Advertisement
Analisis | Perempuan Indonesia dalam Kabut Asap Rokok: Beban Ekonomi dan Kesehatan - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Perempuan Indonesia dalam Kabut Asap Rokok: Beban Ekonomi dan Kesehatan

Foto: Katadata/ Bintan Insani
Perempuan Indonesia menanggung dampak ekonomi dan kesehatan akibat tingginya konsumsi rokok di kalangan laki-laki. Lemahnya implementasi kawasan tanpa rokok memperburuk situasi. Perempuan harus menghadapi risiko kesehatan serius tanpa perlindungan yang memadai.
Muhammad Almer Sidqi
28 Maret 2025, 07.50
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Perempuan kerap terpinggirkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pengambilan keputusan di dalam rumah tangganya. Perihal pengeluaran untuk konsumsi rokok, misalnya. Meski mayoritas perempuan di Indonesia tidak merokok, mereka tetap harus menanggung dampak ekonomi dan kesehatan dari budaya konsumsi yang tidak mereka nikmati.

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2023 menunjukkan, pengeluaran rumah tangga untuk rokok dan tembakau mencapai 12,79% setiap bulan. Jumlah itu lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk padi-padian (11,27%) dan sayur-mayur (8,03%). 

Ironisnya, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 dan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevalensi merokok di kalangan perempuan sangat kecil dan bahkan menurun dari 1,9% pada 2018 menjadi 1,1% pada 2023. Sebaliknya, prevalensi merokok laki-laki tetap tinggi, meskipun mengalami sedikit penurunan dari 55,8% menjadi 52,4% dalam lima tahun terakhir.

Adapun data yang dihimpun World Population Review, sebuah platform yang menyediakan berbagai data demografi, menunjukkan kalau Indonesia adalah negara dengan persentase perokok laki-laki terbanyak di dunia, yakni 74,5%. 

Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC), organisasi yang fokus pada pengendalian zat aditif dan produk tembakau, menilai bahwa perempuan menjadi kelompok paling terbebani oleh konsumsi rokok laki-laki. Tingginya pengeluaran rumah tangga untuk rokok, misalnya, bisa mengurangi hak perempuan untuk hidup layak dan memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan bergizi, pendidikan anak, dan akses kesehatan.

Momentum Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret 2025 lalu menjadi refleksi penting terhadap realitas ini. Ni Made Shellasih, Program Manager IYCTC, menegaskan bahwa perempuan sering kali tidak menyadari besarnya bahaya yang mereka hadapi akibat budaya konsumsi ini.

Tingginya konsumsi rokok tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga menempatkan perempuan dalam risiko kesehatan yang lebih besar akibat paparan asap rokok dan menjadikan mereka sebagai perokok pasif yang konsisten. 

Shellasih mengutip data World Health Organization (WHO) yang mencatat bahwa sekitar 1,2 juta manusia meninggal setiap tahunnya karena menjadi perokok pasif. “Perempuan justru menghadapi risiko kesehatan yang lebih besar akibat rokok,” ujar Shellasih dalam pernyataan tertulisnya yang diterima Katadata.co.id, 10 Maret lalu.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mendefinisikan perokok pasif sebagai orang yang berada di sekitar yang terpapar dan secara tidak sengaja menghirup asap rokok dari perokok aktif.

Partikel-partikel berbahaya di dalam rokok juga dapat bertahan di udara selama beberapa jam atau lebih lama. Bukan hanya asap yang menjadi fokus bahaya, tetapi residu yang menetap pada rambut, pakaian, karpet, ataupun sofa juga memiliki risiko bahaya asap rokok bagi perokok pasif. 

Survei yang dilakukan Kemenkes juga mencatat 70% responden anggota rumah tangga mengaku kerap terpapar asap rokok karena berada di dalam ruangan tertutup bersama perokok. Dari jumlah itu, 30% responden di antaranya bahkan mengaku terpapar asap rokok setiap hari.

Meski ada sedikit perbaikan dalam hal pengurangan paparan asap rokok bagi perokok pasif (ditandai dengan meningkatnya jumlah orang yang tidak pernah terpapar dan menurunnya jumlah yang terpapar setiap hari), proporsi yang masih kadang-kadang terpapar tetap tinggi.

Perempuan menghadapi risiko kesehatan serius yang serupa dengan perokok aktif. Penelitian LS Flor dkk (2023) menyimpulkan bahwa perokok pasif memiliki risiko tinggi terkena penyakit jantung akibat penyempitan pembuluh darah, stroke, kanker paru-paru, dan diabetes tipe 2. Semua penyakit itu merupakan risiko yang lumrahnya juga mengancam para perokok aktif.

Selain itu, dampak negatif juga dirasakan oleh perempuan hamil yang terpapar asap rokok. Studi Leonardi-Bee dkk (2011) menemukan ibu hamil yang terpapar asap rokok memiliki risiko 23% lebih tinggi mengalami kelahiran mati dan 13% lebih mungkin melahirkan anak dengan cacat bawaan.

Adapun penelitian Semba dkk (2006) yang meneliti keluarga miskin di perkotaan Indonesia menemukan bahwa orang tua perokok meningkatkan kemungkinan stunting pada anak mereka.

Regulasi Kawasan Tanpa Rokok Masih Lemah

Pemerintah telah mengatur Kawasan Tanpa Rokok (KTR) melalui Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009. Namun, menurut Kemenkes, belum semua wilayah di Indonesia menerapkan regulasi KTR secara efektif.

Kemenkes melakukan pemeringkatan daerah dengan implementasi KTR terbaik berdasarkan aspek regulasi, pengawasan, penegakan, dan kepatuhannya. Kota Bogor tercatat sebagai daerah dengan kepatuhan KTR terbaik, diikuti oleh Pontianak, Bandung, Depok, dan Kulon Progo.

KTR tidak hanya melarang merokok di area tertentu, tetapi juga mengatur pelarangan iklan, promosi, dan penjualan rokok guna mencegah munculnya perokok baru, terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Namun, survei IYCTC, Yayasan Lentera Anak, dan UNICEF pada 2022 menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang belum memahami fungsi KTR.

Pada akhirnya, menurut IYCTC, konsumsi dan industri rokok memperkuat ketimpangan gender yang masih mengakar di Indonesia. Perempuan, misalnya, sering dijadikan bagian dari strategi pemasaran industri rokok, baik melalui peran sales promotion girl (SPG) maupun lewat iklan yang mengaitkan merokok dengan kebebasan atau pemberdayaan perempuan. 

“Narasi ini menyesatkan, dan menunjukkan perempuan tidak lebih dari sekadar objek bagi industri rokok. Kondisi kerja di lapangan juga bisa menempatkan mereka dalam situasi yang tidak nyaman atau rentan bahkan tak jarang mengalami pelecehan seksual,” ujar Shellasih.

IYCTC pun merekomendasikan agar pemerintah daerah meningkatkan sosialisasi dan edukasi terkait KTR, serta memperkuat regulasi dan implementasinya hingga ke tingkat masyarakat terkecil.

Editor: Aria W. Yudhistira