Advertisement
Analisis | Pertarungan Tiga Srikandi di Pilgub Jawa Timur: Adakah Kans Menggoyang Khofifah? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Pertarungan Tiga Srikandi di Pilgub Jawa Timur: Adakah Kans Menggoyang Khofifah?

Foto: Katadata/ Ilustrasi/ Bintan Insani
Sejumlah survei menunjukkan pasangan Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak punya elektabilitas tertinggi dalam Pilgub Jawa Timur. Tapi, bagaimana hitung-hitungannya sehingga pasangan ini bisa mengalahkan dua calon pasangan lainnya dan kemudian memimpin provinsi tersebut?
Leoni Susanto
2 Oktober 2024, 12.51
Button AI Summarize

Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur diperkirakan mengulang hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Pasangan yang didukung Koalisi Indonesia Maju (KIM), Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak, diprediksi kembali mendulang kemenangan. Pada Pilpres lalu, pasangan yang diusung KIM, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, berhasil meraup 65,2% suara di provinsi ini.

Proyeksi kemenangan Khofifah-Emil terlihat dari survei sejumlah lembaga, yang memperkirakan mereka memperoleh lebih dari 50% suara. Katadata Insight Center (KIC) misalnya, memprediksi elektabilitas pasangan ini sebesar 52,7%. Demikian pula, sigi Poltracking Indonesia dan Indikator Politik, yang mencatat tingkat keterpilihan masing-masing 57,3% dan 61,2%.    

Khofifah dan Emil bukan orang baru dalam perpolitikan Jawa Timur. Keduanya adalah petahana Gubernur dan Wakil Gubernur. Bagi Khofifah, Pilgub 2024 merupakan kali keempat dia ikut berebut kursi gubernur. Namun, mantan Menteri Sosial ini menyerah dari Soekarwo dalam Pilgub 2008 dan 2013. Sedangkan Emil, sebelum menjadi wakil Khofifah, adalah Bupati Trenggalek pada 2016-2019 dan saat ini masih menjabat Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Timur.

Dalam Pilgub tahun ini, pasangan Khofifah-Emil didukung koalisi gemuk. Total ada 14 partai parlemen dan nonparlemen yang mendukung mereka, yaitu Gerindra, PAN, Golkar, Demokrat, PPP, PSI, PKS, Perindo, NasDem, Partai Buruh, Gelora, PBB, PKN, dan Partai Garuda. Jika melihat hasil Pemilu DPRD lalu, koalisi ini mendominasi suara di 38 kabupaten/kota di Jawa Timur, termasuk Malang dan Kota Surabaya yang merupakan penyumbang suara terbesar. 

Kombinasi NU-Nasionalis

Jawa Timur adalah provinsi berpenduduk terbesar kedua di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk di Jawa Timur sebanyak 41,8 juta jiwa, dan 97% beragama Islam. Di provinsi ini, organisasi Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU), dilahirkan. Maka tak heran, suara Nahdliyin, penduduk muslim yang terafiliasi dengan NU, menjadi penentu kemenangan peserta pemilu yang berlaga di sana. 

Selain Nahdliyin, Jawa Timur juga cukup lekat dengan kalangan nasionalis. Bung Karno dilahirkan di Surabaya, dan Blitar menjadi lokasi makam presiden pertama tersebut. Dia adalah pendiri Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang merupakan cikal bakal PDIP, partai terbesar Indonesia saat ini. Ketua Umum PDIP adalah Megawati Soekarnoputri, anak perempuan Bung Karno. 

Makanya, partai-partai yang memiliki kedekatan ideologis dengan NU dan nasionalis, seperti PKB, PDIP, dan Gerindra, menjadi pemuncak perolehan suara di Jawa Timur. Begitupula, setiap pasangan calon yang akan berlaga dalam Pilgub, biasanya merupakan kombinasi kedua ideologi tersebut. 

Soekarwo, yang dua periode menjabat Gubernur Jawa Timur, adalah tokoh Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) dan pernah menjadi Ketua Perhimpunan Alumni GMNI. Dalam Pilgub 2008 dan 2013, dia menggandeng Saifullah Yusuf, tokoh NU. 

