Industri Migas di Tengah Ancaman Perang & Varian Baru Covid-19
Tim Riset dan Publikasi Katadata
Dunia belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19, termasuk sektor minyak dan gas (migas). Tahun pertama pandemi menghantam dunia, harga “emas hitam” kolaps untuk kali ke tiga dalam 12 tahun terakhir. Jatuhnya permintaan global terhadap minyak disinyalir menjadi penyebab utama.
Pada 2020, permintaan minyak hanya menembus angka 9 juta barel per hari, lebih rendah dari permintaan tahun sebelumnya. Kenyataan ini menjadi pukulan telak bagi banyak produsen migas dunia. Di awal pandemi, harga minyak berjenis West Texas Intermediate (WTI) sempat minus US$ 37,63/barel, sekaligus menjadi yang terendah sepanjang sejarah. (20/4/2020)
Meskipun bersifat sementara, minusnya harga minyak disinyalir terjadi di akhir bulan saat transaksi terakhir berlangsung. Ketika terdapat stok minyak tanpa pembeli, maka terjadilah penjualan dengan harga seadanya. Mengingat trader tidak memiliki tangki minyak yang cukup karena Covid-19. Untuk menghindari kerugian, minyak dijual dengan harga minus. Artinya trader memberi “subsidi” kepada pembeli, dengan asumsi cara tersebut jauh lebih baik daripada harus menanggung rugi lebih besar akibat menyimpan minyak lebih lama.
Satu tahun pandemi berjalan, pasar minyak dunia berusaha kembali menyeimbangkan kondisi. Ditemukannya vaksin Covid-19 menjadi titik terang baru. Namun pecahnya perang antara Rusia dan Ukraina menyebabkan stabilitas harga dan pasar minyak kembali fluktuatif. Pasar minyak menjadi sangat bergejolak sejak Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022. Harga minyak dunia kembali melejit.
Tak hanya faktor geopolitik dan pandemi, perekonomian global yang masih belum sepenuhnya pulih juga berdampak pada upaya industri migas untuk berbenah diri. Laporan Bank Dunia dalam Global Economic Prospects report, meskipun ekonomi dunia pada 2021 sempat menguat dengan angka pertumbuhan mencapai 5,5 persen, tapi ekonomi global memasuki perlambatan yang nyata di tengah ancaman baru varian virus Omicron. Selain itu, peningkatan inflasi, utang, dan ketimpangan pendapatan menjadi kondisi nyata yang membahayakan pemulihan ekonomi di sejumlah negara berkembang.
Menurut prediksi World Bank, pertumbuhan global diperkirakan akan melambat secara nyata menjadi 4,1 persen pada 2022 dan 3,2 persen pada 2023 karena permintaan yang mandeg dan pembatalan sejumlah dukungan fiskal dan moneter. Sementara menurut analisis IMF, pertumbuhan global diperkirakan akan melambat dari 5,9 persen pada 2021 menjadi 4,4 persen pada 2022.
Selain gejolak pasar yang disebabkan oleh Covid-19, adanya perang Rusia-Ukraina, dan stagnansi ekonomi, momentum pergeseran menuju investasi energi bersih akan mengubah lansekap wajah industri energi fosil, termasuk migas, dalam beberapa waktu ke depan.
Hilangnya pendapatan negara dari sektor migas membayangi sejumlah negara yang bergantung pada jenis energi ini. Tren dekarbonisasi global dan peralihan menuju penggunaan energi baru terbarukan menjadi faktor utamanya.
Laporan Carbon Tracker menyebutkan, pemerintah di 40 negara dengan ketergantungan fiskal terbesar pada pendapatan minyak dan gas berpotensi kehilangan US$ 9 triliun pendapatan dari sektor ini selama 20 tahun ke depan. Laporan utama Carbon Tracker berfokus pada 40 negara bagian paling rentan di tujuh wilayah yakni Asia, Eropa, Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA), Afrika, Amerika Latin dan Karibia, Oseania, dan Amerika Utara.
Lansekap Hulu Migas Indonesia
Meskipun tak masuk dalam daftar negara yang bergantung pada pendapatan migas, Indonesia perlu berbenah menghadapi ancaman ketidakpastian global akibat pandemi dan ketidakstabilan pasar akibat perang. Terlebih penerimaan negara dari sektor hulu migas masih terbilang besar. Pada 2021, jumlahnya mencapai 193 persen dari target, yakni sebesar US$ 14,03 miliar atau setara Rp200,288 triliun (Kurs dolar Rp14.275). Angka ini meningkat signifikan dari tahun sebelumnya di mana hanya mencapai Rp96,81 triliun.
Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah saat ini di antaranya lemahnya investasi migas pada 2020. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, realisasi investasi migas pada 2020 hanya mencapai US$12,09 miliar atau 88,7 persen dari target US$13,63 miliar. Besaran investasi ini ditopang oleh sektor hulu sebesar US$10,21 miliar dan hilir sebesar US$ 1,88 miliar.
