Krisis lingkungan dan perubahan iklim global mengancam kota-kota pesisir di berbagai negara. Indonesia salah satunya. Sebagai negara kepulauan yang dikelilingi laut, wilayah pesisir Indonesia diperkirakan bakal semakin amblas di bawah permukaan laut.
Belum lama ini, Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyebutkan Jakarta akan tenggelam dalam 10 tahun ke depan akibat peningkatan muka air laut. Dia memproyeksikan jika permukaan laut naik 2,5 kaki atau 7,6 cm, jutaan orang harus meninggalkan rumah mereka.
”Apa jadinya —di Indonesia kalau proyeksinya benar, 10 tahun ke depan, ibu kota mereka mungkin harus pindah, karena akan berada di bawah air?” ucap Biden pada pidato sambutan di Kantor Direktur Intelijen Nasional AS, pada 27 Juli 2021.
Pernyataan Biden tersebut membuat isu perkiraan akan tenggelamnya Jakarta kembali diperbincangkan. Namun sejumlah penelitian justru menunjukkan, ancaman itu tak hanya terjadi di Jakarta. Ada banyak kota dan kabupaten di Indonesia yang bakal tergerus di bawah permukaan air laut alias tenggelam. Wilayah-wilayah tersebut terutama berada di daerah pesisir.
Faktor Pemicu
Penelitian terbaru lembaga riset nonprofit Climate Central memperkirakan banyak kota pesisir di tanah air yang akan tenggelam pada 2050. Faktor penyebabnya adalah peningkatan permukaan air laut.
Menurut ahli geodesi dari Institute Teknologi Bandung, Heri Andreas, terjadi peningkatan ketinggian air laut di perairan Indonesia sebesar 3-8 mm per tahun. Perhitungan tersebut berdasarkan data satelit yang dikumpulkan ITB selama 20 tahun terakhir.
Dia menjelaskan, kondisi ini tidak hanya dialami Jakarta. Kota-kota di pesisir utara Jawa, pesisir timur Sumatra, Kalimantan dan Papua bagian selatan juga berpotensi terendam banjir air dari laut.
Heri mengatakan, kota-kota di Jawa dan Sumatra yang paling banyak terendam, seperti Jakarta, Pamanukan, Indramayu, Cirebon, Semarang, Tegal, Pekalongan, Pemalang Kendal, Demak, Cilacap, Tanjung Balai, Langsa, dan beberapa kota lainnya.
Sementara di Kalimantan, daerah yang diproyeksikan bakal turun di bawah permukaan air laut, di antaranya Banjarmasin, Mendawai, Kualasampit, dan Bahaur. Selain itu, ada juga beberapa kota di Papua bagian selatan yang bakal terendam muka air laut pada 2050.
Mengutip laman The National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), permukaan laut global telah meningkat selama dua abad terakhir. Pada 2014, permukaan laut lebih tinggi 2,6 inci dari rata-rata 1993, dan ketinggian ini masih terus bertambah 1/8 inci per tahun.
Permukaan air laut yang lebih tinggi berarti jika terjadi gelombang badai, air bisa terdorong lebih jauh ke daratan. Kondisi ini dapat merusak, bahkan mematikan bagi warga yang tinggal di daerah pesisir.
NOAA mencatat dua sebab utama kenaikan permukaan laut global. Pertama, ekspansi termal yang disebabkan oleh pemanasan lautan karena air mengembang saat menghangat. Kedua, adanya peningkatan pencairan es di daratan, seperti gletser dan lapisan es.
Lautan menyerap lebih dari 90 persen peningkatan panas atmosfer yang terkait dengan emisi dari aktivitas manusia. Jika pemanasan suhu laut dan atmosfer yang terus berlanjut, permukaan laut kemungkinan akan terus naik selama berabad-abad dengan kecepatan yang lebih tinggi daripada abad ini.
Tren peningkatan permukaan laut global dan lokal berbeda dan diukur dengan cara yang berbeda pula. Sama seperti permukaan bumi yang tidak datar, permukaan laut juga tidak datar. Dengan kata lain, permukaan laut tiap lokasi tertentu tidak berubah dengan kecepatan yang sama seperti permukaan laut secara global.
