Lebih sembilan bulan Covid-19 menjadi pandemi di Indonesia. Bukan hanya orang dewasa yang menjadi korban keganasannya, tapi juga anak-anak. Sebuah hal yang membuktikan bahwa anak-anak tak kebal dari virus ini dan patut mendapat perlindungan.
Berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 per Minggu (27/12), kasus corona di Indonesia telah mencapai 713.365 orang. Dari jumlah tersebut, 2,7% merupakan anak-anak berusia 0-5 tahun dan 8,8% anak-anak berusia 6-18 tahun.
Sebelumnya, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat anak yang terinfeksi Corona sebanyak 11,3% dari total kasus Covid-19 nasional per 1 Desember 2020.
Sementara, jumlah kasus kematian akibat corona mencapai 21.237 orang. Dari jumlah tersebut, 0,9% merupakan anak berusia 0-5 tahun dan 1,7% anak-anak berusia 6-18 tahun.
Persentase kematian anak akibat Covid-19 di Indonesia lebih rendah dari kelompok usia lain, tapi jumlah tersebut lebih tinggi dari Amerika Serikat dan India yang merupakan dua negara dengan total kasus Covid-19 tertinggi di dunia.
Di Amerika Serikat, hanya 0,21% dari seluruh kasus kematian akibat corona merupakan anak-anak. Sementara di India, hanya 1% kasus kematian akibat corona merupakan anak-anak berusia di bawah 18 tahun.
Ketua IDAI Aman Bhakti Pulungan menilai tingginya kasus kematian anak akibat Covid-19 lantaran terlambat terdeteksi. Sehingga, mereka datang ke rumah sakit sudah dalam kondisi berat dan sulit tertolong.
Selama ini, menurut Aman, pemeriksaan corona yang langsung menyasar anak relatif rendah. Anak baru diperiksa kalau orang tuanya telah terbukti positif corona. “Jadi tidak ada, karena kalau misalnya anak batuk pilek kan tidak semuanya langsung diperiksa,” kata Aman beberapa waktu lalu, melansir VOA Indonesia.
Rendahnya pemeriksaan kondisi anak berkaitan pula dengan keterbatasan akses orangtua untuk mendeteksi dini Covid-19. Hasil survei Save The Children Indonesia mengungkapkan ada 34% orang tua tidak mendapatkan akses tes corona untuk anaknya selama pandemi.
Keterbatasan tersebut terjadi karena kekhawatiran terinfeksi corona (76%), adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) (47%), kesulitan biaya (20%), hingga minimnya persediaan obat-obatan atau karena layanan kesehatan tutup (6%).
Selain itu, sebanyak 38% orang tua kesulitan mengakses layanan pengobatan untuk anak. Sedangkan, 16% orang tua merasa tidak dapat mengakses layanan konsultasi langsung dengan dokter.
Hal serupa nampak dalam hasil survei Wahana Visi Indonesia bahwa 54% rumah tangga di negeri ini tidak dapat mengakses layanan kesehatan ibu dan anak selama masa pandemi corona. Hanya 45% responden yang mengunjungi rumah sakit, jauh berkurang dari sebelum pandemi yang sebesar 79%.
Akses rumah tangga ke puskesmas atau klinik juga menurun dari sebelumnya 94% menjadi 64% selama masa pandemi corona. Rumah tangga yang mengakses klinik/praktik persalinan menurun dari 52% menjadi 37% saat pandemi corona.
Kemudian, rumah tangga yang mengakses klinik kesehatan keliling menurun dari 25% menjadi 16% selama masa pagebluk. Sedangkan, rumah tangga yang mengakses pusat pengobatan tradisional menurun dari 31% menjadi 22% pada saat ini.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sistem kesehatan di negeri ini belum siap menghadapi pandemi, terutama dalam melindungi anak-anak. Padahal, untuk menanggulangi pandemi sangat membutuhkan kesiapan sistem dan infrastruktur kesehatan.
Lebih lanjut, banyak anak di Indonesia memiliki penyakit penyerta atau komorbid yang dapat memperparah kondisi mereka ketika terinfeksi corona. Salah satu penyakit penyerta yang kerap diderita anak-anak adalah pneumonia.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, 505.331 balita menderita pneumonia pada 2018. Rinciannya, 167.665 penderita pneumonia berusia kurang dari satu tahun dan 337.666 orang berumur 1-4 tahun.
Dari jumlah tersebut, 425 balita telah meninggal dunia akibat pneumonia. Rinciannya, 268 anak berusia kurang dari satu tahun dan 157 lainnya berusia 1-4 tahun.
Pneumonia adalah penyakit peradangan paru-paru akibat infeksi. Kondisi tersebut bisa bertambah buruk ketika seorang anak terinfeksi Covid-19 yang juga menyerang saluran pernapasan.
IDAI juga menilai masih banyaknya anak bermain di luar rumah selama masa pandemi. Hal tersebut mengingat mayoritas atau 47% anak merasa bosan ketika harus terus tinggal di rumah.
Padahal, penerapan protokol kesehatan 3M, seperti memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan di tengah masyarakat masih cukup rendah yang membuat anak-anak rentan terinfeksi Covid-19 dari orang dewasa.
Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 4-7 November 2020 mencatat, baru 47% masyarakat Indonesia yang selalu memakai masker saat keluar rumah. Jumlah responden yang selalu menjaga jarak fisik dalam pergaulan sehari-hari pun baru mencapai 35%. Sementara, responden yang selalu mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir hanya mencapai 43%.
Ditambah lagi, belum seluruh anak di negeri ini mendapat imunisasi lengkap (DPT 3 kali, polio 3 kali, campak 1 kali, BCG 1 kali, dan hepatitis B 3 kali) ketika balita. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat baru 53,07% anak umur 12-23 bulan pada kelompok masyarakat 40% ekonomi terbawah yang menerima imunisasi lengkap.
Tanpa imunisasi lengkap, sistem kekebalan tubuh anak-anak menjadi lebih rentan terinfeksi virus dan bakteri, termasuk Covid-19.
Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan sejumlah hal untuk mencegah Covid-19 pada anak-anak. Pemerintah perlu meningkatkan pemeriksaan corona pada anak-anak. Dengan begitu, anak-anak tak perlu menunggu dalam kondisi berat ketika terinfeksi corona. Nyawa mereka bisa tertolong ketika mendapatan penanganan medis secara cepat.
Pemerintah juga mesti terus memberikan akses berbagai layanan kesehatan kepada anak-anak, meski di masa pagebluk. Selain itu, pemerintah harus terus menyosialisasikan disiplin penerapan protokol kesehatan di tengah masyarakat.
Lebih lanjut, IDAI menilai para orang tua harus mulai memperkenalkan perilaku 3M kepada anak selama di rumah. Hal tersebut perlu dilakukan secara bertahap dan berulang kali mengingat anak-anak masih dalam masa tumbuh kembang dan terus belajar.
Jika memang harus keluar rumah, maka orang tua harus bisa mengawasi kegiatan anak-anak. Jangan sampai kegiatan anak di luar rumah tanpa menerapkan protokol kesehatan dengan baik.
Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi