Hana baru saja menyelesaikan pekerjaannya ketika malam menunjukkan pukul 12 tepat. Pekerjaan sampingan atau side hustle yang dilakukan Hana sejak Januari yang membuatnya tetap bekerja hingga larut malam.
Sehari-hari, pria 23 tahun ini bekerja sebagai kreator konten di sebuah perusahaan jasa di Kalibata, Jakarta Selatan. Selesai melakukan pekerjaan utama, dia melanjutkan bekerja sebagai pengelola klub voli amatir. Biasanya, jadwal berlatih klub dilakukan pada malam hari di lapangan di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan.
Karena suka bermain voli, membuat Hana merasa side hustle-nya ini tidak seperti sebuah pekerjaan. Namun, diakuinya, pekerjaan sampingan ini cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan, membantunya bertahan ketika kehilangan pekerjaan utama pada Maret-Mei 2025.
“Pendapatannya tidak pasti, tapi rata-rata bisa Rp2 juta sampai Rp3 juta (per bulan),” kata Hana kepada Katadata.co.id, Rabu, 24 September 2025.
Dia tetap melanjutkan aktivitasnya bersama klub voli tersebut meski sudah kembali memiliki pekerjaan utama. Uang yang didapatnya dari pekerjaan sampingan dia tabung untuk rencananya menikah beberapa tahun lagi.
Apa yang dilakukan Hana juga banyak dilakukan pekerja lain di Indonesia. Riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) menunjukkan, 8,2% pekerja atau total 19,3 juta pekerja di Indonesia memiliki pekerjaan sampingan.
Proporsi ini lebih tinggi dari beberapa negara lain yang mempublikasikan statistik pekerja dengan pekerjaan tambahan. Misalnya, hanya 3% pekerja Singapura yang memiliki pekerjaan sampingan pada 2024. Statistik serupa di Amerika Serikat dan Australia juga menunjukkan proporsi yang lebih rendah dari Indonesia.
Dua peneliti LPEM UI, Muhammad Hanri dan Nia Kurnia Sholihah, menjelaskan fenomena ini menjadi salah satu indikasi bahwa penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan utama belum memadai.
“Bagi sebagian kecil pekerja, pekerjaan tambahan mungkin dipilih untuk menambah tabungan atau memperluas pengalaman. Namun, bagi banyak pekerja lainnya, keputusan ini lebih didorong oleh kebutuhan agar penghasilan bulanan cukup,” tulis tim peneliti.
Ini terlihat dari perbedaan median gaji bulanan antara pekerja tanpa pekerjaan sampingan dan pekerja dengan pekerjaan sampingan. Median gaji bulanan pekerja tanpa pekerjaan sampingan sebesar Rp2,2 juta, sementara pekerja dengan pekerjaan sampingan sebesar Rp1,6 juta. Gaji bulanan yang dihitung ini hanya menghitung gaji pekerjaan utama.
Marak di Perkotaan, Laki-laki Lebih Banyak
Lebih lanjut, penelitian menunjukkan proporsi tenaga kerja dengan pekerjaan sampingan lebih banyak ditemukan di perkotaan. Sebanyak 13,36% pekerja di perkotaan memiliki pekerjaan sampingan. Sementara, proporsinya lebih rendah di pedesaan yaitu 6,03% dari total pekerja.
Tim peneliti menjelaskan fenomena ini dapat dilihat dari dua sisi. Biaya hidup di perkotaan yang lebih tinggi membuat sumber pendapatan tambahan jadi lebih penting. Sementara, pedesaan memang menawarkan upah relatif lebih kecil ketimbang kota tapi pekerja cenderung mempertahankan satu pekerjaan.
“Baik karena keterbatasan peluang kerja tambahan maupun karena pola nafkah rumah tangga di desa masih banyak ditopang oleh aktivitas subsisten, seperti pertanian keluarga,” tulis tim peneliti.
Dilihat dari gender, pekerja laki-laki lebih banyak memiliki pekerjaan sampingan ketimbang pekerja perempuan. Jarak antara proporsi gender ini signifikan. Sebanyak 12,9% pekerja laki-laki memiliki pekerjaan sampingan, sementara hanya 4,98% pekerja perempuan yang memiliki pekerjaan lain.
Menurut peneliti, temuan ini membuat perspektif gender menjadi penting. Laki-laki cenderung memiliki pekerjaan fleksibel yang memungkinkan adanya pekerjaan tambahan. Namun, perempuan lebih sering terbebani pekerjaan domestik atau rumah tangga yang membatasi ruang mencari pendapatan tambahan.
Kecenderungan laki-laki menjadi kepala keluarga juga menjadi alasan tingginya kepemilikan pekerjaan sampingan. Tekanan sosial sebagai breadwinner membuat laki-laki perlu mengambil pekerjaan lain untuk mencukupi kebutuhan. Penelitian menemukan 15,63% kepala keluarga memiliki pekerjaan sampingan.
Akibat Pekerjaan Berkualitas Minim?
Jumlah terbesar dari jenis tenaga kerja yang memiliki pekerjaan sampingan adalah buruh atau karyawan yang sebesar 5,3 juta. Meski begitu, ini hanya mencakup 9,54% dari total buruh/karyawan. Struktur tenaga kerja Indonesia memang didominasi buruh atau karyawan. Alhasil, proporsinya terhadap total pekerja lebih kecil.
Banyaknya jumlah buruh atau karyawan dapat mengindikasi kualitas pekerjaan di Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerjanya.
Di sisi lain, pekerja yang berusaha sendiri dibantu buruh tidak tetap memiliki proporsi memiliki pekerja sampingan terbesar yaitu 23,62%. Secara jumlah, pekerja jenis ini yang memiliki pekerjaan sampingan mencapai 4,7 juta.
Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Mari Elka Pangestu menyebut kondisi ini sebagai paradoks Indonesia. Indonesia dapat menunjukkan pertumbuhan konsisten dan terus menciptakan lapangan kerja, tetapi lapangan pekerja yang diciptakan berupah rendah.
“Iya lapangan kerja berhasil meningkat, tetapi kebanyakan di sektor yang menerima upah kecil,” kata Mari dalam presentasinya di Australian National University, 12 September 2025.
Selama 2019-2024, Indonesia berhasil menciptakan 17,2 juta tenaga kerja. Mayoritas merupakan pekerjaan yang tingkat upahnya di bawah rata-rata nasional sebesar Rp3,1 juta per bulan pada 2025.
Sektor pertanian yang menciptakan 5,3 juta tenaga kerja, memiliki upah rata-rata Rp1,8 juta per bulan. Begitu juga perdagangan yang mendapat 3,2 juta tenaga kerja, rata-rata upahnya hanya Rp2,8 juta.
Hanri dan Nia dari LPEM UI menekankan pentingnya kebijakan ketenagakerjaan yang tepat. Ini untuk memastikan pekerja tidak perlu terpaksa mencari tambahan penghasilan hanya untuk menutupi kebutuhan dasar.
Bagaimanapun, side hustle dapat menambah tekanan fisik maupun mental, terutama ketika dilakukan di luar jam kerja. Dalam jangka panjang, beban ini dapat memengaruhi kesehatan, produktivitas, serta keseimbangan kehidupan dan kerja.
Editor: Aria W. Yudhistira
