Advertisement
Analisis | Seberapa Untung Perdagangan Indonesia kalau Berkompromi dengan Trump? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Seberapa Untung Perdagangan Indonesia kalau Berkompromi dengan Trump?

Foto: Katadata/ Bintan Insani
Indonesia tengah menjalani negosiasi perdagangan dengan Amerika Serikat. Delegasi yang dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menawarkan peningkatan impor produk AS. Bagaimana untung-ruginya bagi Indonesia?
Muhammad Almer Sidqi
29 April 2025, 06.15
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Pemerintah masih mematangkan proses negosiasi dagang dengan Amerika Serikat (AS). Upaya ini dilakukan setelah kebijakan pemerintah AS yang menaikkan tarif impor bagi sejumlah negara, termasuk Indonesia. Pada 17 April, delegasi yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto bersepakat dengan Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick untuk menjalani negosiasi yang ditarget rampung 60 hari.

Airlangga membawa tawaran meningkatkan impor AS ke Indonesia. Peningkatan impor itu di antaranya pembelian produk energi AS seperti minyak mentah, gas, dan bensin. Juga peningkatan impor produk pertanian, seperti kedelai, bungkil kedelai, dan gandum.

Selain itu, Airlangga juga menyampaikan komitmen Indonesia di bidang mineral kritis, dukungan investasi, dan penyelesaian permasalahan non-tariff barrier.

Tawaran itu sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto. Pada 8 April lalu, Presiden menyampaikan negara ini sanggup menyerap impor dari AS hingga US$17 miliar, nilai yang nyaris setara dengan surplus dagang Indonesia. “Saya tawarkan mereka pak-pok (impas),” ujarnya.

Pemerintah Indonesia memilih negosiasi untuk menghadapi kebijakan tarif resiprokal sebesar 32% yang ditetapkan AS. Negosiasi dinilai lebih strategis demi menjaga hubungan bilateral dengan AS sebagai salah satu mitra dagang utama ketimbang aksi retaliasi seperti yang dilakukan Cina. 

Selama ini AS mengalami defisit perdagangan secara konsisten setiap tahun terhadap Indonesia. Lewat kebijakan tarif resiprokal, negara yang dipimpin Presiden Donald Trump itu pun hendak menyeimbangkan neraca perdagangan globalnya, termasuk dengan Indonesia.

Menakar Impor AS

Menurut analisis ekonom DBS Radhika Rao, kerentanan Indonesia akibat tarif resiprokal terbilang moderat. Kadarnya masih di bawah Kamboja, Vietnam, atau Thailand. Pasalnya, pangsa ekspor Indonesia terhadap AS cenderung lebih rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya, yakni di bawah 10%, dan tarif resiprokal yang juga cenderung lebih rendah di level 32%.

Dengan pangsa ke AS yang tak seberapa besar, Indonesia bisa dibilang memiliki diversifikasi pasar ekspor yang cukup baik. Ini juga yang secara tidak langsung mengurangi kerentanan tarif AS. Adapun pangsa ekspor AS bagi Kamboja dan Vietnam masing-masing di kisaran 37% dan 27%. Keduanya juga diganjar tarif resiprokal hingga lebih dari 45%. 

Meski demikian, Indonesia tetap perlu menyeimbangkan neraca dagangnya dengan AS. Selain fakta bahwa AS merupakan pangsa ekspor terbesar kedua negara ini, kebijakan tarif dapat berdampak ke surplus nonmigas Indonesia atas AS yang mencapai US$16,84 miliar pada 2024.

Di sisi lain, tarif resiprokal menciptakan ketidakpastian ekonomi global. International Monetary Fund (IMF), dalam laporan World Economic Outlook, memperkirakan pertumbuhan ekonomi global hanya mencapai 2,8% pada tahun ini, atau turun 0,5% dari proyeksi mereka sebelumnya. 

Perlambatan ekonomi pun bisa terjadi pada mitra-mitra dagang Indonesia yang lain, terutama Cina. Karena itu diversifikasi ekspor nonmigas Indonesia ke negara-negara lain belum tentu berjalan mulus. Inilah mengapa meningkatkan impor AS demi menyeimbangkan neraca perdagangan menjadi pilihan. 

Indonesia, seperti yang diungkap Airlangga, memang memiliki peluang untuk meningkatkan impor dari AS, terutama untuk produk migas, pertanian, serta mesin dan perlengkapan elektronik.

