Nahdlatul Ulama (NU) dan Jawa Timur memiliki peran strategis dalam percaturan politik menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. NU adalah organisasi Islam terbesar di tanah air. Menggarap suara NU artinya para calon presiden (capres) dan tim suksesnya perlu mengeksplorasi Jawa Timur.
NU memiliki basis pemilih loyal yang besar. Survei Alvara Research Institute pada 2016 mencatat sebanyak 50,3% penduduk muslim Indonesia mengaku NU. Artinya lebih dari separuh penduduk muslim mengakui dirinya terafiliasi dengan jaringan NU, baik struktural maupun kultural.
Sementara Jawa Timur merupakan basis terbesar warga NU. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan jumlah pemilih di provinsi itu sebanyak 31,4 juta atau 15% dari total pemilih nasional. Jumlah ini hanya kalah dari Jawa Barat yang mencapai 35,7 juta pemilih (17% nasional).
“Secara historis kelahiran tokoh-tokoh NU ada di sana. Secara teoritis, pasti populasi orang NU di Jawa Timur itu jauh lebih banyak dibandingkan wilayah lain di Indonesia,” kata Saiful Mujani, pendiri lembaga survei SMRC, dalam siaran di SMRC TV yang tayang pada 12 Oktober 2023.
Posisi ini membuat peserta pemilu berlomba meraih tuah politik NU dan Jawa Timur. Jika berkaca dari Pilpres 2019, suara pemilih NU menjadi penentu kemenangan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Exit poll yang dilakukan Indikator Politik Indonesia menunjukkan 56% warga NU mengaku memilih Joko Widodo (Jokowi). Angka itu naik 12% dibandingkan pemilu sebelumnya. Soliditas NU memilih Jokowi, menurut Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, tidak lepas dari sosok Ma’ruf Amin yang merupakan Rais ‘Aam NU.
Pentingnya suara dari Jawa Timur, menurut Indikator Politik Indonesia, terlihat dari para pemenang pilpres dari 2004 hingga 2019 adalah yang berhasil unggul di provinsi ini. Makanya, para kandidat perlu menyusun strategi untuk meraih suara Jawa Timur. Termasuk dengan menggandeng calon yang berasal dari kalangan nahdliyin.
Dua dari tiga calon wakil presiden (cawapres) memiliki afiliasi dengan NU. Mahfud MD menjadi cawapres Ganjar Pranowo, sedangkan Muhaimin Iskandar digandeng Anies Baswedan. Keduanya pun sama-sama berasal dari Jawa Timur. Mahfud dari Sampang di Madura, Muhaimin dari Jombang.
Selain Muhaimin dan Mahfud, beberapa tokoh NU yang pernah menjadi cawapres antara lain Salahuddin Wahid, Hasyim Muzadi, Hamzah Haz, Jusuf Kalla, hingga Ma’ruf Amin.
Ke Mana Suara Warga NU Berlabuh?
Dalam beberapa survei yang dilakukan sejumlah lembaga, nama-nama tokoh NU selalu masuk dalam radar cawapres pilihan. Dari nama-nama yang beredar misalnya, pemilih Jawa Timur cenderung akan memilih cawapres yang memiliki afiliasi dengan NU. Erick Thohir, Khofifah Indar, dan Mahfud MD adalah tiga nama yang paling dipilih, menurut survei Indikator Politik Indonesia.
Sedangkan untuk capres, mayoritas masyarakat NU tetap memilih tiga nama yang beredar. Di tiga survei yang dilakukan lembaga berbeda dalam tiga bulan terakhir, Ganjar Pranowo masih menempati urutan pertama pilihan warga NU, diikuti Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan di urutan ketiga.
Terkait pilihan partai politik, survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan 31% pemilih Jawa Timur akan memilih PDIP. Disusul PKB (20,2%) dan Gerindra (12,1%). Mayoritas alasan memilih PDIP lantaran dinilai memiliki kandidat lebih baik dibandingkan partai lain dan memiliki pemimpin partai yang disukai.
Sementara alasan memilih PKB karena mendukung agama dan organisasi keagamaan yang diikuti responden. Adapun Gerindra dipilih karena alasan suka pemimpin partainya.
Prabowo Tidak Mempertimbangkan Suara NU?
Pada 22 Oktober lalu, capres Partai Gerindra Prabowo Subianto resmi mengumumkan Gibran Rakabuming Raka sebagai pendampingnya di Pilpres 2024. Gibran adalah putra sulung Presiden Joko Widodo yang saat ini menjabat wali kota Solo. Dirinya dapat maju menjadi cawapres meskipun usianya belum 40 tahun setelah Mahkamah Konstitusi mengubah persyaratan.
Sebelumnya nama-nama yang santer masuk dalam radar cawapres Prabowo adalah Erick Thohir dan Khofifah Indar Parawansa. Keduanya memiliki basis pendukung dari kalangan nahdliyin.
KH Musyaffak Fauzi, pengasuh Pondok Pesantren Mojosari, Nganjuk menilai Prabowo bakal kehilangan suara NU jika memilih Gibran sebagai cawapres.
