Indonesia menghadapi tekanan ekonomi yang tak kunjung usai. Sepanjang 2025, berbagai indikator ekonomi Indonesia anjlok. Mulai dari melemahnya rupiah dan IHSG, merosotnya daya beli masyarakat, hingga meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor.
Per 20 Mei 2025, misalnya, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat ada 26.455 orang yang kehilangan pekerjaan. Jumlah ini lebih tinggi ketimbang tahun lalu. Adapun Koalisi Serikat Pekerja-Partai Buruh (KSP-PB) mengklaim sudah ada 70 ribu buruh yang kena PHK hingga April 2025.
Tekanan ekonomi yang terus membebani masyarakat bisa menjadi salah satu faktor melonjaknya guncangan kesehatan mental. Ini sejalan dengan riset Yustika Dewi dkk (2020) yang menyimpulkan bahwa faktor sosial ekonomi berkorelasi negatif terhadap gejala depresi.
Data yang dihimpun Institute for Health Metrics and Evaluation juga menunjukkan adanya peningkatan prevalensi gangguan mental yang signifikan selama pandemi Covid-19 (2020-2021). Saat itu, ekonomi dunia, termasuk Indonesia, bergolak karena resesi.
Meningkatnya masalah psikologis selama pandemi mengindikasikan adanya tekanan mental yang menimpa orang-orang saat itu. Pemicunya, menurut Kementerian Kesehatan, mencakup ketidakpastian ekonomi, isolasi sosial, hingga kehilangan pekerjaan dan anggota keluarga.
Self-Care Lewat Medsos
Survei terbaru Katadata Insight Center (KIC) pun menunjukkan bahwa masalah finansial menjadi masalah yang paling dikhawatirkan yang dapat menekan mental. Semakin rentan kondisi ekonomi seseorang, dengan demikian, semakin besar pula risiko mereka mengalami tekanan psikologis.
Kendati begitu, di tengah tekanan ekonomi tersebut, masyarakat Indonesia mulai mencari cara sendiri untuk menjaga kesehatan mentalnya (self-care)—salah satunya lewat media sosial.
Survei KIC juga menunjukkan media sosial telah menjadi sumber utama responden dalam mencari informasi dan pengingat tentang pentingnya kesehatan mental. Survei itu melibatkan 1.212 responden (928 perempuan, 284 laki-laki). Lebih dari 97% di antara mereka bahkan mengaku sadar dan punya minat untuk mencari tahu berbagai informasi terkait masalah-masalah psikologis.
Media sosial dipilih oleh lebih dari 98% responden laki-laki dan 89% perempuan. Bentuknya tidak hanya mencakup konsumsi informasi, tetapi juga mengikuti akun-akun yang membahas kesehatan mental dan jiwa, berdiskusi dengan komunitas daring, hingga menulis jurnal untuk refleksi diri.
Dalam beberapa tahun terakhir, kreator konten yang fokus membahas isu ini memang bertambah. Mereka juga hadir di berbagai platform. Kanal Analisa Channel di YouTube, misalnya, yang dikelola oleh pemengaruh Analisa Widyaningrum, punya 671 ribu pengikut. Kanal itu lebih sering diisi siniar yang membahas seluk-beluk kesehatan mental. Selain Analisa, ada nama-nama lain seperti Indah Sundari, Andreas Kurniawan, dan Jiemi Ardian.
Survei yang sama juga menunjukkan nyaris seluruh responden (di atas 96%) merasa mampu memverifikasi sumber informasi kesehatan di medsos sebelum mempercayainya. Dengan kata lain, mayoritas responden merasa memiliki literasi yang cukup untuk memilah informasi di ruang digital. Adapun motivasi menjaga kesehatan mental bagi responden beragam. Mulai dari keinginan untuk hidup lebih bahagia, produktif, dan berkualitas, serta menghindari sakit fisik akibat stres.
Masalahnya, kesadaran dan motivasi itu tidak selalu diiringi dengan akses untuk mendapatkan bantuan profesional. Strategi orang Indonesia dalam mengatasi stres didominasi pendekatan mandiri dan nonklinis. Misalnya, survei yang dilakukan Snapcart pada akhir April lalu mendapati 58% dari total 3.600 responden Indonesia menganggap kecerdasan buatan (AI) dapat melakukan konseling dan menjadi pengganti psikolog manusia.
Dari kelompok ini, mayoritas atau 39% responden beralasan pergi ke psikolog profesional mahal. AI, di sisi lain, gratis. Dalam kadar yang lebih sedikit, 27% lainnya bahkan menganggap AI bisa lebih dipercaya ketimbang manusia, bahkan psikolog.
Survei Snapcart juga menunjukkan 40% responden Indonesia percaya dengan AI. Adapun 58% lainnya bersikap netral. Dan hanya 1% yang mengaku tak percaya dengan akal imitasi itu. “Sebagian besar tetap bersikap netral. Ini menunjukkan optimisme yang hati-hati,” kata Boy Irvan, Associate Account Director Snapcart, akhir April lalu.
Stigma Masih Jadi Soal
Survei KIC juga mendapati tingginya kekhawatiran terhadap stigma. Lebih dari 70% responden dari berbagai jenis kelamin mengharapkan lingkungan yang lebih terbuka. Lingkungan tanpa stigma, dengan kata lain, merupakan dukungan yang justru dianggap penting.
Temuan ini menandakan bahwa stigma sosial masih menjadi penghalang besar. Banyak orang enggan mencari bantuan karena takut dihakimi, yang justru memperburuk kondisi mereka.
Menurut Nurul Kusuma Hidayati, peneliti pusat kajian Center for Public Mental Health (CPMH), Universitas Gadjah Mada (UGM), praktik memasung, memilih diam, menyembunyikan, mengucilkan orang dengan gangguan jiwa masih kerap ditemui. Tidak sedikit pula orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) ditinggalkan di jalan, berkeliaran, dan dianggap aib keluarga. “Stigma itu menjauhkan pasien dari penanganan terbaik yang bisa didapatkan,” katanya.
Pada 2022, survei Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) menunjukkan satu dari tiga remaja Indonesia berumur 10-17 tahun mengalami masalah mental. Persentasenya mencapai 34,9%, setara 15,5 juta remaja. I-NAMHS adalah tim gabungan Indonesia, Australia, dan Amerika Serikat yang melakukan survei nasional kesehatan mental remaja di negara ini.
Dari berbagai jenis masalah mental yang disurvei, kecemasan menjadi yang paling dominan, lebih dari 25% dari semua jenis kelamin. Adapun remaja perempuan tampak lebih rentan terhadap depresi dan kecemasan, sementara laki-laki cenderung mengalami masalah perilaku dan gangguan pemusatan perhatian.
Masalah kesehatan mental pada remaja dapat memiliki dampak jangka panjang yang serius. Di antaranya mempengaruhi prestasi akademik, hubungan sosial, dan emosional mereka. Namun, stigma, kemampuan ekonomi, dan minimnya informasi juga menjadi penghalang mereka mengakses penanganan profesional. Tak jarang ada peran orang tua yang awam dengan persoalan tersebut.
Yang paling mencolok dari data di atas adalah kecenderungan orang tua untuk “memilih mengatasi masalah sendiri” dengan persentase mencapai 43,8%. Ini menunjukkan banyak orang tua tidak memahami kompleksitas masalah mental. Keyakinan bahwa “masalah akan membaik dengan sendirinya” juga tinggi, mencerminkan kurangnya kesadaran akan urgensi dan potensi komplikasi jika tidak ditangani.
Menurut Amirah Ellyza Wahdi, dosen dan peneliti kesehatan remaja UGM yang juga terlibat dalam survei I-NAMHS, temuan di atas menunjukkan rendahnya literasi orang tua dan pengasuh di Indonesia, baik dalam mengenali gejala, berkomunikasi dengan anak mereka, maupun mengetahui harus ke mana mencari bantuan.
Dalam survei I-NAMHS, hanya 4,3% orang tua atau pengasuh yang merasa anaknya butuh bantuan kesehatan mental. Padahal prevalensi totalnya sampai 34,9%. “Berarti ada lebih dari 80% yang punya masalah kesehatan mental, yang bahkan orang tuanya tidak merasa anaknya punya masalah. Ini gap yang besar,” kata Amirah, dikutip dari The Conversation Indonesia, 16 Desember 2022.
Di tempat lain, kondisinya bisa lebih baik. Survei perusahaan asuransi internasional AXA, misalnya, mendapati mayoritas atau 52% responden global justru memperoleh informasi kesehatan mental dari tenaga kesehatan profesional, seperti dokter, terapis, atau konselor.
AXA melakukan survei ini lewat kerja sama dengan Ipsos, sebuah perusahaan riset yang bermarkas di Paris, Prancis. Responden surveinya mencapai 17 ribu orang, berusia 18-75 tahun dari 16 negara. Sembilan di antaranya merupakan negara Eropa. Lalu Amerika Serikat dan Meksiko. Negara Asia mencakup Cina, Jepang, Thailand, Hong Kong, dan Filipina.
Media sosial, menurut survei tersebut, justru berada di peringkat tengah. Ini mengindikasikan bahwa di banyak negara medsos bukan rujukan utama. Layanan profesional tetap menjadi yang terpenting. Menghapus stigma dapat mendorong individu untuk mengambil langkah ke jalan yang tepat.
Editor: Aria W. Yudhistira
