Delapan hari menjelang 100 hari masa pemerintahannya, Presiden Prabowo meresmikan 37 proyek ketenagalistrikan di 18 provinsi. Proyek senilai Rp72 triliun tersebut terdiri dari 26 pembangkit listrik serta 11 transmisi dan gardu induk. Total kapasitas listrik yang dihasilkan mencapai 3,2 gigawatt (GW), yang diklaim Prabowo sebagai yang terbesar di dunia.
Peresmian ini sekaligus menjadi salah satu jembatan Prabowo untuk membawa Indonesia swasembada energi, wacana yang ia jual selama kampanye Pemilihan Presiden 2024. Dia mengaku khawatir dengan ketegangan geopolitik yang dapat mengancam pasokan energi kapan saja. Sebab, pasokan minyak dan gas (migas) Indonesia masih disokong oleh impor, terutama dari negara-negara di Timur Tengah.
Presiden pun menyatakan Indonesia perlu mengurangi bahkan melepaskan diri dari ketergantungan impor tersebut. “Kalau terjadi hal yang tidak kita inginkan, sulit kita dapat sumber energi dari negara lain. Pemerintah yang saya pimpin nanti akan fokus untuk mencapai swasembada energi,” ujarnya pada 20 Oktober 2024.
Ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil memang masih tinggi, dan cenderung meningkat sejak 2018. Di sisi lain, dalam rentang yang sama, produksi minyak Indonesia justru terus mengalami penurunan. Kebutuhan minyak ini pada akhirnya harus disokong impor.
Indonesia mencatatkan kenaikan impor minyak selama beberapa tahun terakhir dengan puncaknya 132,4 juta barel pada 2023. Sedangkan sejak 2019 produksi minyak turun dari 281,8 juta barel menjadi 221,1 juta barel. Adapun konsumsi BBM di Indonesia mencapai 505,6 juta barel pada 2023. Salah satu penyebab rendahnya produksi minyak mentah adalah karena realisasi lifting minyak bumi yang terus mengalami penurunan dan selalu di bawah target tahunan.
Lewat Asta Cita, Prabowo berjanji bakal mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil tersebut dengan mendorong energi baru terbarukan (EBT) yang potensinya mencapai 437 GW di Indonesia. Mulai dari energi bahan baku kelapa sawit (biodiesel dan bioavtur); bioetanol dari komoditas seperti singkong dan tebu; hingga sumber energi hijau alternatif terutama energi air, angin, matahari, dan panas bumi. Prabowo ingin menjadikan Indonesia “raja energi hijau” dunia.
Jika melihat skenario The Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) for Indonesia's Just Energy Transition Partnership (JETP) yang menargetkan emisi net zero sektor ketenagalistrikan pada 2050. Dalam waktu lima tahun hingga 2030, setidaknya kapasitas listrik yang bersumber dari EBT yang perlu disuplai mencapai 62,4 GW.
Dalam jangka pendek, pada 2025, bauran bahan bakar nabati dalam BBM akan ditingkatkan, dari B35 (campuran 35% biodiesel dan 65% BBM jenis solar) menjadi B40. Pada 2026, baurannya ditargetkan mencapai B50. “Kalau B50 sudah kita adakan, kita tidak lagi impor solar. Produksi dalam negeri cukup dengan konversi B50,” kata Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada 2 Desember 2024.
Produksi biodiesel Indonesia memang terus meningkat meski masih di bawah target realisasi tahunan. Produksi tahun ini bakal dikerek hingga bakal 15,62 juta kiloliter (kl), naik dari 2024 yang mencapai 13,93 kl. Proporsi konsumsi biodiesel Indonesia dibandingkan dengan sumber energi lainnya juga meningkat dari 15% per 2018 menjadi 18,7% per 2023.
Dari 26 pembangkit listrik yang sudah diresmikan Prabowo, 89% pembangkit diklaim menggunakan energi bersih. Proyek-proyek yang berhasil terbangun ini bakal menambah kapasitas pembangkit listrik Indonesia yang bersumberkan EBT.
Sebelumnya, menurut data Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, per November 2024, kapasitas pembangkit listrik EBT baru mencapai 14,1 GW. Realisasi bauran EBT pada 2024 juga masih 14%, hanya naik 0,9% dari 2023. Realisasi selama ini tidak pernah mencapai target tahunan yang diberikan. Bahkan, masih jauh dari target pemerintah 23% pada 2025.
