Advertisement
Analisis | Penambangan di Raja Ampat: Ancaman Kerusakan Surga Terakhir di Bumi - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Penambangan di Raja Ampat: Ancaman Kerusakan Surga Terakhir di Bumi

Foto: Katadata/ Bintan Insani
Pemerintah mencabut izin empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat karena melanggar aturan lingkungan di kawasan geopark. Aktivitas tambang mengancam habitat endemik dan ekosistem karang. Di seluruh Indonesia, puluhan pulau kecil sudah dikapling untuk tambang.
Muhammad Almer Sidqi
28 Juni 2025, 07.15
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Kontroversi penambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, mencapai puncaknya setelah pemerintah mencabut empat dari lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) di kawasan tersebut. Keputusan ini diumumkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia pada 10 Juni 2025, menyusul temuan pelanggaran lingkungan dan tekanan dari organisasi lingkungan seperti Greenpeace Indonesia dan Aliansi Jaga Alam Raja Ampat.

Empat perusahaan yang izinnya dicabut adalah PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham. Keempatnya beroperasi di dalam kawasan Raja Ampat, yang telah ditetapkan sebagai Global Geopark oleh UNESCO pada 2023. 

Sementara itu, izin PT Gag Nikel tetap berlaku karena berada di luar kawasan geopark dan dinilai memenuhi standar lingkungan, termasuk pengelolaan limbah sesuai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Padahal ini menyalahi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). 

Menurut beleid itu, pulau kecil yang luasnya kurang dari 200 ribu hektare (ha) tak boleh ditambang. Sedangkan luas Pulau Gag hanya 6.500 ha.

Kepulauan Raja Ampat, yang masyhur sebagai “Surga Terakhir di Bumi,” terletak di Provinsi Papua Barat Daya. Kawasan ini terdiri dari sekitar 600 pulau besar dan kecil, termasuk pulau-pulau utama seperti Waigeo, Misool, Salawati, dan Batanta, dengan luas wilayah sekitar 6.084,5 km². 

Greenpeace Indonesia sebelumnya mengungkapkan aktivitas tambang telah merusak lebih dari 500 ha hutan dan vegetasi alami di pulau-pulau kecil Raja Ampat. Di sisi lain, pencabutan izin yang dilakukan pemerintah juga belum menandai akhir dari ancaman tambang di kawasan ini. 

Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace, Arie Rompas, menyebut izin-izin tersebut masih berpotensi aktif kembali melalui permohonan ulang, proses hukum, atau penerbitan izin baru. Saat ini ada tiga perusahaan yang sedang berproses di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. “Sangat potensial kembali aktif ketika mereka menang di pengadilan,” katanya, 12 Juni lalu. 

Merusak Vegetasi dan Ekosistem Laut

Pembabatan hutan ini tidak hanya berpotensi menghilangkan habitat satwa endemik dan flora tropis yang unik, tetapi juga memicu limpasan tanah yang menyebabkan peningkatan sedimentasi di pesisir. Sedimentasi tersebut berpotensi merusak terumbu karang dan ekosistem perairan yang menjadi rumah bagi 75% spesies karang dunia serta ribuan spesies ikan laut di Raja Ampat

Kami menggunakan citra satelit untuk meninjau perubahan tutupan lahan Pulau Gag antara 2017 dan 2025. Hasilnya menunjukkan perubahan signifikan terutama di wilayah selatan pulau. Adapun deforestasi di pulau ini, yang 92% di antaranya merupakan hutan lindung, telah mencapai 309 ha. 

Hal yang sama tampak di Pulau Kawei yang punya luas 4.561 ha. Citra satelit menunjukkan adanya pembukaan lahan yang masif di bagian utara pulau. Penambangan di Pulau Kawei dimulai kembali pada 2023 setelah sempat berhenti selama 14 tahun. 

Pulau Kawei juga dikenal karena keanekaragaman hayati lautnya dan sejumlah lokasi penyelaman populer, termasuk Black Rock dan Equator.

Vegetasi yang terbabat paling parah adalah Pulau Manuran, yang berada tepat di sebelah utara Waigeo. Penambangan di pulau ini sudah dimulai sejak 2006, lalu berhenti pada 2014. Setelah lama tak aktif, muncul tanda-tanda aktivitas baru pada 2024 hingga 2025. 

Melalui Google Earth, kami mendapati adanya bukaan lahan di Pulau Manuran sejak 2009. Hingga 2025, dengan luas total 751 ha, pulau itu sudah mengalami deforestasi hingga sekitar 20%.

Victor Nikijuluw, Senior Ocean Program Advisor Konservasi Indonesia, mengatakan penurunan vegetasi di pulau-pulau itu berpotensi merusak habitat burung-burung Raja Ampat. Konservasi Indonesia mencatat ada sekitar jenis 350 burung endemik di wilayah konservasi itu. “Kalau vegetasinya hancur, burung-burungnya pergi,” kata Victor kepada Katadata.co.id, 19 Juni lalu. 

Selain membabat vegetasi, pertambangan juga berdampak pada sedimentasi di lautnya. Foto di bawah menunjukkan bagaimana lumpur kecokelatan dari lokasi tambang di Pulau Kawei mengalir ke pesisir, membentuk jejak keruh yang mencemari perairan dangkal di sisi timur pulau tersebut. 

Menurut Victor, limpasan seperti ini kerap terjadi setiap hujan turun. Ini mengancam terumbu karang dan ekosistem pesisir di sekitar pulau. Partikel tanah dan lumpur bisa menutupi permukaan karang dan lamun yang juga menjadi habitat penting bagi berbagai biota laut. 

Sedimentasi merupakan salah satu penyebab utama kematian karang. Jurnal Pasir Laut edisi 2 September 2020 terbitan Universitas Diponegoro menyimpulkan partikel sedimen yang membuat air menjadi keruh dapat mengurangi penetrasi cahaya matahari yang dibutuhkan terumbu karang. Kalau ini terjadi, karang bisa stres, rentan terhadap penyakit, dan berpotensi mengalami kematian massal.

Masalahnya, ada lebih dari 600 jenis terumbu karang di Raja Ampat. Victor menjelaskan karang-karang itu berada di kedalaman dangkal, mulai dari 5 hingga 30 meter. Secara keseluruhan, kedalaman di perairan Raja Ampat terbilang cetek ketimbang kedalaman di laut lepas atau zona samudra yang bisa mencapai ratusan hingga ribuan meter.

Kami juga menghitung tingkat kedalaman di sekitar pulau-pulau terkonsesi tambang di Raja Ampat melalui pengukuran yang tersedia di Sistem Batrimetri Nasional. Hasilnya menunjukkan kedalaman laut di sekitar Pulau Kawei, Pulau Batang Pele, dan Pulau Manyaifun berkisar 40-41,2 meter; Pulau Manuran 57,4 meter; dan Pulau Gag 87,4 meter. 

Menurut Victor, perairan dengan kedalaman 40–50 meter sangat rentan terhadap dampak limpasan sedimen dari daratan. Sedimen yang masuk ke laut pada kedalaman ini akan dengan mudah mengendap di atas terumbu karang dan menghambat fotosintesis.

Dampak lainnya juga mengancam ekosistem perikanan. Konservasi Indonesia, misalnya, mendapati sebaran larva dispersal atau larva ikan yang bertelur di perairan dekat pertambangan dapat terbawa ke kawasan lain, yang kemudian bisa memengaruhi sebaran ikan di wilayah tersebut.  

Salah satunya jenis cakalang yang banyak mendiami perairan Indonesia Timur. Kawasan Raja Ampat, seperti Pulau Waigeo, telah sejak lama dikenal sebagai jalur raya tuna dan cakalang di Indonesia. “Jika kerusakan ekosistem laut di perairan Raja Ampat terjadi, maka jumlah ikan tuna dan cakalang pun akan menurun di perairan Indonesia, khususnya di Laut Banda dan Teluk Tomini,” katanya. 

Laut Raja Ampat merupakan rumah bagi 1.700 jenis ikan dan 16 jenis mamalia laut. Selain itu, empat dari tujuh jenis penyu di seluruh dunia ada di sana. Victor meyakini spesies-spesies tersebut diprediksi tidak akan lagi menjadikan perairan Raja Ampat sebagai rumah atau jalur migrasi mereka jika terjadi pencemaran. 

Puluhan Pulau Kecil Indonesia Ditambang

Penambangan Raja Ampat menjadi potret kecil nan buram penambangan pulau kecil yang sudah lama terjadi di Indonesia. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), per Juni 2025, sedikitnya 70 pulau kecil Indonesia yang masuk dalam wilayah konsesi perusahaan tambang. 

Sekitar 365 IUP tercatat menguasai lahan di pulau-pulau kecil. Wilayah sebarannya meliputi Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, hingga Papua Barat Daya. 

Kepulauan Riau menjadi provinsi dengan jumlah pulau kecil terbanyak yang dimanfaatkan untuk pertambangan, mencapai 21 pulau. Di wilayah ini, sedikitnya 219 IUP diterbitkan, sebagian besar untuk mengeksploitasi pasir kuarsa dan granit.

Maluku Utara berada di posisi kedua. Ada sembilan pulau kecil yang dimasuki 24 IUP dengan total luasan mencapai 111,3 ribu ha yang didominasi komoditas nikel dan besi. 

Jika ditinjau dari komoditas dominan yang dieksploitasi di pulau-pulau kecil Indonesia, nikel menempati posisi kedua terbesar. Total luas konsesinya mencapai sekitar 104,2 ribu ha. Bila digabung dengan IUP yang berada di Raja Ampat, setidaknya terdapat 17 pulau kecil yang telah dicaplok untuk pertambangan nikel. Pulau-pulau ini tersebar di Provinsi Papua Barat Daya, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Maluku Utara.

Salah satu pulau kecil pertama yang ditambang nikel di wilayah Maluku Utara adalah Pulau Gebe. Terletak di Kabupaten Halmahera Tengah, pulau seluas 143,2 km² ini tercatat memiliki sedikitnya tujuh IUP nikel. Luas konsesi tambang di Pulau Gebe mencapai sekitar 47,9 km² atau setara dengan 33% dari total luas pulau tersebut.

Menurut catatan Auriga Nusantara, jumlah pulau kecil yang ditambang nikel kemungkinan jauh lebih banyak. Lembaga tersebut menemukan sedikitnya 55 IUP nikel yang tersebar di 29 pulau kecil di wilayah timur Indonesia, dengan total luas wilayah konsesi mencapai sekitar 65 ribu ha.

Mengapa Pulau Kecil Tidak Boleh Ditambang?

Setelah pencabutan sejumlah IUP tambang nikel di Raja Ampat, giliran PT Gema Kreasi Perdana, anak usaha Harita Group, kehilangan izin. Kementerian Kehutanan mencabut Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) perusahaan yang beroperasi di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, pada pertengahan Juni 2025.

Pencabutan ini menyusul perlawanan yang menolak tambang nikel di pulau kecil seluas 715 km² itu. Selain merusak hutan, tambang diduga mencemari lingkungan dan mengganggu sumber air bersih warga. Ini juga diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang menolak gugatan uji materi PT Gema terhadap Undang-Undang PWP3K.

“Pertimbangan hakim (menolak) sebetulnya menjelaskan pulau-pulau kecil itu dikategorikan wilayah sangat rentan yang memerlukan perlindungan khusus, termasuk dari kegiatan yang dikategorikan abnormally dangerous activity. Salah satunya pertambangan,” kata Diky Anandya, peneliti hukum Auriga Nusantara, kepada Katadata.co.id, Jumat, 20 Juni.

Pulau-pulau kecil memiliki daya tampung dan daya dukung yang terbatas, terisolasi, dan lebih rawan terancam perubahan iklim. Eksploitasi alam akan mengancam keberlangsungan hidup warga yang menghuni pulau setempat. Penambangan di pesisir pulau kecil meningkatkan risiko tenggelamnya pulau akibat percepatan abrasi yang merusak garis pantai.

Pulau Nipah, misalnya, yang merupakan pulau kecil terluar di Kepulauan Riau. Sekitar tahun 2000, pulau yang luasnya hanya sekitar 60 ha ini nyaris tenggelam akibat aktivitas penambangan pasir pantai yang diekspor ke Singapura. Pemerintah kemudian mengeluarkan regulasi yang melarang penambangan pasir laut dan mendorong proyek reklamasi pulau ini.

Menurut Forest Watch Indonesia (FWI), pada 2021, luas hutan alam di seluruh pulau kecil Indonesia mencapai 3,49 juta ha atau hampir separuh dari total luas pulau kecil itu sendiri. Namun, tutupan lahan pulau-pulau itu terus menyusut digerogoti tambang. Sepanjang 2017 sampai 2021, deforestasi di pulau kecil Indonesia mencapai 318,6 ribu ha. Artinya, setiap tahun, pembabatan hutan di pulau-pulau ini menyumbang setidaknya 3% dari laju deforestasi nasional.

Editor: Aria W. Yudhistira


Buka di Aplikasi Katadata untuk pengalaman terbaik!

icon newspaper

Tanpa Iklan

Baca berita lebih nyaman

icon trending

Pilih Topik

Sesuai minat Anda

icon ai

Fitur AI

Lebih mudah berbagi artikel

icon star

Baca Nanti

Bagi Anda yang sibuk