Khofifah, yang pernah dua kali menjadi rival Soekarwo dan kemudian berhasil menduduki kursi gubernur, juga tokoh NU. Dia merupakan Ketua Umum Muslimat NU sejak 2000. Wakilnya, Emil Dardak, pernah bergabung dengan PDIP saat mencalonkan diri sebagai Bupati Trenggalek, kemudian pindah ke Partai Demokrat. 

Pasangan Tri Rismaharini- Zahrul Azhar Asumta (Gus Hans) juga menganut kombinasi nasionalis-NU. Sebelum ditunjuk sebagai Menteri Sosial pada 2020, Tri Rismaharini menjadi Wali Kota Surabaya selama dua periode yang diusung PDIP. Sedangkan Gus Hans adalah tokoh muda NU dan pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang. 

Adapun pasangan Luluk Nur Hamidah-Lukmanul Khakim tidak menganut kombinasi ini. Mereka sama-sama kader PKB, partai yang didirikan tokoh-tokoh NU, dan pernah aktif sebagai pengurus organisasi di bawah NU. 

Mengamankan Suara Partai dan Nahdliyin 

Ketiga pasangan calon didukung oleh partai pendulang suara terbesar di Jawa Timur. PKB yang mengusung Luluk, memiliki persentase suara terbesar yaitu 19,8%. Kemudian PDIP, yang mendukung Risma, sebesar 16,3% suara. Sedangkan Gerindra, salah satu pengusung Khofifah, meraup 15,7% suara.

Namun, suara parpol belum tentu mengerek suara pasangan calon. PKB misalnya, perlu memikirkan strategi yang lebih efektif untuk mendongkrak suara Luluk-Lukman. Tingkat elektabilitas pasangan ini tertinggal dibandingkan pasangan lain. Survei Poltracking Indonesia menunjukkan, mayoritas pemilih PKB justru memilih Khofifah. 

Pemilih PDIP juga punya kecenderungan untuk mengalihkan suara. Survei mencatat ada 26,8% pemilih PDIP yang memilih Khofifah ketimbang Risma. Sedangkan pemilih Gerindra cukup loyal dengan garis partai. 

Meski elektabilitasnya tertinggi, duet Khofifah-Emil tidak melulu karena dukungan koalisi gemuk. Pada Pilgub 2018, Khofifah-Emil berhasil menang dengan 53,6% suara, menyisihkan pasangan Saifullah Yusuf dan Puti Guntur Soekarno. 

Padahal saat itu, Khofifah “hanya” didukung NasDem, Demokrat, Hanura, Golkar, PAN, PPP, dan PKPI. Dia berhasil menyisihkan pasangan yang diusung partai-partai penguasa Jawa Timur, yaitu PKB, PDIP, Gerindra, dan PKS. 

Di luar partai, artinya masing-masing pasangan calon perlu mengamankan suara Islam. Dalam survei Poltracking Indonesia, sebanyak 80,5% responden yang beragama Islam mengaku dekat dengan NU. Dari jumlah itu, sebesar 60,8% mengatakan akan memilih Khofifah-Emil. 

Sedangkan mereka yang menganggap dekat dengan Muhammadiyah mayoritas memilih Risma-Gus Hans. Hal ini karena Partai Ummat, pendukung Risma-Gus Hans, yang didirikan Amien Rais memiliki kedekatan dengan Muhammadiyah.

Dosen Komunikasi Politik Universitas Gadjah Mada, sekaligus Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies, Nyarwi Ahmad, mengatakan elektabilitas Khofifah-Emil yang tinggi tidak serta merta membuat mereka duduk nyaman. 

“Basis NU, terutama yang memilih Khofifah, masih bisa direbut oleh Risma maupun Luluk dan wakil-wakil mereka. Mereka berpotensi karena irisan dengan NU juga kuat,” kata Nyarwi kepada Katadata.co.id pada Jumat, 27 September. 