Meski potensinya besar, transisi menuju EBT membutuhkan investasi yang besar pula. Masalahnya, pendanaan proyek-proyek transisi energi Indonesia berpotensi terhambat belakangan. Ini buntut dari kebijakan presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menarik AS dari Perjanjian Paris, sebuah kesepakatan internasional untuk mengatasi perubahan iklim.
Berbagai pendanaan proyek energi bersih dari AS, dengan kata lain, terancam batal. Padahal proyek transisi seperti JETP yang membutuhkan US$96,1 miliar hingga 2030 salah satunya bergantung dari pendanaan AS. Menurut dokumen JETP tahun 2023, komitmen pembiayaan AS mencapai US$2,1 miliar, salah satunya untuk mendukung program pensiun dini PLTU batu bara Indonesia.
Selain itu, investasi sektor EBT Indonesia juga menurun dari US$1,7 miliar pada 2019, menjadi US$1,5 miliar (Rp24,2 triliun) pada 2023. Begitu pula penurunan investasi di sektor energi listrik. Di sisi lain, investasi sektor migas dan minerba justru terus meningkat dan masih mendominasi.
Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), untuk mencapai target bauran EBT 23% yang ditarget Presiden Prabowo pada 2025 saja, Indonesia idealnya membutuhkan rata-rata investasi senilai US$8 miliar atau setara Rp129 triliun di sektor tersebut per tahunnya. Adapun menurut data terakhir tahun 2023, realisasi bauran EBT masih di sekitar 13,1%.
Di sisi lain, kapasitas produksi biodiesel Indonesia masih kurang dari yang dibutuhkan. Kebutuhan produksi biodiesel untuk penerapan B50 bakal mencapai 19,7 juta kiloliter. Sedangkan saat ini kapasitas produksi Indonesia masih di kisaran 15,8 juta kiloliter.
“Masih ada shortage sekitar 3,9 juta kiloliter. Untuk itu, perlu dibangun lagi sekitar tujuh sampai sembilan pabrik, atau nanti meningkatkan kapasitas dari pabrik-pabrik yang ada,” kata Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Edi Wibowo.
Selain kekurangan kapasitas produksi, produktivitas lahan sawit Indonesia juga dinilai masih rendah. Kementerian Pertanian menyebut, setidaknya untuk mencapai target B50, produktivitas sawit per hektare yang sebelumnya 3 ton per hektare juga perlu ditingkatkan menjadi 5 sampai 6 ton per hektare, plus dengan perluasan lahan sawit hingga 2,5 - 3 kali lipat.
Sebelumnya, Prabowo juga berencana membuka 20 juta hektare hutan untuk dijadikan alih fungsi lahan sumber cadangan pangan dan energi. Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), pembukaan lahan ini bakal berdampak pada bencana ekologis akibat deforestasi.
Adapun Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arief Satria menyebut rencana pembukaan lahan ini dapat meningkatkan krisis lingkungan hidup. Pada 2023 saja, luas lahan perkebunan sawit mencapai 15,9 juta hektare dengan produksi CPO mencapai 47 juta ton. Luas itu sudah melebihi luas Pulau Jawa.
Larangan Impor Komoditas Pangan
Sama halnya dengan energi, Prabowo membidik kemandirian pangan agar Indonesia tidak bergantung dengan negara lain. Prabowo ambisius swasembada pangan bahkan dapat tercapai lebih cepat, yaitu hanya dalam kurun waktu dua tahun.
“Saya dapat laporan dari menteri-menteri di bidang pangan bahwa sebelum tahun kedua, kami sudah swasembada pangan. Kita tidak akan impor pangan lagi,” kata Prabowo, Senin, 20 Januari 2025.
Demi mengejar target ini, APBN 2025 pun diprioritaskan salah satunya ke program-program ketahanan pangan. Anggarannya terus naik. Dari rencana awal Rp139,4 triliun, kemudian menjadi Rp159 triliun pada 2025, menurut Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan.
Di dalam Asta Cita, pemerintah berencana meningkatkan produktivitas pertanian melalui berbagai program intensifikasi dan ekstensifikasi lahan. Pemerintah juga menargetkan minimal tambahan 4 juta hektare pembukaan lahan untuk produksi pangan, dengan target swasembada total pada 2029.
Di Merauke, Papua Selatan, pemerintah sedang mencetak 1 juta hektare sawah. Di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, pemerintah juga sedang menyiapkan masing-masing 500 ribu hektare lahan pertanian. Sejak 2020, sedikitnya sudah ada delapan proyek food estate dari Sumatra hingga Papua yang terus dikembangkan.
