Advertisement
Analisis | Dapatkah Tapera Mengatasi Masalah Kebutuhan Rumah di Indonesia? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Dapatkah Tapera Mengatasi Masalah Kebutuhan Rumah di Indonesia?

Foto: Katadata/ Bintan Insani/ AI
Backlog atau kesenjangan kebutuhan rumah di tanah air mencapai 12,7 juta pada 2023. Melalui program Tapera, pemerintah melibatkan masyarakat untuk ikut menanggung beban pemenuhan pembangunan rumah tersebut. Namun apakah program itu dapat mengatasi persoalan harga rumah yang terus meningkat?
Dini Pramita
26 Juni 2024, 18.38
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Pemerintah melibatkan masyarakat ikut menanggung beban pemenuhan selisih kebutuhan rumah (backlog) di tanah air. Skema gotong royong tersebut dilakukan melalui program tabungan perumahan rakyat (tapera). Program ini sudah diterapkan untuk ASN, TNI, Polri, dan pegawai BUMN sejak 2021. Adapun pekerja swasta akan diwajibkan mulai 2027.

“Kesenjangan kepemilikan rumah sangat tinggi. Kalau mengandalkan pemerintah saja nggak akan selesai,” kata Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) Heru Pudyo Nugroho. 

Menurutnya, tapera merupakan grand design pelibatan masyarakat untuk ikut bertanggung jawab memenuhi kebutuhan rumah. “Konsepnya bukan iuran tapi menabung,” kata Heru.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat backlog kepemilikan rumah di Indonesia mencapai 12,7 juta pada 2023. Kondisi ini menunjukkan penurunan dibandingkan periode 2017-2021 yang menyentuh angka 14 juta, tetapi meningkat dibandingkan 2022 yang mencatatkan angka 11,6 juta.

Menurut BPS, backlog adalah selisih antara jumlah rumah tangga dengan kepemilikan rumah yang dimiliki sendiri. Meskipun tergolong sebagai rumah layak huni, BPS mengkategorikan hunian sewa sebagai kondisi backlog atau kebutuhan rumah. 

Apabila disajikan dalam persentase, proporsi rumah tangga yang memiliki rumah dengan status milik sendiri sebesar 84,79% pada 2023. Proporsi itu mengalami kenaikan dibandingkan 81,08% pada 2021. Sebaliknya, proporsi rumah tangga yang menghuni rumah sewa atau kontrak turun dari 8,66% menjadi 5,05%.   

Menurut wilayahnya, proporsi rumah tangga yang menghuni rumah dengan status milik sendiri di perdesaan lebih banyak ketimbang di perkotaan. Jumlahnya meningkat menjadi 92,38% pada 2023 dibandingkan dengan 2021 sebesar 90,75%. 

Eksklusivitas KPR dan Pasar Rumah

Mengutip Survei Modul Kesehatan dan Perumahan yang diselenggarakan BPS setiap tiga tahun sekali, mayoritas rumah tangga memperoleh rumah milik pribadi dengan cara membangunnya sendiri. Proporsinya mencapai 82,68% pada 2023.

Hanya sekitar 4% yang membeli dari pengembang, sedangkan 4,67% lainnya membeli dari bukan pengembang. Sebanyak 8,53% sisanya mendapatkan hibah atau warisan dari orang tua.

 

Secara umum, kepemilikan rumah dengan cara membangun sendiri terbanyak ada di perdesaan dibandingkan di perkotaan, dengan proporsi 90,10% berbanding 76,27%. Sedangkan proporsi kepemilikan hunian yang diperoleh dengan cara membeli atau mendapatkan hibah atau warisan didominasi rumah tangga perkotaan. 

Apabila ditilik dari status ekonominya, semakin sejahtera rumah tangga, semakin tinggi kecenderungannya untuk membeli rumah, baik dari pengembang maupun bukan pengembang, daripada membangun sendiri. Sedangkan semakin rendah status ekonominya, semakin tinggi kecenderungannya untuk memiliki rumah dengan cara membangun sendiri.

Kondisi ini terlihat dari proporsi kepemilikan rumah dengan cara membangun sendiri yang lebih tinggi pada kelompok ekonomi terendah dengan persentase 86,01%. Sedangkan pada kelompok ekonomi tertinggi sebesar 73,36%.