Tak hanya itu, Kementerian ESDM juga harus menggeser lelang wilayah kerja (WK) migas ke kuartal pertama 2021. Adapun pada 2020, lelang WK harus ditiadakan karena dampak pandemi yang begitu dirasakan oleh pelaku industri ini.
Realisasi lelang WK migas pada 2021 juga tak sepenuhnya menggembirakan. Namun, dapat menjadi sinyal positif bagi investasi hulu migas di Tanah Air. Di buka pada September 2021, lelang tahap I di buka dengan penawaran empat WK. Dari jumlah tersebut, dua WK telah memiliki pemenang, yaitu WK South CPP dan WK Liman. Jumlah total investasi dari dua WK tersebut sebesar US$ 20,3 juta.
Tahun 2022 akan menjadi tahun penuh tantangan sekaligus tahun harapan bagi industri migas nasional. Pada perdagangan Selasa, 15 Maret 2022 pukul 9.46 WIB, harga minyak mentah jenis Brent dan West Texas Intermediate (WTI) mencatatkan kenaikan signifikan. Minyak Brent ditransaksikan seharga US$102,98 per barel, naik tiga persen dibandingkan perdagangan hari sebelumnya. Sementara itu untuk minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) juga mengalami kenaikan serupa yang diperdagangkan pada harga US$ 99,03 per barel.
Selain semakin meningkatnya permintaan energi di sejumlah negara yang pulih dari pandemi, dampak invasi Rusia ke Ukraina menyebabkan harga minyak tak terkendali. Kekhawatiran global terkait pasokan minyak mentah disinyalir menjadi faktor utamanya.
Di dalam negeri, harga sejumlah bahan bakar minyak (BBM) non subsidi turut meroket akibat melambungnya harga minyak mentah dunia tersebut. Fluktuasi harga ini juga membuat ketar-ketir pemerintah karena akan memicu dana subsidi yang harus dikeluarkan negara. Meskipun untuk BBM bersubsidi, pemerintah mengaku sedang memantau kemungkinan yang ada akibat naiknya harga minyak dunia, termasuk menaikkan BBM jenis RON 90 atau bensin Pertalite.
Mengutip CNBC, setiap kenaikan harga minyak sebesar US$1 per barel, akan berdampak pada kenaikan subsidi LPG sekitar Rp1,47 triliun, subsidi minyak tanah sekitar Rp49 miliar, dan beban kompensasi BBM lebih dari Rp2,65 triliun. Kondisi ini berpotensi berdampak pada kenaikan beban APBN sebesar Rp4,17 triliun.
Untuk itu, memikirkan kembali langkah strategis dalam mempersiapkan ketahanan dan kemandirian energi Tanah Air di masa depan menjadi hal yang harus terus diupayakan. Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Dwi Soetjipto mengingatkan, untuk mengejar target produksi 1 juta barel minyak dan 12 BCFD gas dapat terealisasi pada 2030 nanti, perbaikan kebijakan fiskal dan insentif harus terus dilakukan dalam membantu industri migas Tanah Air pulih dan bangkit.
“Untuk itu effortnya harus cukup besar, terutama di sisi eksplorasi dan pengembangan,” kata Dwi Soetjipto, mengutip CNBC. (17/1/2022)
Terlebih, Indonesia juga masih memiliki potensi cadangan migas yang menjanjikan. Per 31 Desember 2021, menurut data SKK Migas, terdapat 128 cekungan di mana sebesar 69 cekungan belum dieksplorasi. Adapun besaran cadangan terbukti mencapai 2,36 BBO dan 42,93 TCF.
Langkah Strategis Pasca Covid-19
Berubahnya lansekap migas global mau tidak mau juga berdampak pada industri migas Tanah Air. Ketidakpastian akibat pandemi Covid-19 dan ketidakstabilan geopolitik dunia idealnya dapat dilihat sebagai sebuah peluang untuk terus berbenah diri.
Indonesia masih berpegang pada upaya mewujudkan produksi 1 juta barel minyak dan 12 BSCFD gas pada 2030 untuk mewujudkan ketahanan energi nasional. Untuk mendukung upaya ini, SKK Migas menetapkan target-target ambisius di tengah kondisi industri migas global yang mulai bergeliat.
Adapun dalam mengejar produksi 1 juta barel, SKK Migas menyatakan masih sesuai dengan jalur. Dwi menambahkan, SKK Migas terus mendorong langkah strategis jangka panjang untuk mewujudkan produksi 1 juta barel. Optimisme itu disampaikan Dwi Soetjipto dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR RI, awal Februari lalu (2/2).
"Permintaan dan penawaran minyak global pasca pandemi yang diperkirakan akan meningkat secara bertahap. Prediksi harga minyak juga dengan berbagai kondisi recovery ekonomi, dan beberapa isu di Ukraina dan lain-lain," kata Dwi memaparkan.
Tahun 2021 merupakan momentum Indonesia mulai bangkit dari pukulan pandemi. Berdasakan data SKK Migas, lifting minyak dilaporkan berada pada angka 660 ribu barel per hari (BOPD). Angka ini mencapai 93,7 persen dari taget 705 ribu BOPD, sedangkan lifting gas mencapai 5501 MMSCFD, 97,6 persen dari taget 5638 MMSCFD.
