
Amerika Serikat (AS) mengkritik kebijakan standar kode QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional atau GPN yang dibuat Bank Indonesia (BI). Pemerintah AS, melalui laporan tahunan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) yang dirilis 31 Maret 2025, menuding kedua sistem ini merupakan bagian dari layanan keuangan yang menghambat perdagangan AS di Indonesia.
Washington juga menuduh proses perumusan kebijakan QRIS dan GPN tidak transparan dan tidak melibatkan pemangku kepentingan internasional. USTR pun menilai GPN telah membatasi ruang gerak perusahaan AS, terutama bank dan jasa keuangan.
GPN yang dirilis pada 2017 dirancang agar seluruh transaksi nontunai yang terjadi di Indonesia diproses di dalam negeri, meski kartu bank tertancap logo Visa atau Mastercard.
Sebelum ada GPN, transaksi nontunai harus di-routing ke luar negeri. Ini menyebabkan pendapatan transaksi, termasuk datanya, mengalir keluar. Tarifnya dikenai 2-3% untuk setiap transaksi yang menggunakan jaringan asing. GPN, di sisi lain, mematok tarif transaksi berkisar 0-1%.
QRIS berbasis kode QR yang dikembangkan di Jepang pada 1994 oleh salah satu anak perusahaan Toyota Group, Denso Wave. Kode QR, yang dirancang menyimpan lebih banyak informasi ketimbang barcode tradisional, awalnya digunakan untuk melacak suku cadang kendaraan selama proses manufaktur.
Menariknya, Denso Wave tidak mematenkan kode QR sehingga teknologi ini bisa diadopsi secara luas tanpa biaya lisensi. Kode QR pun dikembangkan untuk berbagai tujuan, termasuk diadopsi untuk pembayaran di berbagai negara. Kode QR memang tak cuma ada di Indonesia.
Berdampak Signifikan ke UMKM
Inklusi keuangan dalam negeri kian menguat setelah QRIS diluncurkan pada 2019. Per kuartal-IV 2024, Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) mencatat volume pembayaran QRIS mencapai 779 juta transaksi dengan nominal mencapai Rp82 triliun.
Dari segi pengguna, QRIS mampu menarik hingga 55 juta pengguna dalam rentang yang sama. Sedangkan merchant atau penjual barang/jasa yang menerima pembayaran dari konsumen pengguna QRIS mencapai 36 juta, naik lebih dari dua kali lipat sejak kuartal IV-2021.
Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), indeks inklusi keuangan Indonesia telah mencapai 85,1% pada 2022, naik dibandingkan periode ketika QRIS belum dirilis. Pada 2016, misalnya, indeks inklusi keuangan Indonesia masih berada di level 67,8%.
Inklusi yang dimaksud terutama meningkat di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Untuk diketahui, secara keseluruhan UMKM menyumbang sekitar 61% dari produk domestik bruto (PDB) nasional, dengan kontribusi terbanyak berasal dari sektor usaha mikro.
Di sisi lain, BI menyebut mayoritas pelaku usaha pengguna QRIS adalah kelompok UMKM yang mencapai 90%. “Akselerasi QRIS luar biasa,” kata Filianingsih Hendarta, Deputi Gubernur BI, pada Desember 2024.
Usaha mikro dan kecil (UMK) adalah merchant yang paling mendominasi penggunaan QRIS. Pada 2023, jumlah UMK yang tercatat mencapai sedikitnya 4,5 juta usaha, terbanyak ada di Jawa Timur.
Sejumlah riset membuktikan bahwa sistem keuangan digital berkorelasi positif membantu menaikkan volume transaksi keuangan yang efisien mendorong kenaikan penjualan dan profit UMKM. Termasuk sistem pembayaran menggunakan kode QR.
Di Indramayu, misalnya, penggunaan QRIS oleh UMKM berdampak pada efisiensi transaksi dan kemudahan pencatatan keuangan yang lebih akurat. Di Ambon, kemudahan transaksi menggunakan QRIS berpengaruh positif terhadap pengembangan UMKM.
Adapun di Belitung, UMKM yang merambah ke e-commerce dan menggunakan sistem pembayaran QRIS memungkinkan usahanya merambah penjualan ke luar daerahnya. Studi juga menunjukkan QRIS berpengaruh positif terhadap kenaikan penjualan UMKM.
Selain meningkatkan transaksi UMKM, QRIS juga berpotensi membantu UMKM mendapat akses pembiayaan atau permodalan dari lembaga keuangan formal. “Data transaksi pembayaran dapat digunakan sebagai scoring yang mendorong keyakinan bank atau non-bank untuk menyalurkan kredit,” kata Filianingsih.