Pada 2025, pemerintah pun membidik target jangka pendek dengan melarang impor empat komoditas: beras, jagung, gula, dan garam. Presiden Prabowo yakin produksi nasional atas keempat komoditas tersebut sudah cukup memenuhi kebutuhan domestik tahun ini.
Zulkifli mengatakan, target produksi beras pada 2025 bisa mencapai 32 juta ton. Sedangkan kebutuhan dalam negeri hanya 31 juta ton. Ada surplus 1 juta ton.
Pemerintah juga menargetkan produksi gula dalam negeri sebesar 2,6 juta ton. Produksi gula konsumsi ini juga akan digenjot dengan melakukan pengembangan bibit baru, manajemen perkebunan, hingga menjalin kerja sama dengan pelaku UKM.
Untuk garam konsumsi, lanjut Zulkifli, pemerintah menargetkan produksi 2,25 juta ton demi mencukupi kebutuhan dalam negeri yang sebesar 1,76 juta ton pada 2025. Adapun produksi jagung untuk pakan ternak ditarget mencapai 16,68 juta ton dengan kebutuhan jagung dalam negeri ditaksir sekitar dari 13 juta ton. “Berarti bisa ekspor kita,” katanya.
Masalahnya, data United States Department of Agriculture (USDA) per Desember 2024 menunjukkan neraca beras Indonesia masih defisit, meski tercatat memiliki cadangan dalam jumlah yang besar. Sejak 2010, Indonesia pun selalu mengalami defisit beras.
Jika menghitung laju pertumbuhannya, produksi beras 2024 anjlok -1,4% dari 2020. Sedangkan konsumsinya justru tumbuh 3,4% dalam lima tahun terakhir. Faktor pertumbuhan konsumsi yang lebih cepat dari produksinya ini membuat kedua aktivitas ini terus berjarak.
Hal serupa juga terjadi pada komoditas jagung. Selama 14 tahun terakhir, neraca jagung Indonesia konsisten defisit. Bahkan produksinya terus turun selama dua tahun terakhir. Sebaliknya, pertumbuhan konsumsi jagung naik 7,5% dalam lima tahun terakhir, lebih besar dari kenaikan produksinya yang hanya 1,59%.
Rencana penyetopan impor untuk komoditas gula sebenarnya bisa lebih berisiko lagi. Dari catatan USDA produksi gula Indonesia hanya berada di angka 2 juta ton pada 2024. Sedangkan konsumsinya mencapai angka 7,6 juta ton. Defisitnya lebih besar ketimbang beras dan jagung.
Selama lima tahun terakhir, produksi gula Indonesia turun 6,1% sementara konsumsinya naik 2,1%. Ini membuat produksi dan konsumsi gula memiliki besaran yang sangat berjarak dan membuat defisitnya tumbuh 5,4%.
Adapun Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat ada peningkatan produksi garam hingga 2,56 juta ton pada 2023. Namun, angka tersebut baru setengah dari kebutuhan garam Indonesia yang sebesar 4,9 juta ton pada 2023. Dalam tiga tahun terakhir, kebutuhan garam nasional juga selalu berada di atas 4 juta ton.
Langkah pemerintah menyetop impor pangan juga dibayangi El Nino yang mungkin kembali terjadi tahun ini. Salah satu dampak utama El Nino adalah kekeringan ekstrem. Peningkatan suhu yang tinggi dan kurangnya curah hujan dapat mengurangi ketersediaan air untuk irigasi lahan.
Pada 2023, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kementerian Pertanian memprediksi penurunan produksi padi dengan mengacu pada kejadian El Nino pada 2022. Produksi padi diperkirakan turun hingga mencapai 1,12 juta ton. Hal yang sama juga terjadi pada jagung. Artinya, jika El Nino punya kemampuan menurunkan produksi pangan hingga sekitar 1 juta ton, surplus yang disebut-sebut Zulkifli tak bakal berarti apa-apa.
Selain itu, pemberhentian impor seharusnya juga dihitung dengan mempertimbangkan peningkatan volume konsumsi pangan sebagai dampak implementasi program MBG.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mewanti-wanti pemerintah dalam mengambil langkah pelarangan impor ini. Jika tidak hati-hati, menurut dia, larangan itu justru bisa mengerek harga pangan di dalam negeri kalau-kalau terjadi suplai yang tidak mencukupi dan tidak sebanding dengan tingkat permintaannya.
==========
Artikel ini merupakan bagian dari edisi khusus 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran yang memotret perkembangan program-program kunci dan unggulan pemerintah. Liputan disajikan dalam format analisis data, yang memotret dan menakar perkembangan program tersebut berdasarkan riset dan data.
Editor: Muhammad Almer Sidqi
