Advertisement
Analisis | 100 Hari Prabowo-Gibran: Banyak Jurus Demi Makan Bergizi Gratis - Analisis Data Katadata
ANALISIS

100 Hari Prabowo-Gibran: Banyak Jurus Demi Makan Bergizi Gratis

Foto: Katadata/ Bintan Insani
Program-program unggulan Prabowo-Gibran mulai bergulir. Realisasi Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak klop dengan sebaran prevalensi stunting. Dapur umum masih terkonsentrasi di Jawa. Presiden menerbitkan Inpres demi menambah anggaran MBG.
Muhammad Almer Sidqi
3 Februari 2025, 07.55
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Presiden Prabowo Subianto barangkali bisa tersenyum lebar. Hasil sigi yang dilakukan Litbang Kompas menunjukkan, sebesar 80,9% masyarakat mengaku puas dengan kinerja Kabinet Merah Putih di 100 hari masa pemerintahannya. Capaian ini lebih tinggi dari kinerja 100 hari pendahulunya, Joko Widodo, yang hanya 65,1% masyarakat mengaku puas.

Jika dilihat dari kelas ekonominya, mayoritas masyarakat yang mengaku puas dengan kinerja Prabowo berasal dari kelompok bawah. Tercatat sebesar 84,7% penduduk dari kelompok ini yang puas. Namun, ketidakpuasan masyarakat semakin tinggi pada kelompok ekonomi yang lebih baik. 

Menyikapi 100 hari pertamanya tersebut, Prabowo pun berjanji akan menggenjot kinerja kabinetnya agar kian kebut. “Ini baru tiga bulan. Sabar sedikit. Mungkin bulan kelima atau keenam saudara akan merasakan. Kita sekarang lari, kita akan cepat, kita akan bergerak dengan secepat-cepatnya,” ujarnya saat Munas Konsolidasi Persatuan Kadin Indonesia, di Ritz-Carlton, Jakarta, Kamis, 16 Januari 2025.

Program-program unggulan “Asta Cita” yang dijanjikan Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka pun mulai digulirkan. Pada 6 Januari 2025, pemerintah memulai program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini menargetkan lebih dari 80 juta penerima manfaat untuk pemenuhan gizi ibu dan anak. 

Tingginya prevalensi stunting atau tengkes di Indonesia menjadi landasan utamanya. Tengkes merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak-anak. Salah satunya akibat kekurangan asupan gizi dalam jangka waktu panjang. 

Menurut laporan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) dari Kementerian Kesehatan, prevalensi tengkes pada balita Indonesia mencapai 21,5% pada 2023, hanya turun tipis dibanding 2022 yang sebesar 21,6%. 

Jenis tengkes pun beragam. Misalnya, berat badan yang tidak naik, tubuh yang pendek, kurang gizi, kurang energi kronis, hingga anemia. Data SKI menunjukkan prevalensi tengkes tertinggi lebih banyak terjadi di luar Pulau Jawa, terutama Indonesia bagian timur. 

Pada kasus stunting balita, misalnya, Papua Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua Pegunungan, Papua Barat Daya, dan Sulawesi Barat menjadi provinsi lima tertinggi. Adapun Papua Tengah dan Papua Pegunungan memiliki tengkes balita dengan tingkat parah (severely) tertinggi masing-masing sebesar 20,7% dan 20,2%.

Proporsi yang kurang-lebih sama terlihat pada kategori tengkes di rentang usia 5-12 tahun. Papua Tengah masih menjadi yang tertinggi, juga dengan tengkes parah yang mencapai 21,7%. Lalu diikuti NTT, Sulawesi Barat, Papua Barat, dan Papua Barat Daya. 

Di dalam Asta Cita, pemerintah menyebut tengkes adalah masalah konkret dan mendesak yang harus segera ditangani secara langsung dan massal. Tujuannya, memperbaiki kualitas sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.

Namun, alih-alih mengutamakan daerah-daerah dengan prevalensi tengkes yang tinggi, realisasi program MBG tahap awal justru lebih banyak dilaksanakan di Jawa. Hal itu tercermin dari data sebaran Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur umum tempat produksi makanan bergizi yang dirilis Badan Gizi Nasional (BGN) pada 6 Januari 2025. 

