Credit: 123RF

"Mempertahankan hutan Papua adalah mutlak, dalam konteks nasional," kata Nirarta Samadhi, Direktur WRI Indonesia dalam Sustainability Action for The Future Economy (SAFE) Forum Katadata 2021 yang bertajuk Green Development Acceleration in the Land of Papua (26/8).

Namun demikian, melestarikan hutan di Tanah Papua bukankah pekerjaan yang mudah. Upaya ini membutuhkan biaya besar, komitmen kolaborasi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia untuk menjaga kelestarian alam yang berdampingan dengan pembangunan. Sejauh ini, agenda pembangunan hijau Tanah Papua menyisakan tantangan yang cukup kompleks, terutama dari aspek sosial ekonomi dan lingkungan.

Dari aspek sosial ekonomi, penduduk di pulau paling timur Indonesia ini menghadapi persoalan kemiskinan yang tak kunjung usai. Tingkat kemiskinan di Provinsi Papua masih menjadi yang tertinggi di Indonesia per Maret 2021. Jumlahnya mencapai 26,86 persen atau 920 ribu jiwa dari total penduduk. Provinsi tetangganya, Papua Barat berada di peringkat kedua dengan tingkat kemiskinan mencapai 21,84 persen.

Tingkat Kemiskinan Indonesia (Maret 2021)

Sumber: BPS

Sebagai tanah yang dikenal kaya akan sumber daya alamnya, realita kemiskinan ini menunjukkan sebuah paradoks. “Upaya yang dilakukan selama ini dengan mengekstraksi sumber daya alam dari pengelolaan hutan dan pertambangan, belum memberikan dampak signifikan bagi kesejahteraan masyarakat Tanah Papua,” kata Charlie Danny Heatubun, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daereah (Balitbangda) Papua Barat, dalam SAFE Forum Katadata 2021.

Selain soal kemiskinan, tantangan lain yang dihadapi Tanah Papua adalah ancaman ekspansi lahan untuk perkebunan sawit. Berdasarkan catatan Koalisi Indonesia Memantau yang tertuang dalam laporan Menatap ke Timur: Deforestasi dan Pelepasan Kawasan Hutan di Tanah Papua, dalam dua dekade terakhir, hutan Papua menyusut sebesar 663 ribu hektare (ha).

Salah satu sudut hutan di Kampung Edor, Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Credit: EcoNusa

Sebanyak 29 persen hilangnya tutupan hutan terjadi pada 2001-2010 dan 71 persen pada 2011-2019. Dari jumlah ini, rata-rata kehilangan tutupan hutan di Tanah Papua mencapai 35 ribu ha per tahun. Adanya peralihan fungsi hutan ini diduga menjadi penyebab utama berkurangnya sebagian belantara Tanah Papua. Sebagian besar lahan diperuntukkan bagi aktivitas pertanian dan perkebunan kelapa sawit.

Adapun pada 2019, KPK bersama Pemerintah Provinsi Papua Barat dan Yayasan EcoNusa juga telah melakukan review perizinan perkebunan kelapa sawit. Hingga 30 September 2021, review perizinan ini telah berhasil mencabut 14 izin konsesi dan mengurangi luasan dua konsesi perkebunan sawit. Dari hasil evaluasi tersebut, terdapat 346 ribu ha total hutan primer yang terselamatkan dan tersebar di Kabupaten Sorong, Sorong Selatan, Teluk Wondama, Bintuni, Fakfak dan Maybrat.

Hutan Gunung Meja, Kabupaten Manokwari. Credit: EcoNusa

Berbagai kondisi tersebut menunjukkan bahwa Tanah Papua menghadapi risiko eksploitasi berlebihan. Padahal, permadani Tanah Papua memiliki peran-peran strategis bagi Indonesia. Hutan Papua berperan sebagai penjaga keanekaragaman hayati, penjaga keseimbangan iklim, hingga menyerap karbon dan penyedia oksigen bagi manusia. Di sisi ekonomi, fungsi hutan Papua adalah sumber pendapatan bagi masyarakat adat, penduduk mayoritas pulau tersebut.

Dari segi sosial, ia berperan sebagai pusat spiritualisme masyarakat adat setempat. Serta perannya sebagai Mother of Papua dan menjadi identitas budaya bangsa yang penting untuk dilindungi eksistensinya.