Dunia olahraga mencatat sekurangnya dua insiden serangan jantung mendadak pada Juni 2021. Salah satunya terjadi pada pebulu tangkis Indonesia Markis Kido saat sedang bermain badminton di GOR Petrolin, Tangerang pada 14 Juni 2021.
Melansir Antara, Kido tiba-tiba terjatuh tidak sadarkan diri, dan langsung dibawa ke rumah sakit terdekat. Namun, nyawanya tak tertolong.
Dua hari sebelumnya, pesepak bola asal Denmark Christian Eriksen mengalami hal serupa. Dia kolaps di lapangan saat sedang menghadapi Finlandia dalam ajang Piala Eropa. Jantung Eriksen sempat berhenti berdetak, tapi segera mendapatkan pertolongan darurat dari tim medis. Kondisinya mulai stabil, dan kemudian menjalani perawatan intensif di rumah sakit.
Serangan henti jantung mendadak (sudden cardiac death/SCD) yang dialami Kido dan Eriksen bisa berakibat kematian. Bahkan, SCD merupakan penyebab medis paling umum yang menyebabkan kematian atlet.
Riset yang dilakukan Harmon dkk. dalam “Incidence of Sudden Cardiac Death in National Collegiate Athletic Association Athletes” (2011) di jurnal Circulation pun membuktikannya. (Baca: Bahaya Kesehatan Mengintai Saat Olahraga Pagi Hari di Jakarta)
Pada periode 2004-2008, sebanyak 273 atlet meninggal dari total 1,97 juta atlet yang terdaftar dalam National Collegiate Athletic Association (NCAA). Mayoritas kematian disebabkan oleh kecelakaan (51%).
Kemudian, penyebab kematian tertinggi kedua adalah serangan henti jantung mendadak (16%), atau yang terbesar dari kategori medis. Kematian pada atlet juga terjadi karena beberapa hal, seperti bunuh diri (9%), kanker (7%), pembunuhan (6%), dan anemia sel sabit (2%).
Meski begitu, insiden serangan henti jantung mendadak pada atlet termasuk jarang terjadi. Terutama atlet berusia muda. Wasfy dkk. dalam “Sudden Cardiac Death in Atheletes” (2016) yang dimuat di Methodist DeBakey Cardiovascular Journal menyebutkan, satu dari 53.703 atlet NCAA setiap tahun mengalami serangan henti jantung mendadak.
Atlet laki-laki memiliki risiko lebih besar dibandingkan perempuan. Rata-rata ada satu dari 37.790 atlet laki-laki yang terserang SCD tiap tahun. Sedangkan, rasio untuk perempuan sebesar satu dari 121.593 atlet.
Sementara jika dilihat berdasarkan ras, risiko atlet kulit hitam lebih besar dari kulit putih dan hispanik. Rasionya satu dari 21.491 atlet, sementara hispanik satu dari 56.254 atlet dan kulit putih satu dari 68.354 atlet.
Rendahnya angka insiden serangan henti jantung mendadak pada atlet menunjukkan aktivitas berolahraga bukan penyebab utamanya. Serangan ini umumnya terjadi karena jantung berdetak cepat atau tidak teratur hingga mengakibatkan jantung berhenti mendadak.
Melansir Mayo Clinic, detak jantung yang kacau itu disebabkan oleh gangguan pada struktur atau aliran listrik di dalam jantung. Gangguan pada struktur jantung yang paling sering terjadi adalah hypertrophic cardiomyopathy (HCM).
Seseorang berada di kondisi ini, dinding otot jantungnya menebal sehingga aliran listrik dan detaknya terganggu. Adapun, gangguan pada aliran listrik di dalam jantung biasanya disebabkan oleh kelainan genetik, seperti sindrom Brugada dan QT panjang.
Selain itu, Mannakkara dan Sharma dalam “Sudden cardiac death in athletes” (2020) yang dimuat di Trends in Urology & Men’s Health mengatakan penggunaan obat-obatan, seperti kokain, amfetamin, dan peningkat performa atlet, berpotensi meningkatkan risiko serangan henti jantung mendadak.
Persoalannya, para atlet umumnya tidak menyadari gangguan dan kelainan pada jantung. Hal ini karena jarang merasakan ada gejala atau sakit. Mereka pun tetap beraktivitas seperti biasa, termasuk melakukan olahraga dengan intensitas tinggi.
Padahal, aktivitas itu semakin memacu kerja jantung, kemudian meningkatkan potensi gangguan di dalam sistemnya. Karena itu, sejumlah organisasi di bidang kardiologi menyarankan adanya screening terhadap kondisi jantung atlet sebelum berpartisipasi di olahraga tertentu.
Menurut Wasfy dkk, hal itu bisa dilakukan dengan wawancara terkait riwayat penyakit keluarga. Di samping juga mencatat gejala kardiovaskular yang pernah dialami, uji fisik, dan tes elektrokardiogram—meski tes ini masih diperdebatkan karena interpretasi hasilnya bisa false positive atau keliru.
Sementara bagi masyarakat umum, berolahraga tetap penting. Frekuensi yang rendah pun masih lebih baik dibandingkan gaya hidup sedentary (tidak bergerak dalam waktu lama).
Aktivitas fisik seperti olahraga mampu menjaga kadar lemak, tekanan darah, sensitivitas insulin, dan berat badan. Dengan begitu, mampu meningkatkan kesehatan tubuh serta mengurangi risiko penyakit jantung dan kardiovaskular lainnya.
Masyarakat yang memiliki riwayat penyakit atau pernah mengalami gejala kardiovaskular sebaiknya berkonsultasi dengan dokter. Hal ini bisa membantu menentukan aktivitas olahraga yang tepat dan aman, juga mencegah serangan henti jantung mendadak.
Editor: Aria W. Yudhistira