Adapun perbandingan penambahan cadangan migas terbukti terhadap produksi secara keseluruhan atau yang dikenal sebagai Reserve Replacement Ratio (RRR) mencapai 116 persen dari taget 599 MMBOE atau sebesar 696 MMBOE.
Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno, dalam konferensi pers Investasi dan Kegiatan Hulu Migas Yang Masif di Tengah Pandemi (17/1) yang diselenggarakan pada 17 Januari lalu juga menuturkan optimisme serupa. "Melihat capaian 2021, kami optimistis target proyek hulu migas yang onstream di tahun 2022 dapat dicapai" katanya
Tahun 2021 juga ditandai dengan penemuan sumur eksplorasi baru. Penemuan besar ini di antaranya sumur Hidayah-1 oleh Petronas Carigali North Madura II dengan temuan minyak 87 MMBO, sumur Maha-2 oleh ENI West Ganal dengan temuan gas 0,5 TCF, serta Singa Laut-2 dan Kuda Laut-2 oleh Premier Oil Tuna dengan temuan masing-masing minyak 4 MMBO dan gas 0,2 TCF.
“Total memberikan tambahan sumber daya mencapai kurang lebih 224 MMBOE,” ujar Dwi Soetjipto
Selain itu, pemerintah juga mengaku berfokus pada long-term strategy yang ada. Pertama, dengan meningkatkan nilai aset yang ada. Blok Rokan menjadi salah satu harapan pemerintah dalam mendukung peningkatan produksi migas nasional. Hingga 2021, kontribusi Rokan dalam produksi minyak nasional mencapai 25 persen.
Kedua, eksekusi program pemboran yang masif, dengan target pemboran 700 790 sumur pada 2022. Jumlah sumur yang akan ditajak ini naik untuk mengejar lifting (produksi yang siap dijual) minyak 703 ribu barel per hari (bph).
“Sejalan dengan target long term planing (LTP) 1 juta barel, jumlah sumur pemboran pada 2022 ditambah Program Filling the Gap (FTG) diperkirakan sebanyak 890 sumur”
Ketiga, kegiatan eksplorasi diharapkan meningkat di tahun 2022. Salah satu aktivitas yang memakan biaya besar adalah pemboran sumur eksplorasi. “Kami optimistis karena success story pemboran sumur di Indonesia masih terbilang tinggi, mencapai 55 persen, sedangkan angka rasio kesukseskan global yang hanya 23,8 persen,” kata Dwi.
Pada 2022 juga terdapat 12 proyek migas yang akan menyemburkan migas atau on stream. Dari ke-12 proyek itu, SKK Migas mencatat produksi minyaknya mencapai 19.000 BOPD dan produksi gas mencapai 567 MMSCFD dengan nilai investasi keseluruhan proyek mencapai US$ 1,3 miliar.
Deputi Perencanaan SKK Migas Benny Lubiantara menambahkan, Enhanced Oil Recovery (EOR) masih menjadi strategi yang akan digunakan sebagai kontributor peningkatan produksi lapangan-lapangan migas existing.
Selanjutnya, proyek EOR akan difokuskan di Blok Rokan dengan implementasi proyeknya dimulai sejak tahun ini sampai dengan 2023 mendatang.
Proyek tersebut akan dilakukan di Lapangan Minas yang ditargetkan rampung pada 2024. Selain di Lapangan Minas, SKK Migas telah merencanakan proyek EOR di 22 lapangan lainnya yang akan beroperasi sampai dengan 2030.
Salah satu perubahan mendasar dalam mewujudkan 1 juta barel adalah masuknya Migas Non-Konvensional (MNK) dalam Long Term Project (LTP) yang di tahun sebelumnya belum di atur. Berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi MNK di Indonesia yaitu CBM sekitar 453,30 TCF dan shale gas 574 TCF.
Pada saat LTP dibuat pada 2020, belum ada regulasi yang mengatur. Tapi, kata dia, sekarang MNK sudah diatur lebih jelas sehingga SKK Migas optimistis memasukkannya ke dalam LTP.“Memang perlu dukungan regulasi salah satunya peraturan fiskal yang harus berubah secara signifikan, sehingga dapat diproduksi untuk menambah produksi 1 juta barel,” kata Benny
Saat ini pemerintah tengah menyiapkan skema dalam pengembangan MNK. Salah satunya melalui revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 36 Tahun 2008 dan Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2012. Dalam aturan baru nantinya, wilayah kerja (WK) eksisting dapat langsung melakukan eksplorasi maupun eksploitasi MNK tanpa kontrak baru.
Tim Produksi
PenulisArofatin Maulina Ulfa, Sahistya Dhaneswara
EditorPadjar Iswara
Teknologi InformasiFirman Firdaus, Aditya Nugroho, Maulana
Desain GrafisM. Yana, Nunik Septiyani, Zulfiq Ardi Nugroho