Humaira gelisah. Belakangan, perempuan 24 tahun ini sulit fokus saat bekerja. Ia tengah mencari pekerjaan baru yang dapat memberinya gaji lebih tinggi ketimbang pekerjaannya sekarang.
Kegelisahannya itu bukan tanpa alasan. Mulai bulan depan, Humaira harus ikut membantu keluarganya membayar kontrakan di bilangan Pinang Ranti, Jakarta Timur. Masalahnya, ia menaksir, gajinya yang di bawah upah minimum itu tidak bakal cukup membantu.
Meski sudah bekerja setahun lebih, ia tak punya tabungan sepeser pun. Sebagai staf penggalangan dana di sebuah organisasi non-profit di Jakarta, tak jarang ia bekerja lebih dari delapan jam sehari. Termasuk pulang saat tengah malam.
“Aku tidak pernah menikmati gajiku sepenuhnya sendiri. Semua langsung untuk keperluan rumah,” kata Humaira kepada Katadata.co.id, Kamis, 23 Oktober.
Setidaknya 60-70% pendapatan Humaira per bulan dialokasikan untuk kebutuhan rumah dan tiga adik-adiknya. Sebagian lagi ia gunakan untuk keperluan bulanannya sendiri dan transportasi sehari-hari. Sisanya disimpan sebagai uang darurat.
Jika Humaira harus ikut membayar biaya kontrakan dengan keadaannya saat ini, uang untuk keperluan sehari-harinya bakal tandas tak bersisa. (Baca: Orang Miskin dan Perempuan Lebih Sulit Keluar dari Krisis Ekonomi)
Ayah Humaira meninggal beberapa tahun lalu. Dialah satu-satunya pemberi nafkah di keluarga mereka. Setelah lulus kuliah dan mendapat pekerjaan, Humaira langsung menjadi breadwinner yang menopang mayoritas keperluan keluarganya.
Upah ibunya, yang bekerja sebagai pengasuh, hanya seperempat gaji Humaira. Sedangkan pengeluaran keluarganya terus naik seiring adik-adiknya membesar, sekolah, dan kuliah.
Tulang Punggung Keluarga
Fenomena perempuan breadwinner, yaitu perempuan yang menjadi pencari nafkah utama keluarga, semakin banyak dijumpai di berbagai negara, termasuk Indonesia. Mereka bisa menjadi satu-satunya pencari nafkah atau penyumbang terbesar dalam pendapatan rumah tangganya.
Menurut Survei Angkatan Kerja Nasional Badan Pusat Statistik (Sakernas BPS) 2024 sekitar 14% dari penduduk bekerja Indonesia adalah perempuan breadwinner. Angka ini setara 20 juta orang. Artinya, 1 dari 10 pekerja di Indonesia adalah perempuan breadwinner.
“Fenomena ini semakin umum di berbagai negara, meskipun dengan karakteristik yang berbeda-beda,” tulis laporan BPS yang dirilis Maret 2025.
Di Kanada, misalnya, perempuan breadwinner mencapai persentase tertinggi sepanjang masa, yaitu 29% untuk pasangan yang memiliki anak. Sedangkan porsi perempuan breadwinner pada pasangan tanpa anak lebih banyak lagi, mencapai 37%.
Di AS, pergeseran dominasi perempuan co-breadwinner ke breadwinner sudah terjadi sejak 1970-an. Pada 2023, hampir setengah dari ibu di negara itu yang bekerja adalah breadwinner di keluarganya. (Baca: Di Balik Alasan Perempuan Menunda Menikah dan Enggan Punya Banyak Anak)
Namun, perlu dicatat, tiap negara punya cara dan kategorisasinya sendiri untuk menghitung jumlah perempuan breadwinner di wilayahnya masing-masing.
Perempuan sebagai breadwinner dijalani baik oleh mereka yang sudah menikah maupun belum menikah. Menurut BPS, mayoritas perempuan breadwinner Indonesia sudah menikah. Lalu ada sekitar 40% yang berstatus istri.
