Hutan Hilang,
Sumatra Tenggelam

Sumber Gambar: MapBiomas

Sumber Gambar: MapBiomas

Arif Maulana Azmi, 32 tahun, nyaris menjerit saat turun dari ranjang dan mendapati kakinya terendam air. Ia baru terlelap sebentar pada Rabu pagi, 26 November, itu. Ia melangkah perlahan untuk mendapati pemandangan ganjil: air kecokelatan setinggi pinggang orang dewasa telah mengepung rumahnya. 

Arif dan istrinya segera keluar dari rumah. Pasangan itu menerjang banjir meski hujan masih mengguyur. Orang-orang mulai dilanda kepanikan sebab air terus meninggi. Arif memutuskan mengungsi ke rumah mertuanya yang juga berlokasi di Alue Beurawe, Langsa, Aceh. 

“Pagi itu coba hubungi Mamak, tapi sudah enggak bisa,” katanya kepada Katadata lewat sambungan telepon yang terputus-putus, 3 Desember. Mamak merujuk pada ibu Arif. 

Ibu dan adik Arif tinggal di Ranto Peureulak, Aceh Timur. Pada malam sebelumnya, Arif menerima kabar tak enak. Rumah ibunya sudah digerayangi air setelah hujan deras tak mau berhenti. Kabar itu membuat Arif terjaga hingga pagi hari sebelum kantuk berhasil menyergapnya. 

Arif tinggal di Kota Langsa, Aceh. Kota ini terletak strategis di jalur perlintasan Medan-Banda Aceh. Kota ini tak pernah dilanda banjir. Bahkan saat tsunami menghantam pesisir Aceh pada 2004, Langsa nyaris tak tersentuh. 

Namun, hari itu air bah menerjang Langsa tanpa ampun. Seisi kota langsung lumpuh. Jalanan terputus oleh banjir. Warga yang mengungsi mulai terancam kelaparan dan krisis air bersih. Arif dan istrinya tinggal di rumah berlumpur dengan stok makanan seadanya. Malam gelap gulita dan akses komunikasi terhenti. 

Air bah dan tanah longsor berhasil merusak 29 wilayah di tiga provinsi di Sumatra. Hingga 5 Desember, sedikitnya 836 orang dilaporkan tewas dan 509 hilang. Angka ini diprediksi akan terus bertambah seiring berjalanya proses pencarian dan evakuasi. 

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bencana telah berdampak pada 3,3 juta orang. Aceh menjadi provinsi yang paling terkepung banjir. Ada lebih dari 4.000 rumah rusak di 16 kabupaten/kota di wilayah berjuluk Serambi Mekkah itu. Sekitar 450 ribu orang harus mengungsi.

Mereka yang selamat dari bencana masih harus berjuang menahan lapar yang menghantui. Arif bercerita, stok makanan di Langsa kian menipis meski air sudah surut. Beberapa toko sembako memang sudah mulai beroperasi, tetapi harganya kelewat mahal.

Katadata menggunakan citra satelit Sentinel 2 untuk melihat dampak banjir di beberapa titik pesisir Aceh. Di Langsa, perubahan spasial tampak bahkan dengan mata telanjang.

Pada 1 Desember, empat hari setelah hujan pertama, air kecokelatan masih memenuhi daratan yang tadinya kehijauan. Sedimentasi itu mengalir melampaui bibir pantai dan meresap ke dalam laut.

Di Lhokseumawe, yang posisinya terletak lebih ke utara, banjir membikin kota itu kacau-balau. Dinas Informasi dan Komunikasi Kota Lhokseumawe menyebut 27 dari 68 desa dalam kota itu terendam air.

Ini adalah bencana banjir terbesar yang mampu melahap setengah Sumatra sepanjang sejarah mencatat. Siklon tropis Senyar yang mampir di Selat Malaka menjadi biang keladinya.

