Macet dan Polusi Menerjang Kota,
Transportasi Publik jadi Solusi?
Perkotaan kerap menghadapi masalah kemacetan dan polusi udara. Dibutuhkan solusi untuk mengurangi hal tersebut, salah satunya dengan menggunakan transportasi publik ramah lingkungan.
Pada 2023, wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang sedang dilanda kekeringan akibat El Nino, juga harus menghadapi masalah klasik: polusi udara. Presiden Joko Widodo pun menggelar rapat terbatas untuk membahas solusi sekaligus merespons banyak persoalan kesehatan akibat polusi.
Laporan IQAir pada 2023 menyebutkan, konsentrasi PM 2,5 di Indonesia meningkat 20% dibanding periode 2022. PM 2,5 adalah partikel kecil yang berasal dari debu, kotoran, hingga asap di udara dan dapat memperburuk kualitas pernapasan manusia. Nilai itu membuat Indonesia bercokol di peringkat 14 dari 136 negara yang memiliki kualitas udara terburuk pada tahun tersebut.
Berdasarkan laporan itu, transportasi menjadi salah satu penyebab utama polusi udara. Kemacetan di kota-kota besar turut berkontribusi mempertebal emisi.
Bahkan, Jakarta menempati posisi ke-30 dari 387 kota termacet di dunia berdasarkan TomTom Traffic Index 2023. Kemacetan timbul akibat banyak mobilitas penduduk menggunakan kendaraan pribadi.
Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Indonesia 2024 mencatat terdapat kenaikan jumlah kendaraan pribadi, baik mobil penumpang maupun motor sejak 2015 - 2023. Jumlah mobil penumpang pada 2015 mencapai 12,3 juta unit dan meningkat mencapai 18,3 juta unit pada 2023. Sementara jumlah motor pada 2015 mencapai 88,7 juta unit dan meningkat menjadi 132,4 juta unit pada 2023.
Dalam laporan Climate Transparency pada 2022, transportasi berkontribusi mengeluarkan emisi di sektor energi sebesar 25% dan bahkan menyumbang 33% dari konsumsi energi final. Laporan ini juga menyebutkan bahan bakar minyak (BBM) pada 2021 masih mendominasi bauran energi sektor transportasi sebesar 86% dan 14% lainnya diisi oleh biodiesel dan listrik.
Upaya untuk mengurangi kemacetan dan emisi dari sektor transportasi adalah mengimplementasikan kerangka prinsip kebijakan transportasi berkelanjutan yaitu Avoid, Shift, dan Improve (ASI).
Avoid artinya mengurangi kebutuhan melakukan perjalanan. Shift berarti beralih ke moda transportasi yang berkelanjutan, dan Improve adalah efisiensi energi dan pemanfaatan teknologi, termasuk elektrifikasi transportasi publik.
Terkait elektrifikasi transportasi publik, Kementerian Perhubungan telah menetapkan target elektrifikasi 90% transportasi publik berbasis jalan di seluruh Indonesia pada 2030.
Pemerintah Indonesia berupaya mempercepat adopsi transportasi publik berbasis listrik melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 55 Tahun 2019. Melalui Perpres itu, pemerintah secara spesifik berkomitmen untuk fokus pada percepatan adopsi kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB).
Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia juga meyakini hal serupa. Direktur Asia Tenggara ITDP Gonggomtua Sitanggang dalam wawancara secara tertulis dengan Katadata Green, Jumat (17/11/2023), menuturkan beberapa alasan pentingnya memulai elektrifikasi dari transportasi publik.
Pertama, transportasi publik khususnya bus, punya jarak tempuh harian yang lebih panjang sekitar 200 km/hari) dibanding kendaraan pribadi. Tingkat emisi bus konvensional tinggi, tapi tingkat emisi per penumpang bus tetap lebih rendah, yaitu sebesar 17,7 grCO2 per penumpang.
Kedua, program insentif untuk elektrifikasi transportasi publik akan lebih terfokus apabila banyak armada yang dikelola oleh suatu instansi tertentu.
Ketiga, karena transportasi publik memiliki rute yang tetap, jadwal operasional yang reguler, dan memiliki depo sehingga dapat menyederhanakan proses perencanaan strategi jika dibandingkan elektrifikasi kendaraan bermotor pribadi. Terakhir, sebagai momentum peningkatan kualitas layanan secara keseluruhan.
“Namun, terdapat empat tantangan utama terkait elektrifikasi kendaraan,” kata Gonggom.
Tantangan pertama, tingginya biaya investasi awal. Penggunaan bus listrik membutuhkan biaya investasi awal yang lebih tinggi dibandingkan dengan bus konvensional. Hal itu disebabkan adanya biaya tambahan dari baterai dan penyediaan fasilitas pengisian daya dan koneksi ke jaringan listrik untuk mendukung operasional bus listrik.