Dari total 190 titik SPPG di 26 provinsi, 140 titik atau setara 73% berada di Pulau Jawa. Sebaliknya, SPPG di Kepulauan Maluku, Papua, dan Bali-NTT adalah yang paling sedikit masing-masing berjumlah empat, tiga, dan dua SPPG. Padahal, ketiga kepulauan itulah yang justru mengalami prevalensi tengkes tertinggi ketimbang wilayah lainnya. Hingga laporan ini ditulis, BGN belum merilis data sebaran SPPG terbarunya. 

Program MBG juga baru menyentuh 650 ribu penerima manfaat, atau hanya sekitar 0,7% dari target yang dipatok Presiden. Kepala BGN Dadan Hindayana mengatakan, penerima manfaat ini akan dikerek bertahap. Sepanjang kuartal-I, baru menyasar tiga juta penerima manfaat MBG. Setelah Agustus, jumlah penerima manfaatnya diproyeksi mencapai sekitar 15 - 17,5 juta orang. 

Namun, proyeksi yang dirancang BGN tetap masih jauh di bawah target yang ditetapkan Presiden. Dalam rentang yang sama, Presiden membidik 89,2 juta orang penerima manfaat. Keterbatasan anggaran menjadi salah satu tantangannya. 

Sejak awal dirancang pada 2006, anggaran MBG diproyeksikan mencapai Rp450 triliun per tahun. Hal itu didasari estimasi kebutuhan gizi untuk anak-anak di Indonesia, terutama untuk mengatasi tingginya angka tengkes yang saat itu mencapai 30%.

Karena itulah pemerintah berencana memberi anggaran tambahan untuk program ini. Pada 23 Januari 2025, Presiden Prabowo menerbitkan Instruksi Presiden tentang efisiensi belanja dalam pelaksanaan APBN dan APBD tahun anggaran 2025. Penghematannya ditarget Rp306,69 triliun. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani pun menjelaskan, ada 16 pos anggaran belanja kementerian/lembaga yang dipangkas. Dari pemangkasan tersebut, pemerintah dapat menghemat Rp256,1 triliun. Kemudian, ada Rp50,6 triliun yang dihemat dari dana transfer ke daerah. 

Dari hasil penghematan tersebut, pemerintah mengalokasikannya ke sejumlah program prioritas. Alokasi terbesar diberikan untuk program MBG yang dinaikkan dari Rp71 triliun ke Rp171 triliun dengan target 82,9 juta penerima manfaat. 

Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Muhammad Saleh mengatakan program makan bergizi gratis tidak memiliki pedoman yang jelas. Hal ini, kata dia, menjadi pangkal munculnya wacana berbagi anggaran dengan pemerintah daerah untuk mendanai program tersebut. “Ini memperlihatkan bahwa MBG secara hukum memiliki masalah,” kata dia pada 21 Januari 2025.

Selain itu, pemerintah juga bergelut dengan berbagai tantangan dalam mengeksekusi program MBG. Dari berbagai sumber, kami mencatat sejumlah persoalan seperti keracunan puluhan siswa yang terjadi di Sukoharjo, Jawa Tengah, setelah menyantap makanan gratis; banyak anak yang tak suka dengan rasa makanannya; hingga temuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang mendapati sayur basi di paket makanan MBG. BPOM tak merinci temuan mereka. 

Selain masalah biaya dan selera masyarakat yang menilai rasa makanan, program MBG masih menggelayut kontroversi. Ini setelah Kepala BGN Dadan Hindayana yang melontarkan wacana menu serangga sebagai salah satu cara memenuhi kebutuhan gizi dalam sajian MBG. 

“Sebagian masyarakat Gunung Kidul biasa mengkonsumsi belalang. Masyarakat Papua biasa makan ulat sagu,” kata Dadan, Sabtu, 25 Januari.

==========

Artikel ini merupakan bagian dari edisi khusus 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran yang memotret perkembangan program-program kunci dan unggulan pemerintah. Liputan disajikan dalam format analisis data, yang memotret dan menakar perkembangan program tersebut berdasarkan riset dan data.

Editor: Aria W. Yudhistira