“Bukan hanya NU, mungkin suara non-NU pun akan berkurang, itu pendapat saya. Apalagi Gibran selama ini kurang dekat dengan NU dan kurang bersilaturahmi dengan pesantren-pesantren. Kalau tidak Erick ya Khofifah, dua itu yang punya kedekatan dengan NU,” kata KH Musyaffak Fauzi pada 19 Oktober lalu.
Namun, jika mengacu pada survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dirilis pada 19 Oktober lalu, elektabilitas pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka masih bisa mengungguli pasangan lainnya. Meskipun elektabilitas Prabowo cenderung lebih rendah dibandingkan jika berpasangan dengan tokoh NU seperti Erick Thohir maupun Khofifah.
Meskipun bukan berasal dari kalangan nahdliyin, Gibran dinilai masih akan bisa memberikan insentif elektoral bagi Prabowo. Menurut peneliti Indikator Politik Indonesia Bawono Kumoro, Gibran dianggap sebagai representasi suara anak muda, terutama generasi milenial.
Selain itu, yang terpenting dia adalah anak Jokowi dan kader PDIP sehingga masih memiliki basis suara di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Apalagi sampai saat ini dia masih menjadi wali kota Solo.
“Jangan lupa fakta bahwa hingga hari ini Jokowi itu masih dekat dengan elite-elite NU dan disukai warga NU. Ingat apa yang dikatakan Ketua PBNU Yahya Cholil Staquf, ‘NU tidak akan jauh dari Pak Jokowi’. Karena itu juga mungkin menggandeng Gibran menjadi strategis,” kata Bawono Kumoro kepada Katadata, pada Rabu, 25 Oktober.
Pengaruh Kiai NU terhadap Pengikut
Aktivitas NU lekat dengan dunia pesantren sehingga tercipta hubungan patron-client antara kiai, santri, serta jamaah lainnya. Dalam tradisi NU terdapat doktrin sami’na wa atho’na atau “apa yang kami dengar (petunjuk kiai), akan kami laksanakan (taati)”. Doktrin ini menjadi instrumen efektif untuk menggiring suara nahdliyin.
“Pola hubungan kiai dan santri yang selama ini dikenal dengan ketundukan total. Di dalam pesantren, otoritas kiai bersifat mutlak,” tulis Masruri dalam artikel “Memudarnya Patron-Client: Relasi Politik Elektoral Kiai dan Santri dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2018” yang dimuat di Jurnal Ilmu Pemerintahan pada Oktober 2019.
Namun dari penelitian tersebut, Masruri menemukan, pilihan kiai tidak selamanya diikuti para santri. Relasi antara kiai dan santri kini lebih terbuka. Kiai tidak lagi menjadi sosok yang mendominasi dalam penentuan pilihan politik santri. Sebaliknya santri memiliki kemandirian untuk memilih.
Selain itu, keterbukaan akses informasi dan wawasan santri juga menjadikan pilihan politik santri lebih berdasarkan logika dan lebih demokratis. “Penilaian santri terhadap calon gubernur dan wakil gubernur berdasarkan jejak prestasi, kualitas dan kemampuan dalam menyampaikan visi dan misi yang rasional,” sebut Masruri.
Riset Hamzah Fansuri pada 2022 juga menunjukkan hal sama. Kandidat doktor Universitas Heidelberg, Jerman tersebut mencatat pengaruh NU mulai berkurang terutama di lingkungan perkotaan.
Beberapa alasan yang mendasari temuan riset ini adalah citra kedekatan NU dengan politik negara. Sedangkan kelompok muslim urban lebih fokus dengan masalah yang mereka rasa lebih mendesak, seperti akses pendidikan, layanan kesehatan, dan masalah sosial lainnya.
Berkurangnya pengaruh tokoh juga terlihat dari survei Indikator Politik Indonesia. Dalam survei yang dilaksanakan di Jawa Timur pada 14-20 September 2023 tersebut, mayoritas responden (60,5%) menganggap penting pandangan tokoh masyarakat terkait capres atau cawapres yang dipilih.
Lalu jika diajak tokoh untuk memilih pasangan capres atau cawapres mereka cenderung menolak. Sebanyak 56,4% mengatakan kecil kemungkinan untuk mengikuti ajakan tokoh. Sementara jika organisasi, baik NU maupun Muhammadiyah, menganjurkan untuk memilih pasangan tertentu, responden terbelah rata antara mengikuti dan tidak.
Namun, menurut Bawono, dari sejumlah survei pemilih NU di Jawa Timur menyebar ke beberapa partai. Artinya tidak ada satu orang yang dapat mengklaim paling NU sehingga menggaransi dapat menarik sebagian besar suara NU.
“Jadi (warga NU) harus didekati secara kultural juga. Melalui simpul-simpul kiai kampung atau pondok-pondok pesantren di pedalaman Jawa Timur. Itu justru dampaknya lebih berpengaruh dibandingkan hanya sekadar menggandeng tokoh NU,” kata dia.
Editor: Aria W. Yudhistira