Kenaikan permukaan laut di lokasi tertentu mungkin lebih atau kurang dari rata-rata peningkatan air laut global. Itu bisa disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya penurunan muka tanah, pengendalian banjir hulu, erosi, arus laut regional, dan variasi ketinggian tanah.
Sementara itu, menguti dari laman Kelompok Keilmuan Geodesi ITB, Heri mengatakan kota-kota di Indonesia yang terancam tenggelam pada 2050 tak hanya disebabkan oleh peningkatan ketinggian air laut saja. Faktor yang lebih besar adalah akibat penurunan muka air tanah, sehingga lebih rendah dari permukaan laut.
Kondisi ini disebabkan sebagian wilayah Indonesia terbentuk dari interaksi beberapa lempeng besar, seperti Australia dan Eurasia. Hal ini mengakibatkan Indonesia memiliki banyak daerah sedimen. Daerah sedimen datar merupakan tempat terbaik untuk pengembangan perkotaan dan perkotaan, terutama di sekitar daerah sedimen pesisir. Namun persoalannya, daerah sedimen adalah tempat di mana penurunan tanah umumnya terjadi.
Tingkat penurunan tanah biasanya dapat bervariasi antara 1 sampai 20 sentimeter per tahun. Di beberapa tempat bahkan bahkan turun lebih dalam. Berdasarkan hasil penelitian Heri dan timnya dalam penelitian bertajuk “Wawasan Hubungan Penurunan Tanah dengan Banjir di Wilayah Indonesia”, terdapat setidaknya 17 daerah sedimen di Indonesia, yang merupakan kota, peternakan, daerah tambak, atau lahan gambut.
Berdasarkan penelitian tersebut, daerah Pekalongan, Semarang, dan wilayah pesisir Demak memiliki laju penurunan muka tanah yang lebih besar ketimbang Jakarta. Tak hanya itu, kota-kota tersebut ternyata mempunyai luas area di bawah permukaan laut yang lebih besar ketimbang Jakarta.
Dia mewanti-wanti, jika dalam waktu 10 tahun ke depan pemangku kepentingan daerah tidak melakukan mitigasi bencana yang baik, maka wilayah-wilayah itu justru lebih berisiko tenggelam.
Berdasarkan penelitian Heri, penurunan permukaan tanah paling banyak terjadi di pesisir utara Jawa dan Sumatera. Ada tiga kota yang mengalami penurunan permukaan tanah tertinggi mencapai 1-20 cm per tahun, yaitu Jakarta Utara, Bandung, dan Semarang. Kota di Jawa yang juga mengalami penurunan besar adalah Demak dan Pekalongan.
Sementara di luar Jawa, penurunan tanah tertinggi ada di Langsa dan kota Medan dengan penurunan 1-8 cm per tahun.
Dampak dari Tenggelamnya Kota di Indonesia
Beberapa dampak penurunan muka tanah antara lain menyebabkan keretakan pada infrastruktur bangunan, masalah drainase, perluasan wilayah banjir, dan genangan rob. Apabila suatu daerah dataran rendah mengalami penurunan muka tanah atau terdapat cekungan amblesan, maka air akan langsung mengalir ke dalamnya dan membentuk zona banjir.
Melihat proyeksi kota-kota di Indonesia yang akan tenggelam di bawah permukaan laut pada 2050, sejumlah pencegahan perlu dilakukan. Pasalnya, potensi kerugian dari terendamnya kota oleh air laut sangat banyak.
Pertama, kerugian fisik dan lingkungan. Peningkatan air laut dan penurunan tanah membuat Indonesia terancam kehilangan wilayah pesisir, sumber daya lahan, kerusakan ekosistem gambut dan infrastruktur, serta peningkatan emisi gas rumah kaca. Selain itu, masyarakat juga akan kerap mengalami banjir di kemudian hari, penurunan kualitas hidup, dan potensi tsunami.
Dari aspek sosial, masyarakat akan kehilangan mata pencaharian berbasis lahan pesisir dan atau lahan gambut. Sementara dari segi ekonomi, biaya pengolahan tanah akan bertambah karena banjir rob, penggunaan air bersih lebih besar, dan biaya tak terduga lainnya.
Editor: Aria W. Yudhistira