Advertisement
Analisis | Dalam Hujan, Ada Bahaya Sampah Plastik Mengancam Tubuh Manusia - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Dalam Hujan, Ada Bahaya Sampah Plastik Mengancam Tubuh Manusia

Foto: Katadata/ Bintan Insani
Berbagai penelitian menemukan masifnya paparan mikroplastik di udara dan laut. Kapasitas pengelolaan sampah nasional yang minim membuat sampah plastik dibuang atau dibakar sembarangan. Partikel kecil ini masuk ke tubuh manusia untuk memberi berbagai dampak buruk.
Muhammad Almer Sidqi
7 November 2025, 11.30
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Sudah lima tahun terakhir Muhammad Reza Cordova rutin memantau Indeks Kualitas Udara (AQI) di layar ponselnya sebelum keluar rumah. Jika angkanya menunjukkan udara dalam kategori buruk, ia akan mengenakan masker pelindung. Ia sadar, udara bersih saat ini sudah nyaris menjadi mitos.

Apalagi, di antara polusi dan debu, ada partikel yang ikut melayang mengikuti embusan angin: mikroplastik. Sebagai peneliti di pusat riset oseanografi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Reza lebih tahu dari kebanyakan orang tentang partikel kecil yang nyaris tak kasat mata ini.

“Masker tidak menyaring semua partikel mikroplastik, tapi cukup membantu menahan partikel besar dari debu atau serat yang melayang,” katanya kepada Katadata.co.id, Jumat, 31 Oktober.

Pada 2022, riset Reza menemukan sekitar 15 partikel mikroplastik (Mps) per meter persegi per hari di dalam air hujan Jakarta. Jumlahnya naik lima kali lipat dibandingkan tahun 2015. 

Mikroplastik itu muncul lewat proses yang disebut atmospheric microplastic deposition: limbah plastik dari berbagai sumber terdegradasi, terangkat ke atmosfer, terbawa angin, lalu jatuh kembali ke permukaan bumi bersama air hujan. Partikelnya berasal dari serat pakaian sintetis, ban kendaraan, sisa pembakaran sampah plastik, hingga serpihan kemasan yang terurai di udara terbuka.

Karena serpihannya bisa lebih kecil dari debu, mikroplastik dapat dengan mudah terhirup manusia atau masuk ke tubuh lewat air dan makanan. Menurut Reza, mikroplastik juga mengandung bahan kimia berbahaya dan memiliki kemampuan menyerap polutan lain. 

Kesimpulan riset BRIN sejalan dengan temuan Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (ECOTON) bersama Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ). Dalam riset di 18 kabupaten/kota pada Mei-Juli 2025 ini, mereka menemukan bahwa Jakarta Pusat menjadi wilayah dengan tingkat cemaran mikroplastik di udara tertinggi, yakni 37 Mps per 90 sentimeter persegi.

Tata Kelola Jadi Sumber Masalah

Hasil pengukuran ECOTON mendapati pembakaran sampah plastik tercatat sebagai aktivitas yang paling banyak menyebabkan mikroplastik di udara, yakni 55% dari total pencemar. Sementara itu, limbah plastik rumah tangga menyumbang sekitar 33%.

Tingginya angka pencemaran dari pembakaran plastik itu tak lepas dari persoalan mendasar: sebagian besar sampah di Indonesia masih belum terkelola dengan baik.

Tengok, misalnya, data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN). Pada 2024, ada sekitar 36 juta ton total timbulan sampah yang dikumpulkan dari 335 kabupaten/kota. Dari jumlah itu, lebih dari dua pertiga, setara 24,6 juta ton sampah, tak terkelola. 

Adapun sampah yang terkelola, melalui pengurangan dan penanganan, baru sekitar 11,97 juta ton. Selain itu, mayoritas sampah terkelola berakhir di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) open dumping. Padahal sistem ini adalah bentuk paling primitif dari pengelolaan sampah. Ia turut menimbulkan masalah sosial, kesehatan, dan pencemaran lingkungan yang juga besar. 

Sebaliknya, hanya sekitar 5,9 juta ton di antara sampah terkelola yang tertampung ke TPA dengan metode control atau sanitary landfill. Itu adalah dua metode pengelolaan sampah akhir yang jauh lebih baik dan ramah lingkungan dibanding TPA open dumping

Akibatnya, masyarakat lebih sering membakar sampah mereka, termasuk yang berjenis plastik, di ruang terbuka. Ini juga sejalan dengan fakta bahwa sektor rumah tangga merupakan penyumbang terbesar timbulan sampah di negara ini, yakni sebanyak 46%. Perlu diketahui juga bahwa plastik adalah jenis sampah yang bercokol diperingkat kedua terbanyak setelah sisa makanan di Indonesia. 

Menurut Reza Cordova, peneliti BRIN, penanganan pencemaran mikroplastik harus menjadi tanggung jawab bersama. Pemerintah, menurutnya, perlu memperkuat sistem pengumpulan dan daur ulang sampah agar plastik tidak berakhir di tempat pembuangan terbuka atau mencemari perairan.

Sementara itu, industri juga harus ikut bertanggung jawab; bukan hanya dengan mengelola limbah produksinya, tetapi juga melalui kemasan yang ramah lingkungan dan bisa dipakai kembali.

Kendati begitu, Reza mengingatkan, perubahan paling nyata justru dimulai dari diri sendiri. “Kalau kita bisa mengurangi plastik sekali pakai, memilah sampah dari rumah, dan memastikan plastik tidak dibakar atau dibuang sembarangan, maka jumlah partikel mikroplastik akan jauh berkurang,” ujarnya. 