Sementara itu, sekitar 1 dari 10 rumah tangga pada status ekonomi tertinggi memperoleh rumah dengan cara membeli dari pengembang. Berkebalikan dengan rumah tangga dari status ekonomi terendah yang memiliki proporsi sebesar 0,40% dalam kategori memiliki rumah dengan cara membeli dari pengembang.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, kondisi ini disebabkan karena semakin tingginya kesenjangan antara harga rumah dan kemampuan membeli rumah. Salah satunya akibat keterbatasan lahan yang menyebabkan kenaikan harga lahan, terutama di wilayah perkotaan.

Sayangnya, menurut Eko, kenaikan itu melampaui peningkatan pendapatan dan biaya hidup. Alhasil, harga rumah semakin sulit dijangkau terutama oleh generasi yang lebih muda. 

“Kondisi ini yang menyebabkan terjadi perubahan preferensi. Konsep membeli rumah tidak lagi menarik bagi generasi muda seperti generasi Z dan hanya dapat dijangkau oleh kalangan ekonomi menengah ke atas,” kata dia kepada Katadata, Minggu, 16 Juni 2024.

Persoalan lain adalah rendahnya aksesibilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bagi masyarakat berpenghasilan rendah (status ekonomi kuintil 1-2). Masyarakat di golongan ini mayoritas merupakan pekerja informal dengan penghasilan tidak tetap, sehingga memiliki akses terbatas untuk mendapatkan KPR. 

Menurut BPS, rata-rata biaya angsuran KPR per bulan di Indonesia adalah Rp1,6 juta. Sedangkan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) Indonesia pada 2023 adalah sebesar Rp2,92 juta. Sementara itu, rata-rata pendapatan pekerja sektor informal mulai dari yang tidak berpendidikan hingga SMA ke atas sebesar Rp1,86 juta per bulan. 

“KPR menjadi tidak terjangkau bagi masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah dan berada di sektor-sektor informal,” kata Eko. 

Mengutip data Kementerian PUPR dalam booklet Kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia melalui National Affordable Housing Program (NAHP) yang diterbitkan pada 2023 disebutkan, pasar KPR di Indonesia mengalami stagnasi. Menurut booklet tersebut, pasar KPR hanya tumbuh kurang dari 1,5 dengan rasio di bawah 4% pada 2021, dan relatif lebih kecil daripada rasio di negara-negara tetangga. 

Padahal, target rasio KPR dalam RPJMN 2020-2024 terhadap PDB adalah sebesar 4%. Adapun rasio pada 2022 adalah sebesar 2,99% dan pada kuartal IV-2023 sebesar 3,16%.

Potret Backlog Hunian Layak di Indonesia

Berbeda dengan BPS, menurut Kementerian PUPR, jumlah backlog perumahan di Indonesia berkisar 9,9 juta pada 2023. Turun dari tahun-tahun sebelumnya yang mencatatkan angka 12-an juta. 

Mengutip Kamus Istilah Pengembangan Wilayah yang dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), backlog rumah adalah kondisi kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah yang dibutuhkan rakyat. Dalam perspektif Kementerian PUPR, backlog mengacu pada ketersediaan rumah layak huni yang bisa ditinggali oleh masyarakat, sekalipun hunian tersebut berstatus sewa.

Eko Listiyanto mengatakan, adanya pergeseran perspektif mengenai kepemilikan rumah membuat perhitungan backlog perumahan menurut Kementerian PUPR dapat dipertimbangkan. “Ketika rumah tangga sudah menempati hunian layak, meskipun statusnya sewa, seharusnya tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah hunian yang tidak layak, terlepas statusnya sewa atau milik sendiri,” kata dia. 

Tetapi, Eko mengatakan, persoalan saat ini adalah angka backlog dalam dimensi kepemilikan maupun kelayakan, sama-sama tinggi. Menurut BPS dalam publikasi Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan 2023, sebanyak 36,85% rumah tangga tinggal di rumah yang tidak layak huni atau sekitar 26,06 juta rumah tangga pada 2023. Dari data tersebut, belum ada satu pun provinsi yang mencapai angka 90% dalam kategori rumah tangga yang memiliki akses terhadap hunian yang layak dan terjangkau. 