Bagi yang sudah menikah, perempuan breadwinner memiliki tambahan pendapatan dari pekerjaan suami. Namun, bagi yang belum menikah atau ditinggal cerai, mereka harus lebih mandiri secara finansial untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Hal inilah yang terjadi pada Humaira. Ia masuk dalam golongan 17% perempuan breadwinner yang berstatus sebagai anak/cucu/menantu.
Meningkatnya perempuan pencari nafkah utama keluarga barangkali bisa diselaraskan dengan semakin meningkatnya kualitas dan kesempatan pendidikan dan lapangan pekerjaan bagi perempuan.
Itu sejalan dengan pergeseran norma sosial bahwa perempuan tidak lagi sepenuhnya bergantung pada laki-laki. Di sejumlah negara maju, naiknya jumlah perempuan breadwinner juga beriringan dengan tingkat fertilitas yang cenderung menurun.
Situasi ini condong terjadi di perkotaan dibandingkan perdesaan. Itu sebabnya mayoritas perempuan breadwinner Indonesia tersebar di daerah perkotaan, dengan Jakarta memimpin sebagai provinsi dengan porsi perempuan breadwinner terbesar.
Tidak hanya karena gerakan kesetaraan gender, fenomena ini juga terjadi di tengah impitan ekonomi dan kebutuhan pengeluaran rumah tangga yang makin tinggi.
Di Eropa, ketidakpastian saat pandemi Covid-19 mendorong perempuan menjadi breadwinner. Baik untuk sementara waktu maupun jangka panjang.
Di AS, fenomena perempuan breadwinner semakin banyak dijumpai di keluarga miskin. Pada 2023, catatan Center for American Progress menunjukkan 88% ibu dalam rumah tangga desil paling bawah adalah satu-satunya breadwinner di keluarganya.
Beban Ganda dan Kesenjangan Upah
Jika dibandingkan dengan beberapa negara lain, porsi perempuan breadwinner Indonesia memang tidak terlalu besar. Ini sejalan dengan pandangan sosial di negara ini yang cenderung melekatkan laki-laki sebagai pencari nafkah (breadwinner) dan perempuan sebagai pengasuh rumah tangga (caregiver).
Menurut studi Bank Dunia 2024, dibandingkan sejumlah negara-negara di Asia Timur dan Pasifik, Indonesia termasuk negara dengan suara paling rendah, terkait pandangan bahwa laki-laki dan perempuan seharusnya memiliki kesempatan yang sama.
Sebaliknya, pandangan bahwa laki-laki adalah breadwinner dan perempuan adalah caregiver cenderung lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain di Asia Timur dan Pasifik. (Baca: Mengapa Umur Perempuan Lebih Panjang daripada Laki-laki?)
Survei yang dilakukan Katadata Insight Center bersama Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2023 juga menunjukkan bahwa baik responden laki-laki maupun perempuan memiliki pandangan yang biasa saja ketika perempuan harus berhenti bekerja untuk melakukan tugas keperawatan. Hal ini dianggap sebagai bentuk tanggung jawab terhadap anak maupun orang tua.
Peneliti The SMERU Research Institute Valentina Yulita Dyah Utari menyebut, masih ada norma sosial yang melekatkan kerja keperawatan pada perempuan di Indonesia. “Bahwa perempuan boleh bekerja, tapi mereka tidak boleh melupakan urusan rumah tangga,” kata Utari ketika dihubungi Katadata.co.id, Jumat, 24 Oktober.
Itulah yang membuat, meski menjadi breadwinner, perempuan Indonesia cenderung memiliki beban ganda untuk mengurus kerja-kerja domestik.
Survey KIC dan ILO juga menunjukkan bahwa 79% responden perempuan bukan hanya bekerja dan memiliki penghasilan sendiri, tetapi juga memiliki tugas pengasuhan di rumah, termasuk mengasuh anak maupun merawat orang tua.
Menurut BPS, mayoritas perempuan breadwinner melakukan aktivitas domestik sebagai kegiatan lain mereka selain bekerja. Porsinya sekitar 84%.
“Mereka tidak hanya menghadapi tuntutan pekerjaan, tetapi juga tanggung jawab mengelola tugas-tugas rumah tangga, pengasuhan, serta ekspektasi masyarakat seputar peran gender,” tulis riset BPS.
Itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Di AS, menurut Pew Research Institute, perempuan breadwinner juga menghabiskan waktu lebih banyak untuk pekerjaan domestik ketimbang pasangannya. Imbasnya, mereka punya lebih sedikit waktu untuk bersantai.
Padahal, tidak sedikit perempuan breadwinner yang bekerja dengan durasi panjang melebihi batas maksimal yang ditetapkan ILO. Sebanyak 21% perempuan breadwinner Indonesia, misalnya, bekerja lebih dari 49 jam dalam seminggu. Dengan kata lain, dengan asumsi lima hari kerja per pekan, mereka bekerja hampir 10 jam per hari.
Hal ini berakibat pada perempuan breadwinner yang jauh lebih rentan mengalami kelelahan fisik, emosional, dan mental.
Beban ganda ini juga menimpa Humaira. Ia memiliki seorang kakak laki-laki yang juga sudah bekerja. Namun, berbeda dengannya, si kakak tidak ikut berkontribusi pada keuangan keluarga. Ibunya, menurut Humaira, punya keyakinan bahwa pendapatan laki-laki sebaiknya ditabung untuk persiapan menikah dan membiayai calon istri kelak.
Sementara itu, karena Humaira perempuan dan dianggap kelak akan dinafkahi suaminya, penghasilannya saat ini dianggap lebih pas digunakan untuk kebutuhan keluarga sehari-hari. “Karena keluargaku sangat patriarki,” kata Humaira. (Baca: Mengapa Perempuan Lebih Banyak Menderita Gangguan Mental?)
Ketika mendapat hari libur, Humaira adalah anak perempuan paling tua yang juga harus membersihkan rumah, memasak, menyetrika, mengantar adiknya sekolah dan kuliah.
Di tengah tanggungan beban ganda, perempuan breadwinner masih harus menghadapi kesenjangan upah dengan pekerja laki-laki. Per 2020, UN Women Indonesia mencatat rata-rata pendapatan perempuan Indonesia 23% lebih rendah dari rata-rata pendapatan laki-laki. Kesejangan ini tetap terjadi bahkan bagi perempuan dengan pendidikan lebih tinggi.
Menurut BPS, pada 2023, upah rata-rata laki-laki per jam mencapai Rp20.125, sedangkan perempuan Rp16.779. Dengan asumsi per hari bekerja delapan jam, upah laki-laki dalam lima hari kerja mencapai Rp805.000 dan perempuan Rp671.160. (Baca: Badai PHK dan Menjamurnya Pekerja Informal di Era 'In This Economy')
Para perempuan breadwinner juga minim fasilitas dan akses jaminan kerja. Masih menurut BPS, Hanya sekitar 1 dari 4 perempuan breadwinner yang memiliki jaminan kesehatan. Lebih sedikit lagi yang terlindungi oleh jaminan kecelakaan kerja atau jaminan kematian.
Yang paling mengkhawatirkan, hanya 13% yang bekerja dengan kontrak resmi. Artinya, mayoritas bekerja dalam sektor informal tanpa perlindungan hukum. Hampir seluruhnya juga tidak tergabung dalam serikat kerja. Ini membuat posisi tawar sangat lemah.
Menurut peneliti SMERU Valentina Yulita Dyah Utari, diperlukan strategi yang komprehensif untuk memastikan perempuan tidak lepas dari pasar tenaga kerja karena beban domestik dan ketimpangan hak.
Mulai dari meninjau ulang norma-norma sosial, mengakui bahwa kerja-kerja domestik juga krusial dalam roda perekonomian, penyediaan fasilitas keperawatan yang lebih luas, akses ke jaminan sosial, hingga meninjau sejumlah regulasi yang secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan ketimpangan.
“Seperti UU Perkawinan, itu seperti resep. Laki-laki tugasnya apa, perempuan tugasnya apa. Kami rasa ini perlu direviu. UU ini harus mengikuti perubahan peran laki-laki dan perempuan saat ini,” kata Utari.
Editor: Muhammad Almer Sidqi