Tantangan selanjutnya terkait skema bisnis pembelian layanan (buy-the-service) yang saat ini diterapkan masih sepenuhnya bergantung pada kemampuan operator transportasi publik dalam menyediakan dan memelihara sarana dan infrastruktur pendukung yang dibutuhkan. Operator umumnya memiliki kapasitas finansial dan teknikal untuk membeli, mengoperasikan, dan melakukan bus listrik yang terbatas.
Selain itu, teknologi kendaraan listrik yang cenderung masih baru juga menjadi tantangan tersendiri. Tantangan ini menimbulkan berbagai akibat mulai dari terbatasnya skema pendanaan dari lembaga finansial, keterbatasan model bus listrik di pasaran, kesiapan sumber daya manusia, hingga masalah operasional.
Tantangan terakhir, kurangnya dukungan kebijakan dari pemerintah. Meskipun Pemerintah Indonesia telah memiliki target untuk adopsi kendaraan listrik pada transportasi jalan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) 55 Tahun 2019 yang diperbarui menjadi Perpres 79 Tahun 2023, tapi kebijakan pendukung yang kuat untuk mempercepat program elektrifikasi masih diperlukan.
Cerita Transjakarta Mengelektrifikasi Armadanya
DKI Jakarta mengandalkan Transjakarta sebagai sistem transportasi publiknya. Selama 20 tahun, Transjakarta berkontribusi mempermudah mobilitas masyarakat Jabodetabek.
Menurut Gonggom, sistem transportasi publik berbasis jalan di Jakarta sudah lebih baik dibandingkan daerah lainnya, sehingga DKI Jakarta dapat segera mengadopsi sistem bus listrik.
“Kapasitas fiskal yang tinggi di DKI Jakarta juga mendukung untuk mengimplementasikan bus listrik ke dalam sistem Transjakarta,” ujarnya.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah berkomitmen dengan mengeluarkan Keputusan Gubernur (Kepgub) DKI Jakarta No. 1053 Tahun 2022 tentang Pedoman Percepatan Program Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai dalam Layanan Angkutan Trans Jakarta.
Melalui Kepgub tersebut, pemprov DKI Jakarta menargetkan 50% armada bus terelektrifikasi pada 2027. Kemudian pada 2030, seluruh armada sejumlah 10.047 unit sudah terelektrifikasi.
Studi ITDP Indonesia bersama UK PACT menyebutkan, elektrifikasi seluruh armada Transjakarta pada 2030 diproyeksikan akan mengurangi emisi sebesar 611.580 tCO2eq atau 58% dari skema business-as-usual (BAU) dan meningkatkan keuntungan sebesar Rp4,2 triliun.
Bekerja sama dengan penyedia bus, Transjakarta melakukan uji coba beberapa model bus listrik sejak 2020. Per Desember 2023, ada 100 unit bus listrik yang beroperasi di layanan Transjakarta. Ke depannya, akan ada penambahan 200 unit bus listrik secara bertahap selama 2024.
Menurut Direktur Utama PT Transportasi Jakarta Welfizon Yuza, upaya elektrifikasi armada bus Transjakarta merupakan komitmen perusahaan dalam menghadirkan layanan yang bertanggung jawab pada lingkungan.
“Sesuai acuan kami; Bersih, Berdaya, dan Bestari. Khususnya pada aspek Bersih, kami secara bertahap melakukan elektrifikasi armada dan memberdayakan operator yang sudah ada,” katanya dilansir dari laman resmi Transjakarta, Kamis (23/11/2023).
Upaya Elektrifikasi Transportasi Publik di Kota Semarang
Melihat kesuksesan DKI Jakarta, upaya elektrifikasi bus rapid transit (BRT) juga mulai diterapkan di Kota Semarang. Sebagai Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah, Kota Semarang juga mengambil langkah mengurangi emisi dan meningkatkan efisiensi transportasi umum.
Melansir laporan ITDP Indonesia bertajuk “Rekomendasi Rute Pilot Bus Listrik untuk Trans Semarang”, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Semarang Tahun 2021-2026 menyebutkan rencana pembangunan BRT dedicated lane atau jalur khusus.
BRT dengan jalur khusus akan dibangun sesuai dengan rute transportasi publik eksisting Trans Semarang. Trans Semarang merupakan sistem transit bus yang dikelola dan dibiayai oleh Pemerintah Kota Semarang melalui anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) Kota Semarang yang beroperasi sejak 2009.