Jalur Siklon Tropis Senyar

Global Disaster Alert and Coordination System (GDACS) mencatat, siklon tropis Senyar mulai bergerak menuju utara Sumatra pada Selasa, 25 November 2025, dan berakhir di Selangor, Malaysia, pada 27 November 2025.

Pada 26 November, menurut BMKG, siklon Senyar sudah terdeteksi di dekat perairan Aceh sebelah timur. Dalam beberapa jam, Senyar terus merangsek ke arah barat dan barat daya Aceh dengan kecepatan 10 km/jam.

Siklon ini juga memicu pertumbuhan awan penghasil hujan yang sangat lebat hingga ekstrem. Kondisi ini dipengaruhi pasokan uap air dari perairan hangat Selat Malaka.

Di Aceh, siklon menurunkan hujan sekitar 162-310 mm per hari. Di Sumatera Utara sekitar 229-262 mm per hari. Lalu di Sumatera Barat 168-261 mm per hari. Menurut BMKG, ini memecahkan rekor hujan harian dalam 30 tahun terakhir.

Munculnya siklon, menurut Kantor Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional AS (NOAA), tergantung dengan suhu air laut. Siklon dianggap lumrah di negara-negara yang letaknya cukup jauh dari garis ekuator Bumi. Sebab, siklon dipengaruhi gaya Coriolis, yang membuat ia melemah saat mendekati garis ekuator.

Nah, Indonesia seharusnya aman dari siklon lantaran berada persis di tengah garis ekuator. Namun, kenyataan berkata lain. Siklon, meski jarang, beberapa kali terjadi di Indonesia. Seperti kata BMKG, kondisi ini karena menghangatnya suhu air laut.

“Fenomena seperti siklon tropis Senyar tergolong tidak umum di wilayah perairan Selat Malaka, apalagi jika sampai melintasi daratan,” kata Andri Ramdhani, Direktur Meteorologi Publik BMKG, dalam konferensi pers, 26 November lalu.

Anomali Perubahan Suhu Permukaan Bumi dan Laut - NOAA

Anomali Perubahan Suhu Permukaan Bumi dan Laut - NOAA

Masalahnya, data NOAA menunjukkan bahwa suhu permukaan laut meningkat secara konsisten dalam dua dekade terakhir. Kondisi ini mengindikasikan bahwa Indonesia dan banyak negara lain di sekitar garis ekuator tak lagi aman dari ancaman siklon. Bahkan berpotensi lebih sering terjadi di masa mendatang.

Pada 2023, NOAA bahkan mendeklarasikan satu kesimpulan penting: suhu permukaan laut dunia telah mencapai titik tertinggi sejak pencatatan satelit dimulai. Peningkatan suhu ini disebabkan oleh penyerapan lebih dari 90% kelebihan panas yang terperangkap di dalam sistem iklim bumi akibat emisi gas rumah kaca. Lautan berperan sebagai penyerap panas utama tersebut.

Dampak perubahan iklim ini suka tak suka berpotensi memperbesar risiko bencana di wilayah pesisir dan kepulauan Indonesia. Sumatra salah satunya. Menurut BNPB, dalam Indeks Risiko Bencana Indonesia 2024, tingkat bahaya banjir dan tanah longsor di pulau ini cukup tinggi, terutama di sepanjang sisi barat dan timur.

Sisi sebelah barat cenderung lebih rentan terhadap bahaya tanah longsor. Sementara sebelah timurnya rentan terhadap banjir. BNPB menilai kerentanan suatu wilayah berdasarkan faktor sosial, budaya, ekonomi, serta kondisi fisik dan lingkungan. Penilaian ini menjadi komponen penting dalam perhitungan risiko bencana nasional. Tingkat kerentanan menentukan besarnya risiko dan dampak dari bencana yang muncul.