Hal ini sejalan dengan riset Beck et al. (2022) yang menyebut usaha mikro di Cina terbantu lewat pembayaran kode QR karena mencatatkan jejak historis transaksi keuangan secara akurat. Pencatatan ini memungkinkan usaha mikro untuk mengakses kredit bank atau permodalan dari perusahaan besar.
Ini tak cuma terjadi di Asia. Di Ghana, Afrika, riset Ledi et al. (2023) menunjukkan bahwa sistem pembayaran kode QR memiliki dampak yang signifikan dalam kinerja UKM di negara itu.
Jika melihat data statistik perbankan OJK, penyaluran kredit perbankan ke UMKM, terutama ke usaha mikro selama empat tahun terakhir, memang mengalami peningkatan sejalan dengan semakin banyaknya merchant pengguna QRIS di Indonesia. Kenaikan penyaluran kredit usaha mikro mencapai Rp669 triliun pada 2024 atau naik 71,6% dibanding tahun 2021.
Mengapa QRIS Diminati?
Cina merupakan yang pertama mengembangkan kode QR untuk pembayaran. Dibandingkan negara Barat yang banyak menggunakan pembayaran berbasis kartu kredit, sistem pembayaran kode QR dinilai lebih sederhana sehingga menjadi solusi inklusif di Negeri Tirai Bambu.
Menurut studi Boston Consulting Group, sistem pembayaran kode QR ini diperkirakan mulai diadopsi di negara-negara Asia Tenggara sekitar 2016 sampai 2017.
“Saat itu, negara-negara di Asia Tenggara membutuhkan sistem pembayaran digital baru yang dapat membantu pertumbuhan ekonomi digital dan menyelesaikan masalah-masalah yang selama ini menjadi penghambat ekosistem keuangan digital,” tulis Boston Consulting Group.
Hambatan-hambatan ini termasuk masih banyaknya masyarakat yang belum memiliki rekening dan adopsi alat pembayaran kartu atau terminal point of sale (POS) yang dinilai mahal oleh pelaku usaha.
Beberapa tahun terakhir, sejumlah wilayah di Asia Tenggara mencatatkan peningkatan kepemilikan smartphone atau ponsel pintar. Hal ini sejalan dengan semakin berkembangnya ekosistem keuangan digital. E-commerce atau lokapasar disebut-sebut sebagai motor penggerak utama ekosistem tersebut.
Laporan Bank Dunia menyebut kode QR sebagai fasilitas pembayaran populer transaksi di lokapasar. Di tatanan luring, pelaku usaha kecil ternyata juga lebih menyukai sistem pembayaran kode QR karena lebih hemat biaya layanan dan tidak memerlukan alat mahal terminal POS.
Pandemi Covid-19 turut mendorong masifnya adopsi pembayaran nontunai karena keharusan jaga jarak. Survei Boston Consulting Group mencatat, warga Asia Tenggara semakin meninggalkan transaksi uang tunai, dan sebaliknya, semakin banyak yang beralih ke transaksi digital.
Baik laporan Bank Dunia maupun Boston Consulting Group menyebut, peningkatan adopsi penggunaan kode QR untuk sistem pembayaran ini lantas memerlukan tindak lanjut dari bank sentral maupun pemerintah negara masing-masing. Muaranya, merilis kode QR yang terstandarisasi dan memungkinkan transaksi pembayaran antarnegara.
QRIS pun bisa menjembatani transaksi pembayaran lintas penyedia jasa pembayaran (PJP). Pada 2024, transaksi PJP berbeda (off-us) mendominasi dengan mencapai 87%, meningkat dibandingkan 2021 yang masih 50%.
Pamor QRIS yang terus meningkatkan mulai menggerus sistem pembayaran lain. Pada 2023, volume transaksi QRIS masih kalah dengan transaksi kartu ATM debit. Namun, pada akhir 2024, volume transaksi QRIS yang mencapai 779 juta telah mengalahkan transaksi dengan kartu ATM debet yang saat itu mencapai 610,7 juta.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Populix pada April 2024, alasan utama masyarakat Indonesia menggunakan QRIS adalah karena sistem pembayarannya yang mudah dan cepat untuk digunakan.
Satu lagi faktor semakin menguatnya sistem pembayaran kode QR di Asia Tenggara adalah karena semakin berkembangnya fintech dompet digital atau e-wallet yang menawarkan berbagai kemudahan transaksi nonbank bagi pengguna.
Survei Populix yang sama juga menyebut bahwa mayoritas sumber uang responden yang menggunakan QRIS berasal dari dompet digital alih-alih bank konvensional, misalnya.
Editor: Aria W. Yudhistira