Rute Trans Semarang yang saat ini melayani kebutuhan transportasi publik di Kota Semarang sejak 2009 akan diintegrasikan ke dalam sistem BRT Semarang. Pembangunan BRT Semarang ini diharapkan dapat meningkatkan layanan transportasi publik dari segi kapasitas, kualitas, dan cakupan layanan, serta memberikan manfaat lingkungan melalui rencana transportasi rendah karbon.
Namun, Trans Semarang masih menghadapi berbagai tantangan, seperti tidak adanya jalur khusus hingga penempatan stasiun di sisi trotoar yang menyulitkan aksesibilitas pejalan kaki.
Sebagai komitmen adopsi bus listrik, Pemkot Semarang telah membeli satu armada bus listrik pada 2022 dengan menggunakan APBD Kota. Armada bus listrik ini dioperasikan sebagai Bus Angkutan Penumpang Wisata.
Katadata Green berkesempatan mewawancarai manajemen Trans Semarang pada Rabu (20/9/2023). Manajemen Trans Semarang menjelaskan rencana pembangunan infrastruktur dan pemasangan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) di depo bus pada 2026. Namun, mereka belum memiliki target elektrifikasi armadanya. Pihak Trans Semarang pun berusaha mendorong komitmen kepala daerah terkait pendanaan dan investasi bus listrik.
Hasil audiensi ITDP Indonesia dengan Dinas Perhubungan Kota Semarang pada September 2023 menyimpulkan bahwa karena keterbatasan anggaran, saat ini adopsi bus listrik ke dalam sistem Trans Semarang masih belum dapat direncanakan.
Di sisi lain, Pemerintah Kota Semarang akan mendapatkan bantuan pendanaan dari KfW Development Bank Germany (Bank Pembangunan dan Investasi Jerman) untuk pembangunan jalur khusus BRT Trans Semarang.
KfW Development Bank Germany menyatakan minatnya untuk mendanai BRT Semarang dan BRT Surabaya dengan memberi dukungan berupa dokumen Pra Studi Kelayakan. Jumlah total dana dukungan ini sebesar 2,5 miliar Euro. Rencananya, BRT tersebut akan menggunakan bus listrik besar dan bus listrik menengah besar yang akan melayani 35 trayek di Semarang dan 94 trayek di Surabaya.
ITDP Indonesia menganggap bahwa pendanaan ini merupakan peluang untuk adopsi kendaraan listrik pada sistem transportasi publik di Kota Semarang ke depannya.
Bus Listrik Baru Mengaspal di Medan
Setelah direncanakan sejak 2018, BRT akhirnya akan terimplementasi di Kota Medan. Pemerintah Kota Medan bahkan resmi meluncurkan layanan bus listrik gratis sejak awal Januari lalu.
Melansir dari portal resmi Pemerintah Kota Medan, bus listrik mengakomodir tiga titik utama mobilitas masyarakat Kota Medan, yaitu kawasan Universitas Sumatera Utara (USU), Mal Sun Plaza, hingga perkantoran serta kantor Wali Kota Medan.
Kepala Dinas Perhubungan Kota Medan Iswar Lubis menyebutkan rute bus listrik sepanjang 21 km dengan halte berjumlah 39, termasuk 21 pemberhentian bus atau bus stop.
Iswar juga menyebutkan bahwa peluncuran bus listrik menjadi momentum besar pengoperasian BRT Mebidang (Medan, Binjai, dan Deli Serdang) yang menyediakan 17 koridor. Nantinya, BRT akan memiliki 515 unit armada hingga 2025. Program ini didukung oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Bank Dunia.
“Sebanyak 30% (dari pengoperasian BRT) adalah kendaraan listrik, sehingga Pemkot Medan memiliki komitmen mengoperasikan bus listrik pada satu koridor. Targetnya Juli akan ditambah lima koridor lagi,” kata Iswar dalam keterangan tertulis, Kamis (4/1/24). Meskipun begitu, Kementerian Perhubungan dan pemerintah daerah masih mengkaji lebih lanjut bagaimana komposisi bus listrik dan bus diesel yang terbaik untuk melayani BRT Mebidang, utamanya di tahap awal implementasi.
Sebelum mengimplementasikan bus listrik BRT Mebidang, Pemerintah Kota Medan, bekerja sama dengan berbagai pihak, mulai melakukan uji coba bus listrik sejak awal Januari 2024.
Wali Kota Medan Bobby Nasution menyebutkan bahwa pendanaan bus listrik yang diuji coba di Kota Medan sejak awal Januari 2024 tidak diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Medan. Bobby menyebutkan terwujudnya bus listrik merupakan hasil kolaborasi dengan berbagai pihak.
“Pengadaan armada bus dibantu oleh PT Kalista dan ada pula J-City yang membangun halte dan bus stop,” kata Bobby dalam keterangan tertulis, Kamis (4/1/24).
