
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menggelorakan perang dagang dengan menaikkan tarif bea masuk terhadap mitra dagang utama AS, yakni Cina, Kanada, dan Meksiko. AS telah menerapkan tarif sebesar 10% terhadap barang-barang dari Cina. Bahkan berencana mengganjar tambahan khusus 10% untuk negara itu. Gedung Putih juga memberlakukan tarif impor 25% kepada Kanada dan Meksiko mulai 4 Maret 2025.
Ketiga negara tersebut merupakan tiga mitra dagang terbesar AS. Cina berada di posisi pertama dengan nilai impor yang selalu di atas US$400 miliar per tahun, diikuti oleh Meksiko dan Kanada. Jerman dan Jepang termasuk ke dalam lima besar.
Menurut Trump, AS selama ini diperlakukan tidak adil oleh para mitra dagangnya. Dia juga memandang pekerja dan industri AS telah menjadi korban praktik perdagangan yang merugikan itu.
Alih-alih menyebutnya sebagai perang dagang, Trump menyebut langkah ini sebagai kebijakan tarif resiprokal atau timbal balik. “Anda akan sering mendengar kata itu. Jika mereka menagih kita, kita menagih mereka,” ujarnya pada 13 Februari lalu.
Jika menilik neracanya, AS terus-terusan mengalami defisit dengan ketiga mitra dagang terbesarnya. Defisitnya bahkan cenderung meningkat dengan Meksiko dan Kanada. Dengan Cina, meski lebih stabil, AS selalu mengalami defisit hingga melebihi US$300 miliar per tahun.
Neraca perdagangan AS dengan Cina menunjukkan ketidakseimbangan yang signifikan. Hal ini, dengan kata lain, menunjukkan ketergantungan AS pada barang-barang impor asal Cina yang terkenal punya harga miring.
Tak hanya ketiga negara, Trump juga mengumumkan akan mengenakan bea masuk impor 25% untuk berbagai produk dari Uni Eropa. Defisit perdagangan AS dengan blok tersebut mencapai US$235,6 miliar tahun lalu. “Mari kita jujur, Uni Eropa dibentuk untuk merugikan Amerika Serikat,” katanya pada 27 Februari.
Berebut Relokasi Pabrik Cina
Perang dagang AS-Cina jilid II ini ditaksir akan kembali berdampak pada rantai pasok global. Pada September 2018, saat perang dagang AS-Cina jilid I baru meletus, Reuters melaporkan banyak perusahaan Asia yang memiliki basis produksi di Cina mulai memindahkan produksinya ke negara-negara lain. Ini dilakukan demi menghindari tarif bea masuk impor AS.
Perusahaan-perusahaan seperti SK Hynix dari Korea Selatan, serta Mitsubishi Electric, Toshiba Machine Co., dan Komatsu dari Jepang bahkan mulai memindahkan produksinya sejak Juli 2018, ketika kebijakan tarif itu pertama kali dinaikkan.
Fenomena relokasi berpotensi kembali terjadi jika perang dagang jilid II antara AS dan Cina memanas dan meluas. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto “mengharapkan” Indonesia memperoleh relokasi pabrik, terutama dari Cina. Dia bahkan mengaku sudah bersiap-siap. “Saat ini ada 22 kawasan ekonomi yang siap untuk investasi,” ujarnya pada 18 Februari lalu.
Jika berkaca pada perang dagang sebelumnya, ada pergeseran yang signifikan di bidang ekonomi dan investasi global, termasuk pemindahan basis produksi seperti yang disebut-sebut Airlangga.
Selama Juli 2018 hingga September 2019, misalnya, Katadata mencatat ada 33 perusahaan yang terimbas perang dagang. Perusahaan-perusahaan itu memutuskan keluar dari Cina dan merelokasi basis produksinya ke banyak negara. Asia Tenggara menjadi kawasan yang paling banyak menerima limpahan relokasi ini.
Masalahnya, sepanjang waktu itu, tak satu pun perusahaan-perusahaan itu merelokasikan pabriknya ke Indonesia. Vietnam merupakan negara yang mendapat limpahan terbanyak dengan relokasi 23 pabrik, diikuti oleh Thailand dan Malaysia, masing-masing mendapat relokasi tiga dan dua pabrik.
Presiden Indonesia saat itu, Joko Widodo, menyayangkan tidak adanya perusahaan yang melabuhkan pabriknya ke negara ini. “Tidak ada yang ke Indonesia. Tolong ini digarisbawahi. Hati-hati, berarti kita punya persoalan yang harus kita selesaikan,” ujar Jokowi pada 3 September 2019.
Kendati begitu, Indonesia tetap beroleh relokasi pabrik belakangan. Hal ini diklaim oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Roeslani pada 9 Oktober 2024. Dia mengungkapkan ada 53 relokasi pabrik di Indonesia imbas dari perang dagang AS-Cina jilid I. Namun, dia tak merinci nama dan asal 53 perusahaan tersebut.
