera kepada Katadata.co.id, Juni lalu.
Tekanan juga datang dari penurunan harga biji kopi. Pada masa normal, harga kopi berkisar Rp 68.000 per kilogram. Namun, mengutip Market Insider, harga kopi selama pandemi berkisar Rp 28.000-37.656 per kilogram. Dampaknya kepada penurunan nilai free on board (FOB) ekspor kopi sebesar 10,09% menjadi US$ 501.190,6 ribu pada Januari-Agustus 2020 dibanding periode sama tahun sebelumnya.
Akan tetapi, industri kopi dalam negeri masih memiliki harapan ke depannya. Indonesia berada di peringkat ke-9 eksportir kopi dunia dengan rasio 2,9% dari total ekspor global pada 2019. Tepat di bawah Honduras dan Prancis yang mengakuisisi 3,5% dan 4,1% total ekspor global.
Lima negara utama tujuan ekspor kopi Indonesia adalah Amerika Serikat (AS), Italia, Malaysia, Mesir, dan Jepang, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Volume ekspor ke AS mencapai 58.666,2 ton. Kemudian Italia, Malaysia, dan Mesir masing-masing sebesar 35.452,2 ton, 34.662,2 ton, dan 34.285 ton. Sedangkan, Jepang sebesar 25.587,8 ton.
Kementerian Pertanian (Kementan) pun mencatat luas areal perkebunan kopi Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2017 tercatat seluas 1,238 juta hektare (ha). Meningkat menjadi 1,252 juta ha setahun setelahnya. Pada 2019 tercatat angka sementara sebesar 1,258 juta ha dan tahun ini diperkirakan mencapai 1,264 juta ha.
Dari jenis pengusahaannya, Perkebunan Rakyat (PR) paling luas dengan 1,210 juta ha pada 2018. Disusul Perkebunan Besar Swasta (PBS) 22.247 ha dan Perkebunan Besar Negara (PBN) 19.923 ha.
Produksi kopi pun terus mengalami peningkatan dari 717.962 ton pada 2017 menjadi 756.051 ton setahun setelahnya. Catatan sementara pada 2019 mencapai 760.963 ton dan tahun ini diprediksi mencapai 773.409 ton. Namun, pandemi kemungkinan membuat target produksi 2020 tak tercapai. Kementan telah memperkirakan ulang produksi akan turun 35%.
Sumatera Selatan merupakan lumbung kopi terbesar di Indonesia dengan total produksi 184.168 ton pada 2018. Jumlah tersebut setara dengan 25% total produksi nasional di tahun yang sama. Di posisi kedua adalah Lampung yang mampu memproduksi 106.746 ton. Lalu Jawa Timur dengan produksi 71.551 ton.
ICO dalam Coffee Development Report 2019 mencatat Indonesia menempati peringkat keempat produsen kopi terbesar dunia dengan total produksi 12 juta karung kopi berukuran 60 kg pada rentang tahun 2013 sampai 2018. Di bawah Brazil, Vietnam, dan Kolombia yang secara berurutan menempati posisi pertama sampai ketiga.
Dalam laporan yang sama, Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara dengan jumlah petani kopi terbanyak di dunia dengan 1,3 juta orang. Tertinggal dari Ethiophia dan Uganda.
Pasar domestik pun cukup besar dan sangat berpeluang dimanfaatkan ke depannya. ICO mencatat konsumsi kopi domestik Indonesia pada 2016-2017 mencapai 4,6 juta kemasan 60 kg. Meningkat menjadi 4,8 juta kantong biji kopi seberat 60 kg atau setara 50,97% dari total produksi nasional pada periode 2018-2019.
Kementan memprediksi konsumsi kopi nasional pada 2021 mencapai 370 ribu ton dengan pertumbuhan rata-rata 8,22% per tahun sejak 2016. Menariknya, 94,5% produksi kopi dalam negeri berasal dari Perkebunan Rakyat. Maka, semakin banyak konsumsi, perekonomian petani kopi pun semakin meningkat.
Tingginya konsumsi dalam negeri tak lepas dari tren pertumbuhan kedai kopi kekinian beberapa tahun ke belakang yang mendorong anak muda untuk berkunjung. Salah satunya kedai kopi berkonsep grab and go di pusat-pusat bisnis dan perbelanjaan, seperti milik Kopi Kenangan, Janji Jiwa, hingga Kulo.
Laporan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) pada Mei 2020 lalu yang menunjukkan bahwa jumlah gerai kopi Tanah Air terus berkembang sejak pertama perusahaan didirikan. Misalnya, Kopi Kenangan yang berdiri sejak 2017 lalu telah memiliki 300 gerai pada April 2020. Lalu, Janji Jiwa yang didirikan sejak 2018 lalu telah memiliki 800 gerai pada April 2020.
Laporan Litbang Kompas dan PT Toffin dan Mix Marketing & Communication mencatat, dalam tiga tahun terakhir jumlah gerai kopi di Indonesia meningkat hampir tiga kali lipat. Pada 2016, jumlahnya sebanyak 1.083 gerai. Lalu pada 2019, jumlahnya sudah mencapai lebih dari 2.937 gerai.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Iman Pambagyo mengungkap sejumlah langkah untuk mendorong geliat kopi nasional. Pemerintah akan menggelar perundingan internasional dan menyederhanakan proses ekspor. Khususnya dengan Surat Keterangan Asal (SKA) yang mempermudah penelusuran kopi asli Indonesia.
Lalu, meluncurkan Go Dagang sebagai platform pelatihan UMKM bidang kopi. “Dan membantu pembiayaan di tengah krisis,” ujar Iman yang juga Ketua Dewan International Coffee Organization (ICO).
Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi