Jalan Panjang Menuju
Biodiesel Berkelanjutan
Beragam kendala dari fase perkebunan kelapa sawit hingga risiko mesin merupakan sederet pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
S"etelah B20, sekarang kita masuk ke B30. Bagi saya tidak cukup hanya sampai ke B30, tadi saya sudah perintahkan lagi kepada Menteri dan Dirut Pertamina untuk masuk nanti tahun depan ke B40 dan selanjutnya B50.”
Potongan dari sambutan Presiden Joko Widodo pada Desember 2019 ini menandai dimulainya program implementasi Biodiesel 30 (B30) di Tanah Air. Dengan program ini, Indonesia menjadi negara pertama di dunia yang menerapkan pemanfaatan campuran biodiesel hingga takaran 30 persen dalam solar.
Pemerintah Indonesia bisa dikatakan ambisius menjadikan biodiesel sebagai bahan bakar nabati pengganti solar murni untuk mesin diesel. Hal ini tidak lepas dari upaya pemenuhan kebutuhan bahan bakar yang terus meningkat, terutama untuk transportasi.
“Melalui biodiesel, kita bisa meningkatkan ketahanan energi dan juga mengurangi impor dari bahan bakar minyak,” ujar Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andriah Feby Misna dalam sesi webinar bersama Katadata, 7 Januari 2021.
Biodiesel pun dimanfaatkan sebagai bahan bakar nabati andalan. Alasannya, menurut Feby, Indonesia memiliki potensi besar minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sebagai bahan baku biodiesel. Selain itu biodiesel juga bisa memanfaatkan minyak jelantah sebagai bahan bakunya, membuka peluang produksi skala lebih besar dan mendorong prinsip berkelanjutan.
Biodiesel dari kelapa sawit juga dimandatkan sebagai energi transisi menuju energi bersih. Sebagai salah satu bagian dari bahan bakar nabati, biodiesel berperan penting memenuhi target kebutuhan energi ramah lingkungan.
Tirto Prakoso, peneliti bioenergi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam webinar Future Energy Tech and Innovation Forum yang diselenggarakan Katadata pada sesi The Next Generation Biofuel (9 Maret 2021) mengungkapkan pentingnya memanfaatkan jenis bahan bakar ini sebagai salah satu pilihan alternatif di masa depan.
“Saat ini kita harus mulai menggeser penggunaan bahan bakar fosil menuju bahan terbarukan. Pertama, untuk mengurangi efek bencana akibat emisi gas rumah kaca (GRK) ketika kita membakar bahan bakar fosil. Kedua, untuk meringankan ancaman harga minyak bumi jika terus meningkat,” ujarnya dalam sesi presentasi.
Namun, mendorong pengembangan biodiesel secara besar-besaran bukan berarti tanpa risiko. Selain masih menghadapi sejumlah persoalan dampak negatif terhadap mesin kendaraan dan polusi udara, pengembangan biodiesel justru menimbulkan risiko baru jika tidak dijalankan secara berkelanjutan.
Alih-alih mengurangi emisi gas rumah kaca, pengembangan biodiesel secara masif tanpa tata kelola dengan prinsip berkelanjutan justru berpotensi meningkatkan emisi gas rumah kaca. Padahal, Indonesia tengah dikejar target Perjanjian Paris untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030.
- 1 of 4
- Next
Koordinator | Jeany Hartriani |
Editor | Heri Susanto, Padjar Iswara, Jeany Hartriani |
Penulis | Alfons Yoshio Hartanto, Arofatin Maulina Ulfa, Fitria Nurhayati, Melati Kristina Andriarsi |
Produser | Ratri Kartika Widya |
Editor Video | Tim Multimedia |
Desain Grafis | Muhamad Yana, Cicilia Sri Bintang Lestari, Dani Nurbiantoro, Nunik Septiyanti, Very Anggar Kusuma, Wahyu Risyanto |
Teknologi Informasi | Firman Firdaus, Christine Sani, Maulana, M. Afandi |