Advertisement
Analisis | Apa Penyebab Kondisi Korupsi di Indonesia Memburuk? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Apa Penyebab Kondisi Korupsi di Indonesia Memburuk?

Foto: Joshua Siringo Ringo/Katadata
Skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2020 turun tiga poin menjadi 37. Ini menunjukkan kondisi korupsi memburuk. Apa penyebabnya?
Dimas Jarot Bayu
8 Februari 2021, 10.12
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Indikator korupsi di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terlihat dari menurunnya skor indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada 2020 yang dikeluarkan Transparency International (TI). Negeri ini hanya mengantongi 37 poin, lebih rendah tiga poin dari 2019.

TI menggunakan skala 0-100 dalam mengukur IPK. Skor nol menunjukkan sebuah negara sangat korup. Sebaliknya, skor 100 menunjukkan sebuah negara sangat bersih dari korupsi. Dengan skor saat ini, berarti permasalahan korupsi di Indonesia masih mengkhawatirkan.

Dari 180 negara dunia dalam penilaian TI, IPK Indonesia bertengger di peringkat ke-102 pada 2020, selevel dengan Gambia yang punya skor sama. Ini adalah sebuah ironi, mengingat Gambia baru lebih kurang empat tahun lepas dari 22 tahun masa kepemimpinan rezim Yahya Jammeh yang korup.

Indonesia sudah 22 tahun mengalami reformasi sejak tumbangnya rezim Soeharto pada 1998. Salah satu hasil dari reformasi adalah terbentuknya UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian berubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001.

TI menyebut perkembangan anti-korupsi di Gambia sangat signifikan. Dalam artikel bertajuk The Gambia’s Seven-Point Improvement in CPI Comes After End of Decades-Long Autocratic Rule, terdapat tujuh poin perkembangan anti korupsi yang signifikan. Salah satunya membentuk Komisi Kebenaran, Rekonsiliasi, dan Repatriasi yang mulai aktif pada Januari 2019.

Komisi tersebut menyelidiki aset-aset hasil korupsi Yahya Jammeh yang tersimpang di luar negeri dan mengembalikannya ke negara. Jumlah korupsi Yahya Jammeh, menurut laporat TI, hampir US$ 1 miliar yang setara dengan setahun PDB dan dua kali lipat utang luar negeri Gambia.

Di tingkat Asia Tenggara, peringkat IPK Indonesia turun satu menjadi kelima pada 2020. Sementara, peringkat lama Indonesia ditempati Timor-Leste yang mengantongi skor 40. Menurut laporan TI, IPK Timor Leste meningkat 10 poin dibandingkan pada 2013 dan termasuk yang paling signifikan di Asia Pasifik.

Keberhasilan Timor-Leste, menurut TI, lantaran dalam tujuh tahun ke belakang mampu menguatkan integritas lembaga-lembaga negaranya dan lembaga anti-korupsinya. 

Lantas, apa yang menyebabkan skor IPK Indonesia menurun?

Peneliti Transparansi Internasional Indonesia (TII) Wayan Suyatmiko dalam keterangan resmi di situs TII pada 28 Januari 2021, menyebut penyebabnya adalah penurunan skor pada lima dari sembilan indikator penyusun IPK.

Pertama, Global Insight (GI) Country Risk Ratings yang terkait tingkat risiko individu atau perusahaan dalam menghadapi praktik suap atau korupsi lainnya. Indikator ini turun 12 poin menjadi 35 poin.

Kedua, Political Risk Service Corruption (PRS) yang terkait suap dalam pelayanan publik. Skornya merosot 8 poin menjadi 50 poin. Ketiga, IMD World Competitiveness Yearbook yang terkatit dengan keberadaan praktik penyuapan. Skornya juga turun 5 poin menjadi 43 poin.

Keempat, Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Asia Risk Guide yang terkait persepsi masyarakat atas persoalan korupsi di negara tempatnya bekerja. Skornya turun tiga poin menjadi 32 poin.

Kelima, indikator Varieties of Democracy (VDem) Project yang terkait korupsi politik juga turun dua poin menjadi 26 poin. Hasil survey TII menguatkan hal ini, yakni satu dari tiga responden mengaku pernah ditawari untuk menjual suaranya dala pemilu.

Sekretaris Jenderal TII, J Danang Widyoko dalam keterangan resmi di situs TII pada 28 Januari 2021, menyebut penurunan indikator Global Insight dan PRS yang besar dipicu relasi korupsi antara pebisnis dan pemberi layanan publik untuk mempermudah proses berusaha.

Danang pun menyoroti perihal kebijakan pemerintahan saat ini yang bertumpu pada ekonomi dan investasi tanpa mengindahkan integritas bisa memicu korupsi. Salah satu kebijakan investasi dan ekonomi termutakhir pemerintah, adalah pengesahan UU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020 lalu yang berujung penolakan dan demonstrasi di sejumlah daerah.

Sementara itu, dalam laporan TI, poin Indonesia di tiga indeks penyusun tercatat stagnan. Indikator World Economic Forum (WEF) EOS yang terkait dengan penyuapan dan gratifikasi tetap sebesar 46 poin. Lalu, Bertelsman Foundation Transformation Index (BFTI) yang terkait dengan hukuman bagi pejabat publik pelaku korupsi dan upaya pemerintah menanggulangi korupsi tetap 37 poin.

Skor indikator Economist Intelligence Unit (EIU) juga tetap 37 poin. Indikator ini  terkait akuntabilitas prosedur keuangan negara yang disalahgunakan pejabat untuk pribadi atau partai.      

Skor Indoneia hanya naik di indikator World Justice Project (WJP)-Rule of Law Index, yakni menjadi 23 poin. Indikator ini terkait penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi oleh pemerintah.

Namun, skor WJP-ROL Index tak mampu mengerek skor IPK Indonesia pada 2020. Hal ini karena skor WJP-ROL Index Indonesia selalu di bawah rerata skor IPK tahunan dalam lima tahun terakhir.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai penurunan skor IPK Indonesia lantaran orientasi pemerintah merumuskan kebijakan antirasuah tidak jelas. Salah satunya tampak dari revisi Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  

ICW menilai revisi tersebut telah melemahkan KPK dalam dua tahun terakhir, setidaknya dari sisi penindakan.

Pada 2018, KPK tercatat telah melakukan 164 penyelidikan, 199 penyidikan, 151 penuntutan, 104 putusan inkrah, dan mengeksekusi 113 putusan. Setahun setelahnya, KPK hanya melakukan 79 penyelidikan, 63 penyidikan, 73 penuntutan, 87 putusan inkrah, dan mengeksekusi 78 putusan.

Pada 2020, KPK melakukan 111 penyelidikan, menyidik 91 penyidikan, 75 penuntutan, 92 putusan inkrah, dan mengeksekusi 108 putusan. Statistik penindakan pada 2020 memang lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, kendati masih jauh di bawah 2018 atau sebelum revisi UU KPK.

Terkait hal ini, Koordinator ICW Adnan Topan Husodo menuntut pemerintah memperkuat aturan pemberantasan korupsi. Salah satunya dengan memasukkan seluruh RUU yang bisa menguatkan KPK ke prioritas legislasi nasional.

Adnan juga meminta pemerinta lebih mengedepankan kemajuan dan hasil dari implementasi Program Strategi Nasoinal Pencegahan korupsi (Stranas PK) ketimbang aspek seremonialnya.

“Presiden harus bertanggung-jawab penuh untuk memastikan bahwa program pencegahan korupsi berjalan efektif di semua lembaga pemerintahan, termasuk BUMN dan BUMD,” kata Adnan dalam keterangan tertulisnya pada 28 Januari 2021 lalu.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi tak akan berkurang meski skor IPK Indonesia pada 2020 menurun. Menurutnya, wujud komitmen itu dengan membangun Stranas PK bersama KPK.

Moeldoko mengatakan, komitmen lain terlihat dari Presiden Jokowi yang berulang kali meminta agar tak ada sekali pun korupsi dana bantuan sosial (bansos) dan pemotongan hak rakyat.

“Jangan korupsi dana kesehatan, jangan memburu rente pengadaan barang jasa,” ujar Moeldoko dalam keterangan tertulisnya.

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi