
Kasus diabetes melitus (DM) di Indonesia terus meningkat. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat peningkatan prevalensi diabetes pada penduduk berusia di atas 15 tahun, dari 10,9% pada 2018 menjadi 11,7% pada 2023.
Menurut tipenya, DM tipe 2 merupakan yang terbanyak dengan persentase 50,2% dari total sampel 14.935 orang. Jenis kedua adalah DM tipe 1 sebesar 16,9%. Terakhir, DM gestasional sebesar 2,6%.
DKI Jakarta menjadi provinsi dengan prevalensi diabetes tertinggi. Kemudian diikuti DI Yogyakarta, Kalimantan Timur, Bangka Belitung, dan Jawa Timur.
Pada 2021, Federasi Diabetes Internasional (IDF) mencatat Indonesia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes melitus tertinggi ke-5 di dunia, yakni 19,5 juta penderita. Pada 2024, Indonesia diperkirakan telah memiliki lebih dari 20 juta penderita diabetes.
Pada November 2024 lalu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengungkapkan jumlah tersebut diperkirakan terus meningkat hingga menjadi 28,6 juta pada 2045 bila tidak segera ditangani.
Salah satu strategi pemerintah untuk menekan prevalensi diabetes adalah dengan penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang rencananya berlaku pada semester-II 2025 nanti. Untuk tahap awal, pemerintah akan menerapkan pungutan 2,5% terhadap produk MBDK. Pungutan itu akan dikerek bertahap hingga maksimal 20% dalam beberapa tahun ke depan.
Kendati begitu, menurut Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Askolani, pemerintah masih akan memantau kondisi ekonomi tahun ini sebelum menerapkan MBDK. “Kami akan melihat perkembangan pada triwulan I dan II 2025,” katanya, 6 Januari 2025 lalu.
Cukai MBDK sudah diterapkan di banyak negara, dan terbukti memberi dampak menurunkan prevalensi diabetes. Peneliti Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Nida Adzilah Auliani menyebut beberapa negara yang berhasil menerapkannya, antara lain Meksiko, Thailand, Filipina, dan Malaysia.
Di antara keempat negara itu, Meksiko merupakan negara paling awal yang menerapkan cukai MDBK, yakni 11 tahun lalu. Tarifnya ditetapkan secara spesifik sebesar 1 peso Meksiko per liter untuk semua jenis minuman berpemanis non-alkohol.
Berkat cukai tersebut, harga minuman berpemanis di Meksiko naik sekitar 10-11%. Dalam tahun yang sama, penjualan MBDK turun di sekitar 6-8%. Sedangkan penjualan minuman yang tidak kena cukai meningkat 4-6%, terutama air putih. Yang menarik, penurunan konsumsi tertingginya ternyata berasal dari rumah tangga dengan status sosial ekonomi rendah, berada di perkotaan, dan rumah tangga dengan anak-anak.
Penurunan tingkat konsumsi di kelompok usia 19 tahun ke bawah pun signifikan. Data menunjukkan ada kecenderungan peningkatan konsumsi MBDK seiring usia bertambah. Namun ada penurunan yang terpola saat cukai diterapkan.
Kelompok usia 15-19 tahun merupakan konsumen tertinggi dibandingkan kelompok usia di bawahnya. Saat cukai 1 peso dikenakan, tingkat konsumsinya turun hingga 111,6 kilokalori (kkal) per hari dari sebelumnya yang sebesar 120,8 kkal. Setiap 1 gram gula mengandung 4 kkal.
Ketika cukainya menjadi 2 peso, konsumsinya kembali turun menjadi 102,4 kkal per hari atau turun sekitar 15% ketimbang saat belum dikenai cukai. Pola yang sama terjadi pada kelompok usia lain.
Menurut pemerintah Meksiko, seperti yang dilaporkan UNICEF, cukai MBDK menghasilkan sekitar US$1,2 miliar sepanjang 2014. Pendapatan itu kemudian digunakan untuk program-program penanganan diabetes dan investasi air keran siap minum di sekolah-sekolah.
Kabar baiknya, beberapa tahun setelah penerapan cukai MBDK, tidak ada perubahan signifikan pada struktur lapangan kerja di Meksiko sana. Baik itu ketenagakerjaan secara keseluruhan maupun di dalam industri minuman.
Sementara itu, Filipina mulai menerapkan cukai MBDK pada 2018. Besarannya 6 peso Filipina per liter untuk minuman yang menggunakan pemanis kalori atau non-kalori, dan 12 peso per liter untuk minuman yang menggunakan sirup jagung fruktosa tinggi atau HFCS.
Ryan Nanda Putra Dipinto & Milla Sepliana Setyowati (2024) mencatat, pajak berlapis menyebabkan kenaikan harga ritel sekitar 13%. Penetapan cukai ini juga tak lepas dari kekhawatiran pemerintah Filipina mengenai kesehatan warganya.
Pada 2013, Kementerian Kesehatan Filipina mengungkapkan, ada sekitar 31,1% atau 17,5 juta dari 56,3 juta orang dewasa yang kelebihan berat badan. Ada pula peningkatan persentase remaja yang kelebihan berat badan hampir dua kali lipat, dari 4,9% (0,9 juta dari 18,5 juta) menjadi 8,3% (1,7 juta dari 20,3 juta).
Dampak cukai MBDK ternyata cukup signifikan di negara berjuluk Mutiara Laut dari Orien itu. Riset Saxena dkk (2019) mendapati Filipina berhasil mencegah 5.913 kematian akibat diabetes, kemudian 10.339 kematian akibat jantung iskemik, dan 7.950 kematian akibat stroke. Selain itu, cukai ini menghasilkan penghematan biaya kesehatan dan bahkan tambahan pendapatan tahunan negara.
Adapun CISDI, dalam risetnya yang dirilis pada Maret 2024 lalu, mendorong pemerintah Indonesia menerapkan cukai MBDK langsung 20%. Menurut perhitungan mereka, peningkatan cukai minuman berpemanis 20% mampu menurunkan angka penderita sekaligus kematian akibat DM tipe 2 (DMT2) secara signifikan hingga 10 tahun ke depan di negara ini.
CISDI, yang memang merupakan organisasi nonprofit yang fokus di bidang kesehatan, menganalisis regresi atas jenis kelamin, usia, dan konsumsi minuman berpemanis per hari setelah cukai terhadap berat badan individu. Mereka menghitung perubahan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan membagi berat badan setelah cukai dengan tinggi badan yang dikuadratkan.
Hasilnya, ada penurunan asupan gula harian sebesar 5,4 gram (21,6 kkal) untuk pria dan 4,09 gram (16,36 kkal) untuk wanita secara rata-rata. Kemudian rata-rata berat badan juga akan menurun sebesar 0,15 kg untuk pria dan 0,11 kg untuk wanita. Penurunan tersebut akan menyebabkan penurunan IMT rata-rata sebesar 0,06 kg/m2 untuk pria dan 0,05 kg/m2 untuk wanita.
Data di atas menunjukkan jumlah kasus baru DMT2 sepanjang 2024-2033 diperkirakan akan terus meningkat setiap tahun tanpa penerapan cukai. Sedangkan jumlah kasus baru DMT2 diproyeksikan turun setiap tahun apabila cukai 20% diterapkan sejak 2024 (garis biru).
Jumlah total kasus baru DMT2 hingga 2033 akan mencapai 8,94 juta kasus secara kumulatif apabila cukai tidak diberlakukan. Namun, jumlah kasus baru DMT2 diproyeksikan turun menjadi 5,85 juta kasus atau minus 34,6% pada 2033 jika cukai diberlakukan. Tak cuma prevalensinya, CISDI juga menghitung potensi penambahan atau pengurangan kematiannya.
Menurut Nida, peneliti CISDI, kenaikan cukai MDBK 20% akan memberi dampak langsung ketimbang 2,5%. Jika membandingkan dengan Meksiko saja, rencana tarif cukai MBDK di Indonesia sangatlah kecil. “Jika lebih tinggi maka benefitnya makin banyak,” ujar peneliti yang menempuh master bidang kesehatan dan gizi di Universitas Wageningen, Belanda, ini kepada Katadata.co.id, Jumat, 3 Januari lalu.
Gaya Hidup Tinggi Gula
Em Yunir, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di bidang endokrin, metabolik, dan diabetes, menjelaskan meningkatnya prevalensi diabetes di Indonesia tak bisa dilepaskan dari gaya hidup yang sarat konsumsi gula berlebih. “Makanan kaya gula bisa dibeli dengan mudah, bahkan lebih dari satu kali sehari,” ujarnya kepada Katadata.co.id, 9 Januari lalu.
Adapun survei CISDI pada 2023 mendapati tingginya tingkat keterjangkauan produk MBDK dari jarak tempat tinggal. Sebanyak 64% responden di survei tersebut mengaku tinggal di tempat yang berjarak kurang dari 500 meter dari toko yang menjual produk MBDK.
Di sisi lain, dalam survei yang sama, 54% responden menganggap harga produk MBDK terjangkau. Bahkan ada sebanyak 43% yang menganggap produk MBDK sangat terjangkau. Dengan kata lain, 97% responden dapat mengonsumsi produk MBDK tanpa merasa terbebani secara finansial.
Yunir menambahkan minuman dan makanan manis menjadi bagian dari pola konsumsi harian masyarakat kontemporer. Kebiasaan ini, apalagi dimulai sejak kecil, menurut dia, menciptakan preferensi rasa yang membuat makanan tanpa gula terasa kurang nikmat.
Celakanya, diabetes ternyata seringkali dipengaruhi komponen genetik. “Kalau ada faktor keluarga yang diabetes, risiko itu meningkat. Namun, genetik hanyalah bakat,” jelas Yunir.
Jika “bakat” tersebut juga disokong oleh konsumsi gula yang jor-joran, apa pun jenis gulanya, diabetes akan menjadi keniscayaan. Pankreas yang memproduksi insulin demi mengatur kadar gula darah akan kewalahan. Dengan kemampuan pankreas menurun, kadar gula darah akan meningkat hingga mencapai level diabetes.
“Kalau sudah diabetes, maka kerusakan dalam tubuh akan terus jalan,” kata dokter yang bertugas di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo itu.
“Kelebihan gula darah yang di atas normal akan memperburuk fungsi organ mata, ginjal, jantung, dan sebagainya. Itu glucose toxicity alias keracunan gula, dan lipotoxicity atau keracunan lemak. Kerusakannya akan semakin berat.”
Yunir sendiri lebih percaya pentingnya edukasi ketimbang penerapan cukai. “Cukai hanya menaikkan harga, tapi tidak mengurangi kandungan gula. Orang yang sudah kecanduan rasa manis tetap akan membeli meski harga naik,” ujarnya.
Ia pun mengusulkan agar pemerintah membuat kebijakan yang membatasi kadar gula dalam minuman tertentu. “Kebiasaan untuk tidak konsumsi gula berlebih harus dibangun sejak kecil,” pungkasnya.
Penerapan cukai MBDK sebelumnya disepakati oleh Badan Akuntabilitas Keuangan Negara DPR saat menggelar rapat kerja bersama Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN, 10 September 2024.
Presiden Prabowo Subianto pun menargetkan penerimaan negara yang cukup tinggi dari cukai MBDK tahun ini. Target ini tercantum di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 201 Tahun 2024 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025, yakni Rp 3,8 triliun.
Penerapan cukai MBDK sebenarnya telah direncanakan di dalam perpres-perpres sebelumnya. Cukai MBDK dibidik Rp4,38 triliun pada 2024; Rp3,08 triliun pada 2023; dan Rp1,5 triliun pada 2022. Namun, pelaksanaannya terus-terusan tertunda.
Editor: Aria W. Yudhistira