Bahkan untuk menunjukkan kedekatannya dengan kalangan NU, Risma melakukan kunjungan ke berbagai pesantren. Seperti bertemu KH Abdul Hakim Mahfudz alias Gus Kikin, pengasuh Ponpes Tebuireng. Di depan Gus Kikin, Risma mengaku memiliki nasab yang sejalur dengan keluarga Tebuireng. 

Di sisi lain, Luluk juga mengaku ceruk suaranya berasal dari kalangan perempuan muda NU yang kritis. Menurutnya, pemilih NU Khofifah dan Risma berasal dari kalangan tua. Meski begitu, dia tetap mengincar suara kalangan tua tersebut. Salah satunya dengan menyambangi kediaman pengasuh Pondok Pesantren Progresif Bumi Shalawat, Agoes Ali Masyhuri alias Gus Ali, di Sidoarjo. 

Faktor Emil

Menurut Nyarwi Ahmad, jangkar kemenangan Khofifah berada di wakilnya, Emil Dardak, yang memiliki basis di Mataraman dan kelompok nasionalis. Wilayah Mataraman meliputi daerah di barat Jawa Timur, yang memiliki latar belakang abangan. Menurut Taufik Alami dalam Budaya Politik Masyarakat Mataraman di Kediri, abangan didefinisikan sebagai kelompok Islam yang kurang taat dan cenderung memilih partai nasionalis. PDIP adalah partai yang mengakar kuat di wilayah ini. 

Sedangkan kelompok Islam tradisional menyalurkan aspirasinya ke partai berbasis NU. Di wilayah kultural Madura dan Pandalungan, masyarakatnya lebih menunjukkan loyalitas dukungan kepada partai berbasis Islam NU seperti PKB. Begitu pula dengan wilayah kultural Tapal Kuda yang berlatarkan santri. Di dua wilayah ini, ulama dan kiai masih menjadi tokoh panutan yang cenderung akan diikuti warganya. 

Wilayah Arek memiliki latar pemilih rasional serta banyak pemilih muda yang meliputi daerah Surabaya hingga Malang. Arek memiliki dinamikanya sendiri yang mana peran wakil-wakil muda dan kepedulian terhadap isu kritis akan menjadi salah satu penentu.

Untuk diketahui, wilayah Arek adalah penyumbang suara terbesar pada Pemilihan Legislatif DPRD Provinsi Jawa Timur 2024 yaitu sebesar 26,9%. Diikuti Mataraman 24,7%, kemudian Tapal Kuda 23,4%, Madura 13%, dan Pantura 12,4%.

Dalam survei Poltracking Indonesia, Khofifah-Emil tampak unggul di keseluruhan lima wilayah kultural. Penguasaan wilayah paling besar Khofifah-Emil adalah di wilayah Madura (69,7%) dan Tapal Kuda (63,9%). Luluk-Lukman memiliki persentase suara tertinggi di Madura (9,1%) dan Pantura (3,3%). Sedangkan Risma-Gus Hans memiliki persentase suara tertinggi di Arek (33,7%) dan Mataraman (26,4%).

Faktor Emil, kata Nyarwi, dia dapat membantu Khofifah untuk menang di daerah Mataraman dan Arek. Sedangkan Khofifah sendiri memiliki basis kuat di Tapal Kuda, Madura, hingga Pantura. Dengan itu, kemenangan di seluruh wilayah kultural Jawa Timur bisa mereka peroleh.

Dalam silsilah keluarganya, Emil memiliki kedekatan dengan NU dan keluarganya adalah bagian dari birokrat pemerintahan bahkan sejak era Soekarno. Emil juga dikenal sebagai salah satu pemimpin muda. Pada usia 32 tahun, dia berhasil menjadi Bupati Trenggalek, yang merupakan bagian dari wilayah Mataraman, kemudian menjadi Wakil Gubernur pada usia 35 tahun. 

“Kecenderungannya memang kolaborasi pasangan nasionalis dan NU. Di Jawa Timur, merebut suara NU saja masih kurang sempurna, begitu pula suara nasionalis saja juga tidak cukup. Makanya gabungan suara NU dan nasionalis itu baru cukup dan mendekati sempurna untuk menang,” kata Nyarwi Ahmad.

Editor: Aria W. Yudhistira


Button AI Summarize