Adapun rata-rata persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap hunian yang layak dan terjangkau di Indonesia pada 2023 adalah 63,15%. 

Meskipun persentase rumah tangga yang tinggal di rumah tak layak mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya, provinsi yang menduduki peringkat terendah tak banyak mengalami perubahan. 

Jakarta memiliki persentase rumah tangga yang tinggal di rumah yang layak huni sebesar 38,80%. Turun dari 2021 yang memiliki persentase 40%. Artinya, ada 61,2% rumah tangga yang tinggal di rumah tidak layak huni di Jakarta atau sekitar 1,72 juta dari 2,8 juta rumah tangga. 

Posisi Jakarta itu hanya terpaut sekitar 6% dari Kepulauan Bangka Belitung yang pada 2023 mengantongi persentase rumah tangga yang tinggal di rumah layak huni sebesar 32,57% dan Papua yang memiliki persentase 29,01%.    

BPS memiliki empat kriteria untuk menilai status kelayakan huni, yaitu: kecukupan luas tempat tinggal, akses air minum layak, akses sanitasi layak, dan ketahanan bangunan.

Dengan adanya tapera, pemerintah akan menghentikan pemberian Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan dana FLPP sebesar Rp60,67 triliun dialihkan ke Badan Pengelola (BP) Tapera. Pengaturan terhadap hal ini ditegaskan dalam PP 25/2020 dan PP 21/2024. 

Selain itu, dana FLPP juga dapat ditarik sewaktu-waktu oleh pemerintah dan dialihkan penggunaannya. Ketentuan itu terdapat dalam pasal 64 (5) PP 21/2024. Padahal, kata Eko, FLPP justru merupakan cara terbaik untuk mengatasi kesenjangan perumahan, baik dalam dimensi kepemilikan maupun kelayakan. 

“Untuk menyediakan hunian yang layak dan terjangkau, justru seharusnya FLPP yang harus dibesarkan dan bebannya jangan dialihkan ke masyarakat. Konsep gotong-royong kurang tepat karena penyediaan hunian layak untuk masyarakat berpenghasilan rendah merupakan tugas negara,” kata dia. 

Selain itu, kata dia, pemerintah harus mempertimbangkan lokasi pembangunan hunian layak untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di daerah-daerah yang relatif dekat dengan pusat kota dan memiliki akses transportasi publik yang baik. Sebab, ada kecenderungan pembangunan hunian subsidi berada sangat jauh dari pusat kota sehingga justru semakin membebani dengan ongkos transportasi menuju tempat kerja yang semakin mahal. 

LPEM FEB Universitas Indonesia dalam riset terbarunya yang dirilis pada Juni 2024 menyebut fenomena ini sebagai job-residence spatial mismatch dan fenomena urban sprawl

Terminologi pertama merujuk pada situasi MBR yang cenderung memilih tempat tinggal di area yang terhubung dengan pusat kota karena minimnya kesempatan kesempatan kerja yang memberikan kompensasi sepadan. Sedangkan fenomena urban sprawl menggambarkan perkembangan kota yang ditandai dengan ekspansi yang luas dan tidak terkendali ke daerah pinggiran kota. 

Menurut analisis LPEM UI, perumahan subsidi yang dibangun di wilayah peri-urban tersebut tidak selalu memenuhi standar kualitas yang diharapkan. Lagi pula berada di lokasi yang terlalu jauh pusat aktivitas ekonomi. 

Eko mengatakan, pembangunan rumah subsidi yang berada di pinggiran kota cenderung disebabkan karena harga tanah yang relatif terjangkau di wilayah ini. Untuk mengatasi persoalan tersebut, kata dia, pemerintah dapat mengoptimalkan peran bank tanah. 

Bank tanah dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja untuk menjamin ketersediaan tanah dalam rangka kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan dan reforma agraria.

Selain itu, kata dia, pemerintah perlu mempertimbangkan hunian susun untuk mengatasi persoalan minimnya lahan di area yang dekat dengan pusat perekonomian. “Harus ada kajian yang benar-benar matang dengan melibatkan berbagai pihak, dan sosialisasi yang baik kepada seluruh lapisan masyarakat,” kata dia.

Editor: Aria W. Yudhistira