Jika menilik trennya, memang ada perubahan signifikan dalam investasi langsung asing (Foreign Direct Investment/FDI) Indonesia selama 2018-2020. FDI dari Cina, misalnya, melonjak 16,8% pada 2019. Capaiannya juga meningkat tipis pada 2020. Padahal, dalam rentang yang sama, nilai investasi FDI Indonesia justru mengalami penurunan dari 2018 menuju 2019 dan 2020. Pada 2022, FDI Cina untuk Indonesia mencapai US$8,22 miliar, menempati posisi kedua terbesar setelah Singapura.
Tak hanya itu, data Trademap menunjukkan perubahan proporsi ekspor dari Indonesia dan ASEAN ke AS. Menurut jenisnya, peningkatan ekspor Indonesia ke AS adalah barang rajutan, alas kaki, lemak dan minyak hewan/nabati, mesin/peralatan listrik, serta perabot dan penerangan rumah.
Ini sejalan dengan jurnal The US-China Trade War: Spillover Effects on Indonesia and other Asian Countries yang diterbitkan Universitas Airlangga (Unair) tahun 2021. Jurnal itu menyebut barang-barang elektronika dan tekstil merupakan salah dua komoditas Cina yang paling terdampak impor langsung ke AS.
Adapun menurut riset Natixis Corporate and Investment Banking, pada 2017, dua komoditas seperti alas kaki (56%) dan alat telekomunikasi (59%) AS memang mayoritas disuplai Cina. Karena itulah, demi menghindari tarif, relokasi dilakukan oleh para produsen di Cina.
Data pada 2023 yang dianalisis riset Natixis pun menunjukkan adanya pergeseran pasokan dari Cina ke negara-negara di Asia Tenggara. Misalnya, pasokan alas kaki AS mayoritas berasal dari negara-negara ASEAN (39%). Salah satu penyumbangnya adalah Indonesia.
Kendati begitu, Indonesia juga dibayangi dampak negatif perang dagang di bidang ekspor. Masih menurut jurnal Unair, Indonesia ditaksir kehilangan value-added export (VAE) sepanjang perang dagang jilid I senilai US$300 juta akibat ekspor ke Cina. Di lain sisi, dalam porsi yang lebih sedikit, Indonesia kehilangan VAE US$40 juta dengan jenis ekspor yang sama ke AS.
Penurunan VAE Indonesia ke Cina didominasi oleh ekspor barang setengah jadi. Komoditas-komoditas itu kemudian diolah kembali menjadi barang jadi (final goods) untuk diekspor Cina ke negara-negara lain termasuk AS. Impor barang setengah jadi dari Indonesia dinilai perlu dilakukan oleh para produsen yang memiliki basis produksi di Cina demi menekan biaya produksi sehingga dapat mengurangi dampak tarif impor tinggi AS.
Perlu Reformasi Struktural
Meski punya kans menyerap relokasi, Indonesia masih memiliki persoalan regulasi dan birokrasi yang berbelit. Jika tak segera ditangani, opsi relokasi yang strategis bagi banyak produsen di Cina dalam perang dagang jilid II ini masih tetap Vietnam. Negara ini kerap dibandingkan dengan Indonesia dalam urusan menggaet investasi asing.
“Ada simulasi yang kami lakukan, perhitungannya menguntungkan Indonesia,” kata Chatib Basri, anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), saat memberikan pernyataan pers usai bertemu Presiden Prabowo Subianto pada 6 Februari lalu.
“Tetapi syaratnya adalah kita harus melakukan reformasi struktural. Tanpa itu kita belum bisa mendapatkan manfaat perang dagang.”
Reformasi yang dimaksud Chatib mencakup beberapa hal, seperti penyederhanaan izin, perbaikan iklim investasi, sampai implementasi digitalisasi pemerintahan (Government Technology/GovTech). “Langkah-langkah seperti ini yang kami bahas. Presiden mendukung sepenuhnya,” ujar Chatib.
Dalam laporan Business Ready yang dirilis Bank Dunia, Vietnam masih menjadi negara dengan kemudahan regulasi dan pembiayaan murah saat mendirikan perusahaan baru, baik domestik maupun luar negeri. Sebaliknya, Indonesia punya biaya pendaftaran perusahaan luar negeri termahal ketimbang empat negara ASEAN lainnya yang dilaporkan Bank Dunia.
Selain itu, Vietnam juga dinilai yang paling strategis bagi banyak produsen Cina yang ingin memindahkan basis produksinya. Terutama, karena kedekatan geografis dan tingkat upah yang lebih rendah.
“Konsekuensinya, perpindahan produk industri Cina masih berlanjut ke Vietnam. Efek itu tidak akan langsung ke kita,” kata Tauhid Ahmad, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) kepada Katadata.co.id, 13 Februari lalu.
Setelah Vietnam, menurut Tauhid, Meksiko juga mulai dilirik sebagai destinasi strategis. Meski posisinya jauh dari Cina, memindahkan basis produksi ke negara Amerika Latin itu akan mempermudah penyaluran ke pasar utama mereka, yakni AS.
Karena itu, jika kembali menilik neraca perdagangan Meksiko-AS, Meksiko mengalami surplus yang terus meningkat sejak 2018. AS, di sisi lain, semakin defisit. Pada 2022 dan 2023, nilai impor Meksiko bahkan berhasil melampaui lebih dari US$450 miliar. Dengan penetapan bea masuk impor 25% ke Meksiko, AS hendak “mengganjal” jalur alternatif bagi produk-produk Cina.
Tauhid pun setuju perlunya perubahan regulasi yang signifikan demi menggaet relokasi tersebut. Salah satunya, menurut dia, dengan mengubah aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
“Di Vietnam tidak dipaksa TKDN. Sepanjang kebutuhan mereka apa, misalnya impor bahan baku 100% dari Cina, boleh. Tapi tenaga kerja dari Vietnam,” katanya.
“Yang penting pindah dulu. Dan dalam proses itu ada komitmen untuk alih teknologi dan sebagainya sehingga ada proses belajar.”
Banjir Barang Murah dari Cina
Di tengah ketidakpastian bakal beroleh durian runtuh dari relokasi, Indonesia justru menghadapi kemungkinan serbuan barang murah dari Cina.
Dalam jurnal The Trade Impact of US-China Conflict in Southeast Asia oleh Hayakawa (2022), mayoritas negara di Asia Tenggara mengalami salah satu dari dua kondisi ini: meningkatnya ekspor ke AS atau meningkatnya impor dari Cina.
Imbas perang dagang, Cina terpaksa mencari pasar selain AS untuk mengekspor komoditasnya. ASEAN pun menjadi salah satu wilayah potensial karena kedekatannya dengan daratan Tiongkok.
Selama ini, Indonesia paling banyak mengimpor barang dari Cina, dan negara-negara lain seperti Singapura, AS, dan Malaysia. Pada 2023, impor Cina mencapai 28,36% dari keseluruhan impor Indonesia. Selama masa perang dagang, proporsi impor Cina terus meningkat. Padahal, dalam rentang yang sama, total volume impor ke Indonesia tengah menurun.
AS selama ini menjadi pangsa pasar yang besar bagi Cina untuk beberapa komoditas seperti mesin/pesawat mekanik dan peralatan listrik (HS 85 & 84), perabot rumah dan mainan (HS 94 & 95), barang rajut maupun pakaian jadi bukan rajutan (HS 61 & 62), barang-barang dari plastik (HS 39), kendaraan dan bagian-bagiannya (HS 87), sampai alas kaki (HS 64). Komoditas ini kebanyakan adalah barang jadi (final goods).
Beberapa di antara komoditas itu tercatat melonjak masuk dari Cina ke Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Lonjakan impor yang tinggi terlihat pada komoditas seperti mesin dan elektronik, hingga kendaraan dan onderdilnya.
Selain melihat dari sisi meningkatnya barang impor, dampak dumping ini tampak pada kondisi sektor manufaktur di negara-negara ASEAN. Di Thailand, misalnya, ada lebih dari 2.000 pabrik tutup akibat kalah bersaing dengan produk-produk murah dari Cina.
Di Indonesia, industri tekstil lokal babak belur digempur pakaian dan kain murah, dan mengakibatkan lebih dari 10 ribu pemutusan hubungan kerja (PHK) hanya dalam kurun waktu enam bulan. Tahun lalu, raksasa tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dinyatakan pailit. Puluhan ribu pekerja pun di-PHK mulai 1 Maret 2025.
Selama lima bulan berturut-turut, indeks manufaktur Indonesia sempat berada di zona kontraksi dengan purchasing manager’s index (PMI) berada di bawah 50 poin.
Akibat hal itu, sejumlah negara di ASEAN termasuk Indonesia menerapkan regulasi anti-dumping untuk melindungi industri mereka. Untuk diketahui, Indonesia pada 2024 lalu sedang menggodok aturan untuk menaikkan bea masuk anti-dumping untuk produk-produk yang nilai impornya terpantau tinggi selama tiga tahun terakhir.
“Tendensi impor produk-produk besi dan baja juga menjadi masalah karena besar,” kata Tauhid.
“Dulu mungkin masuknya produk antara, pelat atau gulungan. Sekarang ada produk turunan besi-baja dalam bentuk perkakas rumah tangga dan otomotif. Semuanya murah meriah.”
Editor: Aria W. Yudhistira