Indonesia Belum Memandang Riset Sebagai Investasi

Hanna Farah Vania
Oleh Hanna Farah Vania - Tim Riset dan Publikasi
25 November 2020, 09:41
Ilustrasi peneliti melakukan riset di laboratorium
123rf.com
Ilustrasi peneliti melakukan riset di laboratorium

Pemerintah Indonesia dinilai belum memandang riset dan pengembangan sebagai investasi bagi negara. Pengembangannya masih terkendala anggaran yang minim dan tata kelola pendanaan. Hal ini diungkapkan Profesor Hukum dan Regulasi Australian National University (ANU) Veronica Taylor.

“Pemerintah masih melihat riset dan pengembangan itu sebagai pengadaan barang dan jasa daripada investasi untuk menciptakan pengetahuan,” ujarnya dalam sebuah wawancara daring dengan Tim Riset Katadata pada awal November 2020.

Advertisement

Veronica Taylor menjadi bagian dalam penyusunan kajian bertajuk “Making Indonesia’s Research and Development Better: Stakeholder Ideas and International Best Practices” yang dilakukan bersama Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG).

Berdasarkan data Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi (Kemenristek/BRIN), rasio anggaran riset terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Expenditure on Research and Development (GERD) masih minim. Angkanya baru mencapai 0,3 persen pada 2018. Masih jauh dari rasio minimal 1 persen.

Menurut Veronica, pola pikir yang masih birokratis juga membuat kebijakan dan perencanaan pendanaan penelitian menjadi kaku. Pendanaan riset pun belum berbasis misi nasional (mission-based) melainkan masih berbasis institusional.

Oleh karena itu, pemerintah sebagai investor utama riset dan pengembangan perlu melakukan perbaikan tata kelola. Perbaikan ini utamanya mencakup dua hal yakni peningkatan komitmen negara untuk pendanaan riset dan perbaikan mekanisme pendanaan. Dengan begitu bisa sesuai dengan karakteristik kegiatan riset dan inovasi.

Hal tersebut perlu juga ditunjang oleh berbagai pemangku kepentingan sehingga dana penelitian tidak hanya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebab sebesar 83,8 persen anggaran riset masih berasal dari APBN. Oleh karenanya diperlukan diversifikasi pendanaan, salah satunya melalui peran swasta.

Untuk mendorong peran swasta, Veronica menilai pemerintah perlu membuat skema yang memudahkan akses bagi berbagai pemangku kepentingan untuk bersinergi.

“Pemerintah harus mengikutsertakan dan mengawinkan industri dengan perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah secara bersamaan,” katanya.

Selain itu, Veronica menuturkan, pemanfaatan dana riset untuk meningkatkan kualitas peneliti dapat mendorong terwujudnya ekosistem riset yang ideal. Carannya antara lain dengan mendorong peningkatan jumlah gelar doktor (PhD) serta memberikan pelatihan dan beasiswa.

Dengan upaya yang diusulkan di atas, Ia menambahkan bahwa harapannya dalam lima tahun ke depan Indonesia akan punya komunitas sarjana yang terampil dan mampu menghasilkan riset berkualitas tinggi.

Investasi pada riset dan pengembangan merupakan salah satu elemen dalam pemulihan pascapandemi. Hal ini diungkapkan Ekonom Australian National University (ANU) Hal Hill saat menyampaikan paparan pada acara “Economic dimensions of Covid-19 in Indonesia: Responding to Crisis” yang diselenggarakan ANU Indonesia Project.

Menurutnya, Indonesia perlu melakukan reformasi dan investasi skala besar pada sistem kesehatan nasional (SKN). Melingkupi perlindungan asuransi kesehatan yang bersifat universal, pelatihan, dan fasilitas kesehatan. Ini termasuk mengembangkan riset. “Tentu tidak bisa (diselesaikan) dengan perbaikan secara cepat,” ucapnya.

Sebelumnya, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan pentingnya peran riset dalam pemulihan pascapandemi. Seperti dilansir dari siaran pers dari Kemenristek/BRIN.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement