Advertisement
Advertisement
Analisis | Gunung Es Ledakan Kasus Covid-19 Indonesia, Apa Faktornya? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Gunung Es Ledakan Kasus Covid-19 Indonesia, Apa Faktornya?

Foto: Joshua Siringo Ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Ledakan kasus Covid-19 di Indonesia terjadi sejak libur hari raya Idul Fitri usai. Lonjakan kasus tersebut diduga akibat varian baru virus corona “Delta” yang berasal dari India. Bak gunung es, penularan Covid-19 sulit dikendalikan tanpa tes secara masif.
Annissa Mutia
5 Juli 2021, 13.49
Button AI Summarize

Varian baru Delta menjadi kambing hitam lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia pasca-libur Hari Raya Idul Fitri. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat varian virus yang berasal dari India tersebut telah masuk ke beberapa daerah, salah satunya di Jawa Tengah. Di provinsi itu, jumlah kasus meroket hingga 368% hanya dua pekan setelah lebaran.

Ledakan kasus positif dan kematian akibat Covid-19 pun terus menjalar. Secara nasional, angkanya terus menanjak yang pada Minggu, 4 Juli 2021 tercatat sebesar 27.233 kasus dan merenggut 555 jiwa dalam sehari. Pemerintah mengakui gagal memprediksi lonjakan kasus Covid-19 pasca-Idul Fitri.

“Karena jujur, kita juga tidak pernah memprediksi setelah Juni tahun ini keadaan ini terjadi lonjakan lagi. Karena inilah yang kita ketahui baru. Jadi banyak ketidaktahuan kita mengenai Covid ini, dan ternyata setelah bulan Juni ini kenaikannya luar biasa,” kata Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam konferensi pers virtual, Kamis 1 Juli 2021.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat ada 11 varian baru virus corona yang bermutasi dari virus aslinya. Empat di antaranya diketahui telah terdeteksi di tanah air, seperti varian Delta (B.1.617.2) yang daya menularnya 97% lebih tinggi. Selain itu, varian Alfa (B.1.1.7), Beta (B.1.351), dan Kappa (B.1.617.1) juga mulai menjangkit.

Para ilmuwan memperkirakan varian baru tersebut memiliki tingkat penularan yang lebih tinggi dari varian asli yang pertama kali terdeteksi di Wuhan, Tiongkok. Berdasarkan penelitian Finlay Campbell, Brett Archer, Henry Laurenson-Schafer, dkk, tingkat penularannya yang cepat sehingga perlu menjadi perhatian (Variant of Concern/VoC) dan diawasi (Variant of Interest/VoI).

“Selain menunjukkan gejala dan daya transmisi yang lebih cepat, varian baru ini juga dapat ‘melarikan diri’ dari antibodi yang terbentuk dari vaksin,” kata epidemiolog dari Universitas Airlangga Laura Navika Yamani kepada Katadata.co.id, Jumat 2 Juli 2021.

Namun, Laura mengingatkan sebaiknya pemerintah tidak buru-buru menyimpulkan bahwa varian Delta yang menjadi biang kerok lonjakan kasus Covid-19. Persoalannya belum ada testing nasional yang masif untuk membuktikan lonjakan kasus pasca-lebaran berasal dari varian Delta seperti di India.

“Kalau di Kudus dan Bangkalan memang karena tiba-tiba kasusnya naik tinggi. Jadi pemerintah akhirnya testing dan menganalisis penyebabnya, sehingga ketahuan ada varian Delta di wilayah tersebut,” ujarnya.

Laura mencontohkan, India dan Inggris dapat mendiagnosa penyebab kenaikan kasus aktif Covid-19 setelah men-testing dan men-tracing 70% persen dari populasinya. Sementara, testing rate Covid-19 di Indonesia masih jauh dari harapan. “Kalau bisa sehari ada sejuta orang Indonesia yang di-testing.”

Mengapa Testing Covid-19 di Indonesia Masih Rendah?