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyatakan bencana banjir dan tanah longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra harus menjadi titik balik perbaikan tata kelola hutan dan lingkungan. Ia menilai rangkaian bencana tersebut menunjukkan adanya persoalan dalam pengelolaan sumber daya alam.

“Di satu sisi kami menyampaikan duka yang mendalam. Namun ini juga momentum yang baik untuk mengevaluasi kebijakan,” ujar Raja Juli pada 30 November.

Menurutnya, arah kebijakan selama ini lebih berat ke aspek ekonomi dibanding ekologi. “Pendulumnya antara ekonomi dan ekologi cenderung bergeser ke ekonomi. Harus ditarik ke tengah lagi. Dampaknya sudah terlihat jelas bagi saudara-saudara kita. Itu fakta yang kita rasakan,” katanya.

Pernyataan Juli itu otomatis membantah anggapan bahwa bencana di Sumatra murni bencana alam. Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq meminta DPR RI memberi dukungan politik kepadanya

Dukungan itu demi memperkuat penindakan terhadap pihak-pihak yang dianggap merusak lingkungan dan memperburuk risiko bencana hidrometeorologi. “Kita tidak bisa hanya menyalahkan alam,” kata Hanif dalam rapat kerja, Rabu, 4 Desember.

Bencana Itu Karena Ulah Manusia

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menilai bencana di Sumatra tak hanya akibat cuaca ekstrem, tetapi terutama dipicu oleh kerentanan ekologis yang kian memburuk. Hampir satu dekade terakhir, tidak kurang dari 1,4 juta hektare hutan di ketiga provinsi tersebut hilang akibat perluasan konsesi tambang, perkebunan sawit, energi, dan pembangunan PLTA. 

Hilangnya hutan dalam skala besar itu meningkatkan tekanan terhadap bentang alam. Kondisi ini turut merusak stabilitas banyak Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai penyangga alami yang mengatur aliran air dari hulu ke hilir.

Kerusakan DAS terlihat jelas di wilayah yang menjadi titik bencana. Di Sumatera Utara, banjir paling parah terjadi di kawasan yang berada dalam Ekosistem Harangan Tapanuli atau Batang Toru. Ekosistem ini merupakan salah satu bentang hutan utama Bukit Barisan yang menjadi hulu berbagai DAS besar. 

Selama 2016-2024, menurut catatan WALHI, ekosistem itu kehilangan hampir 73 ribu hektare tutupan hutan akibat operasi belasan perusahaan. Hilangnya hutan di hulu membuat aliran permukaan meningkat drastis saat hujan ekstrem datang, sehingga memicu banjir yang menerjang Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, hingga Sibolga.

Di Aceh, tekanan terhadap DAS bahkan jauh lebih masif. Provinsi ini memiliki total 954 DAS. Sebagian besar berada dalam kawasan hutan. Namun, WALHI mencatat, puluhan di antaranya berstatus kritis. 

DAS Krueng Trumon, misalnya, telah kehilangan 43% tutupan hutannya hanya dalam enam tahun. DAS Singkil, yang dulu memiliki lebih dari 1,2 juta hektare hutan, kini tinggal menyisakan sepertiganya akibat degradasi sampai 66% dalam satu dekade terakhir. Kerusakan serupa terjadi di DAS Jambo Aye, DAS Peusangan, Krueng Tripa, hingga DAS Tamiang. Seluruhnya punya pola sama: hutan hilang, air melimpah tanpa kendali.

Di Sumatera Barat, kerusakan DAS Aia Dingin memperlihatkan pola serupa. DAS penting bagi Kota Padang ini berada di wilayah hulu Bukit Barisan yang seharusnya menjadi “penyangga air” alami. Namun, aktivitas manusia yang menekan kawasan ini menyebabkan 780 hektare tutupan pohon hilang selama dua dekade terakhir, terutama di bagian hulunya.

Katadata melakukan analisis spasial dengan data DAS dan konsesi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Hutan Alam dan Hutan Tanaman Industri (IUPPKH - HA & IUPPKH - HTI), konsesi sawit, serta Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP).

Data yang dihimpun bersumber dari Kementerian ESDM, Kementerian Kehutanan, BNPB, dan BIG (Badan Informasi Geospasial).

Hasilnya, banyak konsesi perusahaan perhutanan dan pertambangan berada di area DAS.

Hatma Surya Suryaatmojo, peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS, Universitas Gajah Mada, menyatakan jika bencana hidrometeorologi ini adalah kombinasi faktor alam dan manusia. Kerusakan DAS dan hutan membuat proses hidrologis terganggu dan menyebabkan wilayah menjadi rentan terhadap longsor.

Ketika hutan hulu rusak atau gundul, kata Hatma, siklus hidrologi alami bakal ikut terganggu. Semua fungsi hutan juga berpotensi hilang. Padahal hutan penting untuk intersepsi, infiltrasi, dan evapotranspirasi.

“Air hujan yang deras tak lagi banyak terserap karena lapisan tanah kehilangan porositas akibat hilangnya jaringan akar. Akibatnya, mayoritas hujan menjadi limpasan permukaan yang langsung mengalir deras ke hilir,” kata Hatma, 1 Desember lalu.

Perubahan Tutupan Hutan dan Konsesi Sawit di Sumatra (1990 - 2024) - MapBiomas | Hijau: Hutan | Ungu: Sawit

Perubahan Tutupan Hutan dan Konsesi Sawit di Sumatra (1990 - 2024) - MapBiomas | Hijau: Hutan | Ungu: Sawit

Merujuk data MapBiomas, tutupan hutan di Sumatra sebagian besar telah beralih menjadi perkebunan sawit dalam hampir empat dekade terakhir. Di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, misalnya. Pada 1990, kawasan ini masih didominasi oleh formasi hutan yang luas, mencakup sekitar 9,5 juta hektare.

Namun, seiring waktu terjadi deforestasi masif yang mengurangi tutupan hutan hingga lebih dari satu juta hektare. Sejalan dengan itu, terjadi lonjakan eksplosif luasan konsesi kelapa sawit. Area perkebunan sawit meningkat tajam dari kurang dari 1 juta hektare menjadi lebih dari 3,3 juta hektare.

Temuan terbaru MapBiomas Indonesia menemukan tren yang lebih mengkhawatirkan. Dalam sepuluh bulan terakhir, angka deforestasi di tiga provinsi itu melonjak hingga tiga kali lipat.

Ketua Tim MapBiomas Indonesia, Timer Manurung, menyebut percepatan kehilangan hutan ini bukan hanya memperburuk kerusakan ekologis, tetapi juga diduga berkontribusi signifikan terhadap banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Hubungan antara hilangnya tutupan hutan dan ekspansi perkebunan sawit menghasilkan korelasi negatif mencapai -0,98. Ini mengindikasikan hubungan sangat kuat bahwa deforestasi di tiga provinsi itu berkaitan erat dengan meluasnya perkebunan sawit. Selain itu, sawit mencatatkan ekspansi terluas ketimbang pertumbuhan permukiman, lubang tambang, maupun hutan tanaman industri.

Adapun Badan Pusat Statistik mencatat, luas perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai sekitar 15,63 juta hektare pada 2024. Dari jumlah itu, sekitar 8,79 juta hektare berada di Sumatera, sekitar 56% dari total lahan sawit nasional.

Riau tercatat sebagai provinsi dengan areal sawit terluas, mencapai sekitar 3,37 juta hektare. Provinsi lainnya di Sumatera dengan kebun sawit besar adalah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi, Aceh, dan Sumatera Barat.

Penulis: Muhammad Almer Sidqi, Puja Pratama Ridwan, Rezza Aji Pratama
Editor:
Aria W. Yudhistira
Visualisasi Data:
Puja Pratama Ridwan
Development:
Firman Firdaus