Jika melihat keseluruhan impor, sejumlah komoditas yang menjadi kebutuhan utama Indonesia adalah mesin dan perlengkapan elektrik, migas, besi dan baja, barang-barang plastik, hingga produk nabati. Di saat bersamaan, sejumlah komoditas ini juga merupakan komoditas utama ekspor AS. Terutama golongan komoditas migas serta mesin, elektronik, dan peralatan mekanik.

Jika komoditas utama impor itu dibedah berdasarkan negara asalnya, proporsi AS masih minim. Nilai impor komoditas mesin, elektronik, dan peralatan mekaniknya yang masuk golongan kode HS 84 dan 85 hanya US$2,01 miliar pada 2024. Nilainya masih kalah dari Cina, Jepang, bahkan Thailand.

Khusus golongan HS 85 yang di dalamnya termasuk perangkat telepon seluler dan sirkuit elektronik terpadu, pemasoknya masih didominasi Cina, Singapura, Korea Selatan, Jepang, dan Vietnam. Indonesia mempunyai peluang untuk meningkatkan impor perangkat elektronik ini, walaupun menurut analisa Syailendra Capital, pasar masih sangat kompetitif untuk direorientasi.

Selain itu, AS merupakan pemasok migas terbesar di dunia. Nilai ekspornya mencapai US$320 miliar per 2024. Namun, Indonesia lebih bergantung ke negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia sebagai pemasok bahan bakar mineral, minyak, dan gas bumi. Pasokan AS untuk Indonesia hanya US$2,9 miliar atau sekitar 7,2% dari total impor migas Indonesia di tahun yang sama.

Sebagai strategi menyeimbangkan neraca perdagangan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyebut Indonesia berencana menambah impor minyak dan liquefied petroleum gas (LPG) dari AS hingga mencapai US$10 miliar atau setara Rp168,56 triliun. Ini rencananya beriringan dengan akan dikuranginya porsi impor migas dari negara lain.

Peluang Dorong Ekspor

Di sisi lain, Indonesia masih dapat mengambil peluang ekspor di tengah pengenaan tarif resiprokal AS. Salah satunya dengan mendorong ekspor pakaian jadi. 

AS merupakan salah satu importir pakaian jadi terbesar di dunia. Pemasok terbesarnya adalah Cina, Vietnam, Kamboja, dan Bangladesh. Pasokan pakaian rajut (kode HS 61) Indonesia untuk AS sendiri per 2024 mencapai US$2,29 miliar, terbesar ke-6 setelah India. 

Indonesia berpeluang meningkatkan ekspor ini ke AS, sebab pasokan dari negara-negara utama diproyeksi bakal berkurang. “Negara-negara tetangga yang merupakan kompetitor (sejumlah komoditas) seperti Cina, Vietnam, Kamboja dikenai tarif resiprokal lebih tinggi,” tulis ekonom The Indonesia Economic Intelligence, Sunarsip, Kamis, 10 April.

Peluang ini juga disampaikan Menko Airlangga. Menurutnya, komoditas pakaian dan alas kaki berpeluang besar untuk melakukan penetrasi pasar AS.

Namun, menurut Sunarsip, langkah ini perlu dibarengi dengan upaya negosiasi penurunan tarif. Sebab jika tarif Indonesia masih tinggi, AS bakal merelokasi sumber impor maupun investasinya ke negara-negara yang dikenai tarif resiprokal lebih rendah. Dalam konteks pakaian jadi, negara-negara ini termasuk India, Nikaragua, dan Yordania.

Selain komoditas pakaian, analisis Syailendra Capital menyebut Indonesia memiliki potensi untuk semakin mendorong ekspor minyak sawit atau crude palm oil (CPO). CPO merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia. Pasokannya ke AS per 2024 mencapai US$1,9 miliar atau setara 84,9% total pasokan CPO yang masuk ke AS. 

Selama beberapa tahun terakhir, sebagian produksi CPO Indonesia dialihkan ke program biodiesel dalam negeri untuk program swasembada. Tren menunjukkan produksi CPO Indonesia semakin banyak digunakan untuk konsumsi dalam negeri dibandingkan ekspor.

Dengan mendorong ekspor, Syailendra Capital menilai pemerintah dapat mengurangi beban fiskal subsidi biodiesel, dan di saat yang sama, mendorong potensi ekspor CPO yang harganya naik.

Editor: Aria W. Yudhistira