Di kesempatan yang berbeda, Iswar mengatakan kepada Katadata Green akan ada berbagai tantangan yang dihadapi dalam pengimplementasian BRT. “Tingginya jumlah pengguna kendaraan pribadi dibanding angkutan umum masih menjadi hambatan,” kata Iswar, Jumat (22/9/23).
Menurut dia, hal itu karena minat masyarakat masih minim dalam menggunakan transportasi umum. Selain itu, minat penumpang untuk berjalan kaki menuju akses transportasi publik juga masih rendah.
Iswar mengatakan bahwa sarana dan prasarana transportasi publik masih perlu banyak perbaikan. Dishub Medan akan berfokus membenahi infrastruktur transportasi publik, untuk meningkatkan aksesibilitas masyarakat seiring penambahan armada dan koridor BRT Mebidang.
Mewujudkan Pemerataan Elektrifikasi BRT
Pemerintah Indonesia memiliki sejumlah regulasi yang mendukung bus listrik. Salah satu kebijakan utamanya tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 Tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan, yang diperbarui pada Perpres Nomor 79 Tahun 2023.
Perpres tersebut membuka jalan adanya aturan turunan dan insentif untuk bus listrik. Selain itu ada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2021 yang menetapkan biaya Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) lebih rendah untuk bus listrik dibandingkan konvensional.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8 Tahun 2024, bus listrik dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) mencapai 20% akan mendapatkan insentif. Melalui aturan ini, pemerintah mendorong program insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN-DTP) atas pembelian kendaraan listrik roda empat dan bus.
Program PPN-DTP memungkinkan insentif pajak sebesar 5% untuk bus listrik dengan TKDN minimal 20%, dan insentif 10% bagi bus listrik yang TKDN-nya minimal 40%.
Gonggom mengatakan, Pemerintah Indonesia memang memberi sejumlah insentif untuk pengembangan bus listrik. Namun, dukungan pemerintah untuk pengembangan bus listrik masih belum ideal.
Studi ITDP menyebutkan, target elektrifikasi armada transportasi perkotaan oleh Kemenhub masih belum memiliki kerangka regulasi yang kuat. Hal ini, menurut Gonggom, mengakibatkan ketidakpastian permintaan bagi pelaku industri di bidang bus listrik dan penyelenggaraan transportasi publik.
Selain itu, insentif fiskal yang diberikan masih terbatas dan hanya bertumpu pada produksi serta pembelian kendaraan listrik. Padahal, insentif juga perlu diberikan kepada penyediaan fasilitas pengisian daya.
“Insentif yang diberikan belum efektif menekan biaya modal, karena saat ini biaya pembelian bus listrik masih dua setengah sampai tiga kali lebih tinggi dari biaya pembelian bus konvensional,” kata Gonggom.
Dukungan pemerintah terhadap model bisnis alternatif untuk meningkatkan akses dan sumber pendanaan masih minim. Model bisnis penyelenggaraan transportasi publik saat ini masih bertumpu pada kemampuan finansial operator. Problemnya kemampuan fiskal pemerintah pun terbatas.
Gonggom menggarisbawahi dukungan pemerintah terhadap pengembangan ekosistem bus listrik masih kurang. Saat ini, implementasinya masih bergantung pada komponen yang berasal dari industri luar negeri atau impor. Dukungan bagi industri lokal masih minim, terutama untuk mencari partner transfer teknologi.
Perlu ada komitmen kuat dari pemerintah pusat dan daerah untuk mencapai implementasi bus listrik, khususnya untuk transportasi publik, yang ideal. ITDP menawarkan sejumlah kerangka kebijakan.
Pertama, elektrifikasi transportasi publik membutuhkan sistem transportasi publik yang mumpuni. Ini menjadi kesempatan untuk mereformasi sistem transportasi publik perkotaan dan pemerintah berperan penting dalam mendukung pendanaan, subsidi operasional, dan memastikan implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) transportasi publik.
Kedua, mendorong regulasi elektrifikasi bus di tingkat nasional. Ketiga, upaya pengurangan biaya dalam penyediaan armada bus listrik dan infrastruktur pengisian daya untuk mencapai Total Cost of Ownership (TCO) parity.
Ketiga, mendorong standarisasi teknis ekosistem bus listrik yang lebih adaptif. Terakhir, memungkinkan terjadinya transfer pengetahuan dan kemitraan pengembangan teknologi ekosistem industri bus listrik.
“Adopsi kendaraan listrik diharapkan dapat menjadi momentum untuk mereformasi layanan transportasi publik di Indonesia, sehingga tidak hanya memberikan manfaat lingkungan tapi juga meningkatkan layanan transportasi publik yang ada,” kata Gonggom.