Rendahnya tingkat pengujian sampel Covid-19 ini menyebabkan para epidemiolog sulit mempercayai data pemerintah. Mereka menilai jumlah kasus yang dilaporkan tidak mencerminkan kondisi riil. “Menurut kami (jumlah kasus) akan lebih banyak apalagi tracing belum maksimal seperti standar WHO,” ujar Laura.

Our World in Data, sebuah proyek penelitian nirlaba yang berbasis di University of Oxford, mencatat angka testing Covid-19 Indonesia termasuk terendah di Asia. Hingga 30 Juni, rasio tes Indonesia rata-rata hanya 0,3 per 1.000 populasi atau 300 orang yang dites dari sejuta penduduk dalam sehari.

Indikator kasus riil yang lebih besar berikutnya terlihat dari naiknya angka kepositifan atau rasio positif. Hal ini, kata Laura, disebabkan tes Covid-19 yang rendah turut berdampak pada rasio positif Covid-19 di tanah air.

Sejak 13 Juni 2021, tingkat kepositifan (positivity rate) harian Indonesia mencapai 20,4%. Angkanya terus berfluktuasi seiring dengan cakupan tes yang juga naik-turun. Puncaknya pada 28 Juni 2021 dengan 70.308 orang dites dengan tingkat kepositifan mencapai 29,43%.

Sehari setelahnya, tingkat kepositifan menyusut jadi 18,07% namun dengan jangkauan tes yang lebih masif hingga 113.265 orang dalam sehari. Kondisi ini menggambarkan, bahwa jangkauan tes yang luas dapat menekan tingkat kepositifan. Tingkat kepositifan adalah persentase dari jumlah kasus baru dibagi dengan jumlah tes orang yang dites dalam satu hari.

Jadi dengan jumlah testing yang tinggi, meski jumlah kasus Covid-19 semakin banyak tapi dapat memberi peringatan kepada semua pihak. Terutama laju penularan penyakit di dalam suatu populasi. Hal ini lantaran sumber penularan, termasuk seseorang yang tak bergejala pun dapat segera teridentifikasi.

Indonesia pernah memenuhi standar rasio positif standar 5% yang ditetapkan WHO pada akhir Mei hingga awal Juli 2020. Pada waktu itu pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah wilayah, sehingga rasionya dapat ditekan hingga di bawah 5%. Ironisnya, sejak itu tingkat kepositifan terus melampaui batas WHO, bahkan angkanya makin menjauhi standar yang ditetapkan.

Laura mengatakan, tingkat kepositifan yang tinggi sebagai tanda pemerintah belum mengandalkan tes dan pelacakan kontak erat secara optimal. Menurutnya, hal ini sangat berbahaya lantaran menyebabkan risiko penularan yang lebih besar di masyarakat.

“Rata-rata di Indonesia kan yang dites orang dengan gejala, sedangkan yang tidak bergejala tidak tes. Ini yang berbahaya kalau ternyata yang tidak bergejala ini positif Covid-19 dan bebas beraktivitas, sehingga menularkan ke orang banyak,” ujarnya.

Persoalannya lagi rasio lacak-isolasi (RLI) atau tracing Indonesia masih jauh dari standar. Idealnya, rasio 1:30 yang artinya setiap kasus positif dapat terlacak 30 orang lainnya.

Berdasarkan data KawalCovid19, RLI Indonesia hanya sebesar 1,01 poin. Artinya hanya satu orang terlacak dari tiap kasus yang terkonfirmasi. RLI tertinggi di tanah air ada di Kalimantan Timur. Itu pun hanya sebesar 2,84 poin, yakni hanya tiga orang tiap kasus terkonfirmasi. Di DKI Jakarta yang memiliki kasus terbanyak, RLI hanya sebesar 2,27 poin.

Sementara banyak provinsi lain yang RLI-nya tak mencapai satu poin. Di Bali, Sumatera Utara, dan Papua Barat bahkan tercatat nol poin. Hal ini menggambarkan tak ada kontak erat dari tiap kasus yang terkonfirmasi positif Covid-19.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira