Advertisement
Analisis | Mampukah Pemindahan Ibu Kota Mengatasi Ketimpangan Ekonomi? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Mampukah Pemindahan Ibu Kota Mengatasi Ketimpangan Ekonomi?

Foto: Ilustrasi: Joshua Siringo Ringo/ Katadata
Pemerintah berharap pemindahan ibu kota negara dapat meratakan kue ekonomi yang selama ini terpusat di Pulau Jawa. Tapi, ada sejumlah persoalan yang mesti diselesaikan agar geliat ekonomi terdistribusi ke pulau-pulau lain.
Dimas Jarot Bayu
30 April 2021, 06.50
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Pandemi Covid-19 tak menghentikan obsesi pemerintah melakukan pemindahan ibu kota negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Anggaran sebesar Rp 1,7 triliun disiapkan untuk peletakan batu pertama (groundbreaking) yang rencananya dilakukan tahun ini.

Pemerintah berkukuh melanjutkan rencana pemindahan IKN karena dianggap mampu mengurangi ketimpangan ekonomi. Selama ini kue ekonomi Indonesia masih terpusat di Jawa ketimbang wilayah lain di tanah air.

Hal ini terlihat dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang 58,75% berada di Jawa pada 2020. Sisanya tersebar di berbagai wilayah lainnya, seperti Sumatera (21,36%), Kalimantan (7,94%), Sulawesi (6,66%), Bali dan Nusa Tenggara (2,94%), serta maluku dan Papua (2,35%).

Ketimpangan ekonomi antarwilayah juga bisa dilihat dari kondisi simpanan masyarakat atau dana pihak ketiga (DPK) bank yang mencapai Rp 6.355,7 triliun per Januari 2021. Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 4.935 triliun atau 78% berada di Jawa.

Sisanya tersebar di Sumatera sebesar Rp 705,9 triliun (11,1%), Kalimantan Rp 265,3 triliun (4,1%), Sulawesi Rp 192,7 triliun (3%), Bali dan Nusa Tenggara Rp 170,1 triliun, serta Maluku dan Papua Barat Rp 85,7 triliun (1,3%).

Kondisi tersebut terjadi lantaran arus perdagangan di dalam negeri sebagian besar ada di Jawa. Hal itu mengingat kawasan industri lebih banyak berada di pulau tersebut ketimbang wilayah lainnya.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, ada 121 kawasan industri yang terbangun hingga Agustus 2020. Dari jumlah tersebut, sebanyak 57,4% kawasan industri berada di Jawa. Sebanyak 32.2% kawasan industri ada di Sumatera. Di Kalimantan dan Sulawesi, persentase kawasan industri masing-masing mencapai 4,3%. Sedangkan, 1,7% kawasan industri berada di Maluku.

Selain itu, pembangunan infrastruktur belum merata dan masih berpusat di Jawa. Padahal, pembangunan infrastruktur punya peran besar dalam menggerakkan perekonomian.

Berdasarkan riset Royhan Faradis dan Uswatun Nurul Afifah yang dipublikasikan di Jurnal Pembangunan Ekonomi Indonesia (JEPI) Universitas Indonesia (UI) pada Januari 2020, rata-rata provinsi di Jawa punya nilai indeks komposit pembangunan infrastruktur positif. Hanya Jawa Timur yang skor indeks komposit pembangunan infrastrukturnya -0,015.

Sebaliknya, rata-rata provinsi di luar Jawa punya indeks komposit pembangunan infrastruktur yang negatif. Hanya Bali yang punya indeks komposit pembangunan infrastruktur positif, yakni 0,369.

Dalam indeks tersebut, provinsi dengan nilai di atas 0 memiliki ketersediaan infrastruktur di atas rata-rata nasional. Sementara, jika suatu provinsi memiliki nilai indeks di bawah 0, maka ketersediaan infrastrukturnya di bawah rata-rata nasional.

Dengan adanya pemindahan IKN, fokus pembangunan infrastruktur diharapkan mampu beralih dari Jawa ke Kalimantan Timur dan wilayah-wilayah di sekitarnya. Hal tersebut diharapkan menstimulus investasi, sehingga kawasan industri di luar Jawa ikut berkembang.

Berdasarkan kajian Bappenas pada Juni 2019, pemindahan IKN akan membuat arus perdagangan turut berubah dari Jawa ke luar Jawa. Bappenas memperkirakan lebih dari 50% wilayah Indonesia akan merasakan peningkatan arus perdagangan jika IKN dipindah.

Alhasil, kontribusi terhadap PDB dari wilayah-wilayah non-Jawa juga bakal meningkat seiring pemindahan IKN. Menurut Bappenas, peningkatan kontribusi wilayah-wilayah non-Jawa akan punya andil terhadap perekonomian nasional sebesar 0,1%.

Pendapat berbeda dilayangkan Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Indef sempat melakukan kajian terkait dampak ekonomi dari perpindahan IKN menggunakan model computable general equilibrium (GCE) pada 2019 lalu.

Dalam kajiannya, Indef menyebut dampak ekonomi dari perpindahan IKN tak akan merata secara nasional. Dampak tersebut hanya akan dirasakan secara signifikan oleh sejumlah provinsi di Pulau Borneo, khususnya Kalimantan Timur.

Rinciannya, perpindahan IKN akan mampu menambah pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur sebesar 6,83% dalam jangka pendek. Untuk jangka panjang, pertambahan pertumbuhan ekonominya diperkirakan bisa mencapai 4,58%.

Sementara secara keseluruhan Pulau Kalimantan, pertambahan pertumbuhan ekonomi dari perpindahan IKN sebesar 3,61% dalam jangka pendek. Untuk jangka panjang, pertambahan pertumbuhan ekonominya bakal mencapai 2,85%.

Adapun secara nasional, pertambahan pertumbuhan ekonomi dari perpindahan IKN diperkirakan hanya 0,02% dalam jangka pendek. Untuk jangka panjang, pertambahan pertumbuhan ekonominya diperkirakan sebesar 0,0001%.

“Ini karena rata-rata pertumbuhan ekonomi di pulau lainnya hanya bertambah sebesar 0,01% dari perpindahan IKN,” kata Rizal Taufikurahman, Head of Center of Macroeconomics and Finance Indef, kepada Katadata.co.id pada Senin (26/4).

Rizal mengatakan, perpindahan IKN tidak berdampak signifikan terhadap pemerataan pertumbuhan ekonomi disebabkan belum kuatnya keterhubungan (linkages) antarprovinsi dan antarpulau di Indonesia. Alhasil, manfaat dari perpindahan IKN hanya mampu dirasakan oleh sejumlah provinsi terkait.

Seharusnya pemerintah mampu memperkuat keterhubungan antarpovinsi dan antarpulau terlebih dulu demi mengatasi persoalan ini. “Ini bisa dibuat dengan berbagai kebijakan, insentif, dan kemudahan investasi,” kata Rizal.

Tak hanya itu, pemindahan IKN juga memunculkan kekhawatiran akan terjadinya ketimpangan baru di Kalimantan Timur. Persoalannya, rencana tersebut berpotensi menarik banyak pendatang ke Kalimantan Timur yang menjadi lokasi IKN.

Salah satu kelompok pendatang yang kemungkinan ke Kalimantan Timur adalah aparatur sipil negara (ASN) di instansi pemerintah pusat. Mereka datang ke IKN baru seiring berpindahnya pusat pemerintahan dari Jakarta.

Melansir dari CNBC Indonesia, Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo memperkirakan jumlah ASN yang akan diboyong ke IKN dari Jakarta sekitar 77%. Hal tersebut mengingat ada 3% ASN yang tidak bisa dipindah ke Kalimantan Timur karena tingkat pendidikannya hanya lulusan SMP-SMA. Sedangkan, 20% ASN akan masuk masa pensiun pada 2023-2024.

Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara (BKN), ASN pada instansi pemerintah pusat mencapai 958.919 orang hingga Desember 2020. Di Jakarta sendiri, jumlahnya mencapai 208.567 orang. Dengan perhitungan Tjahjo tersebut, ada 160.596 ASN yang akan dipindahkan ke IKN dari Jakarta. Jumlah tersebut setara dengan 4,2% dari total penduduk Kalimantan Timur yang sebesar 3,77 juta orang.

Para ASN yang datang ke Kalimantan Timur tersebut memiliki pendapatan melebihi UMP Jakarta yang sebesar Rp 4,4 juta pada 2021. Sementara, UMP Kalimantan Timur tercatat hanya sebesar Rp 2,9 juta. Artinya, pendapatan para ASN nantinya minimal 48% lebih tinggi dari upah rata-rata penduduk asli Kalimantan Timur.

Warga asli Kalimantan Timur juga akan sulit berkompetisi lantaran tingkat pendidikannya lebih rendah dibandingkan para pendatang dari Jakarta. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata lama sekolah warga Kalimantan Timur mencapai 9,99 tahun pada 2020. Sedangkan, rata-rata lama sekolah warga Jakarta mencapai 11,17 tahun.

Begitu pula adanya masalah ketimpangan atas keterampilan teknologi, informasi dan komputer (TIK) antara warga lokal Kalimantan Timur dan pendatang dari Jakarta. Di Kalimantan Timur, proporsi remaja dan dewasa yang punya keterampilan TIK mencapai 69,44%. Sementara, proporsi tersebut mencapai 85,17% di DKI Jakarta.

Jika tidak diantisipasi dengan baik, maka persoalan tersebut dapat meningkatkan rasio gini di Kalimantan Timur yang sebesar 0,335 pada September 2020. Lebih lanjut, hal tersebut dapat memicu tingkat kriminalitas yang lebih tinggi di Kalimantan Timur.

Atas dasar itu, Rizal menilai pemerintah perlu mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) lokal di lokasi IKN yang baru. “Ini satu masalah yang harus diselesaikan. Ini harus dielaborasi lebih lanjut lagi,” kata dia.

Editor: Aria W. Yudhistira