Mengalir Sampai ke Laut

Fenomena limpahan mikroplastik tak hanya terjadi di daratan. Liss (2020) mendapati mikroplastik di atmosfer dapat berpindah lebih jauh dan cepat, terutama ketika terbawa aliran sungai menuju laut. Dengan kata lain, partikel plastik yang terlepas dari aktivitas manusia di darat dapat menempuh perjalanan panjang sebelum akhirnya menetap di perairan pesisir.

Perairan timur Laut Jawa termasuk salah satu wilayah dengan tingkat pencemaran mikroplastik tertinggi di dunia. Menurut Defri dkk. (2019), kelimpahan mikroplastik di sedimen pesisir ini mencapai 206,04-896,96 partikel per kilogram. 

Untuk perbandingan, Laut Mediterania Barat, yang selama ini dikenal sebagai salah satu perairan paling tercemar di Eropa, menunjukkan kelimpahan antara 100,78 hingga 897,35 partikel/kg. Ini melampaui konsentrasi di beberapa kawasan padat industri dunia seperti Sungai Beijiang di Tiongkok (178–544 item/kg) atau Laut Kuning Utara (37,1±42,7 item/kg).

Tingginya konsentrasi di perairan Jawa berkaitan dengan aktivitas perikanan dan pelayaran di wilayah pesisir padat penduduk. Riset Cordova dkk. (2024) mencatat, wilayah dengan aktivitas perikanan padat memang memiliki konsentrasi mikroplastik yang jauh lebih tinggi.

Di lautan Ambon, misalnya, ditemukan 1,76 MPs/m3. Sementara di perairan Wakatobi hingga Selatan Pulau Buru, ditemukan 0,54 MPs/m3. Jika dikalkulasikan dengan semua jalur lautan yang masuk pengukuran, rata-rata partikel mikroplastik di perairan Indonesia adalah 0,38 MPs/m3.

Air yang tercemar mikroplastik tak hanya mengancam kualitas lingkungan, tetapi juga ekosistem di dalamnya. Muhtadi dkk. (2025) menemukan bahwa limpahan mikroplastik dari sampah domestik telah mencemari ikan-ikan di Muara Belawan, Sumatera Utara.

Dalam penelitian tersebut, ikan karnivora ditemukan memiliki tingkat kontaminasi mikroplastik yang lebih tinggi. Hal ini terjadi karena ikan jenis ini memakan ikan lain yang sudah lebih dulu tercemar, sehingga partikel mikroplastik terakumulasi di tubuhnya melalui rantai makanan.

Riset lain tahun 2022 menemukan terdapat kandungan mikroplastik di seluruh sampel ikan teri di 14 pelabuhan di seluruh Indonesia, dari Meulaboh di Aceh hingga Fakfak di Papua. 

Dua lokasi dengan tingkat cemaran tertinggi adalah Mamuju (688 Mps/individu) di Sulawesi Barat dan Krui (645 Mps/individu) di Lampung. Peneliti menduga, ikan teri menelan mikroplastik tidak hanya dari air laut yang tercemar, tetapi juga karena melahap mangsa yang telah terkontaminasi.

Ini makin jelas ketika diketahui bahwa mangsa alami ikan teri—seperti zooplankton dan kril—juga menelan partikel mikroplastik. Karena ikan teri punya kemampuan menyaring partikel kecil di air melalui insangnya, paparan mikroplastik dapat terjadi secara langsung setiap kali ikan ini mencari makan di perairan yang tercemar.

Laut Indonesia, dengan begitu, tidak hanya tercemar mikroplastik. Ruang sirkulasi partikel beracun juga terus berpindah dari satu organisme ke organisme lain, hingga akhirnya berpotensi berakhir ke meja makan manusia.

Dampak Buruk Kesehatan

Selain mencemari lingkungan, mikroplastik juga menjadi pembawa berbagai zat kimia berbahaya, seperti ftalat, bisfenol A (BPA), dan logam berat. Saat plastik terurai menjadi partikel berukuran mikro atau nano, bahan kimia tersebut dapat terlepas ke lingkungan.

Di atmosfer, partikel mikroplastik bahkan dapat menyerap polutan lain seperti asap kendaraan dan senyawa hidrokarbon aromatik, sehingga meningkatkan potensi toksisitasnya saat terhirup manusia.

Di air, partikel yang terus-menerus tertelan oleh ikan, kerang, atau udang dapat berpindah ke usus manusia sebagai puncak rantai makanan. Jika dikonsumsi dalam jangka panjang, efeknya seperti hambatan pertumbuhan, stres oksidatif, hingga kerusakan sistem saraf. 

Studi yang dilakukan oleh University of Newcastle dan World Wildlife Fund (WWF) pada 2019 menemukan rata-rata manusia menelan 5 gram mikroplastik setiap minggunya. Dalam setahun, secara kumulatif, ada 250 gram mikroplastik—setara sepiring nasi—yang masuk ke tubuh manusia. 

Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Tjandra Yoga Aditama, mendorong pemerintah melakukan penelitian tentang dampak mikroplastik terhadap tubuh manusia. 

“Bagaimana dampak nano mikroplastik yang dari paru mungkin menyebar melalui peredaran darah ke berbagai alat tubuh lain,” kata Tjandra, 30 Oktober lalu.

Editor: Muhammad Almer Sidqi


Buka di Aplikasi Katadata untuk pengalaman terbaik!

icon newspaper

Tanpa Iklan

Baca berita lebih nyaman

icon trending

Pilih Topik

Sesuai minat Anda

icon ai

Fitur AI

Lebih mudah berbagi artikel

icon star

Baca Nanti

Bagi Anda yang sibuk