Credit: Katadata/Joshua Siringo Ringo

Penulis: Dimas Jarot


Mobilitas warga memang berkurang semenjak pandemi Covid-19 melanda. Namun kualitas udara Jakarta relatif tidak mengalami perubahan. Pada 2019 berdasarkan data IQAIR, rata-rata konsentrasi PM2.5 sebesar 49,4 µg/m³, kemudian turun menjadi 39,6 µg/m³.

Meski mengalami penurunan, kualitas udara di Jakarta masih dalam kategori tidak sehat bagi kelompok sensitif. Bahkan dilihat secara bulanan, konsentrasi PM2.5 di Jakarta sempat mencapai titik tertinggi yakni 57,9 µg/m³ pada Juni 2020. Dengan konsentrasi PM2,5 sebesar itu, kualitas udara Jakarta masuk kategori merah atau tidak sehat.

Data aplikasi pengukur kualitas udara Nafas, juga menunjukkan hal serupa. Sepanjang tahun lalu, nilai indeks kualitas udara di Jakarta Selatan mencapai titik tertingginya sebesar 177 poin atau masuk kategori tidak sehat pada 25 Juni 2020.

Setelahnya, nilai indeksnya menurun hingga titik terendah sebesar 29 poin pada 14 Desember 2020. Namun, angkanya kembali melonjak menjadi sebesar 161 poin pada 23 Januari 2021. Kondisi ini relatif tidak mengalami perubahan pada 29 Agustus 2021. Padahal ketika itu, pemerintah masih menerapkan PPKM level 3 untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya.

“Kalau kita lihat ke PPKM yang ada level 3-4 pada Juli 2021, itu nggak ada perubahan polusi udara sama sekali. Padahal itu sudah full lockdown,” kata Co-founder dan Chief Growth Officer Nafas, Piotr Jakubowski kepada Katadata.co.id pada Selasa, 2 November 2021.

edus kualitas udara grafik 3

Masih tingginya polusi udara di Jakarta lantaran banyak orang yang beralih menggunakan kendaraan pribadi selama pandemi Covid-19. Mereka khawatir tertular tertular Covid-19 saat bepergian dengan kendaraan umum. Hal ini terlihat dari hasil survei Katadata Insight Center (KIC) bahwa separuh responden di Jakarta dan sekitarnya memilih menggunakan kendaraan pribadi.

Lebih lanjut, meski mobilitas warga berkurang, jumlah kendaraan yang lalulalang di ibu kota tak banyak berubah. Bahkan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah kendaraan di ibu kota meningkat 1,7% dari 19,8 juta unit pada 2019 menjadi 20,2 juta unit pada 2020.

Bila dirinci, peningkatan kendaraan tertinggi di Jakarta berasal dari sepeda motor, yakni 1,69% dari 15,87 juta unit menjadi 16,14 juta unit. Mobil penumpang berada di urutan kedua dengan kenaikan 1,64% dari 3,31 juta unit menjadi 3,37 juta unit.

Jumlah truk di Jakarta tercatat mengalami peningkatan 1,47% dari 669,7 ribu unit menjadi 679,7 ribu unit. Sementara, jumlah bus naik 1,02% dari 34,9 ribu unit menjadi 35,3 ribu unit.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto mengakui hal ini. Menurutnya, polusi udara yang terjadi di Jakarta, bahkan selama pandemi Covid-19, paling banyak disebabkan kendaraan bermotor.

“Apalagi Jakarta sudah kembali normal, sudah turun ke PPKM level 1. Dari sisi pandemi Covid-19 itu alhamdulillah, tapi kalau bicara pencemaran udara pasti akan meningkat lagi,” kata Asep pada Rabu, 3 November 2021.

Berdasarkan riset Vital Strategies dan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang dipublikasikan pada 2020, proporsi polutan dari asap kendaraan mencapai hampir separuh dari total konsentrasi PM2.5 yang ada di ibu kota. Walau demikian, asap kendaraan bukanlah satu-satunya polutan di Jakarta.

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Budi Haryanto mengatakan, pembakaran batu bara dari industri juga menjadi salah satu yang menyebabkan masalah polusi udara di provinsi yang dipimpin Anies Baswedan tersebut.

Data Vital Strategies dan ITB mencatat, proporsi polutan dari sumber tersebut mencapai 14% saat musim kemarau. Ada pula polutan yang bersumber dari konstruksi, pembakaran terbuka, aerosol sekunder, debu jalan, dan garam laut.

“Kalau di Jakarta, Dinas Perhubungan mengklaim sekitar 75% sumbernya dari kendaraan bermotor. Kedua dari industri. Ketiga dari rumah tangga, kemudian dari yang lain-lain,” kata Budi.

Lebih lanjut, faktor geografis juga mempengaruhi kualitas udara Jakarta. Budi mencontohkan, lokasi Jakarta yang berada di wilayah pesisir membuat angin bertiup ke arah utara dan barat laut ketika malam hari. Hal tersebut pun membawa polutan yang ada di wilayah Jakarta Selatan, Bogor, Depok, dan Bekasi ke Jakarta Pusat dan Jakarta Utara.

Untuk diketahui, Bogor, Depok, dan Bekasi memiliki sejumlah industri yang berpotensi menyebabkan pencemaran udara. Berdasarkan data BPS Jawa Barat, terdapat 2.769 industri di Bekasi, 1.220 industri di Bogor, dan 146 industri di Depok pada 2018.

Sebaliknya ketika siang hari, angin laut yang bertiup ke arah selatan membawa polutan udara dari wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Pusat. “Karena terhambat oleh banyaknya gedung-gedung bertingkat, sehingga kecepatannya berkurang dan kemudian kekuatan anginnya hanya sampai ke wilayah Jakarta Selatan dan Depok,” kata Budi.

RISIKO KESEHATAN MENGINTAI

Buruknya kualitas udara di Jakarta berpotensi menyebabkan masalah kesehatan yang serius. Banyak zat penyebab polusi, seperti sulfat, nitrat, dan arang karbon dapat menyebabkan penyakit, mulai dari saluran pernapasan bagian atas, paru-paru, jantung, hingga organ tubuh lainnya.

Survei Katadata Insight Center (KIC) tentang “Persepsi Masyarakat terhadap Kualitas Udara di Indonesia” pada 23-29 Agustus 2021 menunjukkan, polusi udara telah menyebabkan terjadinya batuk dan bersin, sakit kepala, iritasi mata, hidung, tenggorokan, dan kulit, kelelahan, iritasi kulit, dan sesak napas.

Bahkan, berdasarkan kalkulasi yang dilakukan Berkeley Earth merujuk riset Arden Pope, konsentrasi PM2.5 sebesar 22 µg/m³ yang dihirup masyarakat setara dengan satu batang rokok per hari. Berdasarkan data Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit atau CDC Amerika Serikat, merokok dapat meningkatkan risiko penyakit jantung koroner 2-4 kali, stroke 2-4 kali, dan kanker paru-paru hingga 25 kali.

Dengan konsentrasi PM2.5 rata-rata sebesar 39,6 µg/m³ pada 2020, maka warga Jakarta sama saja mengisap 1,8 batang rokok setiap harinya. Dalam sebulan, maka polusi udara yang dihirup warga Jakarta sama dengan 54 batang rokok.

edus kualitas udara grafi 4

Dengan berbagai risiko kesehatan tersebut, tak heran jika Air Quality Life Index (AQLI) memperkirakan rata-rata warga Jabodetabek dapat kehilangan 6,5 tahun angka harapan hidup (AHH) akibat menghirup polusi udara. Menurut BPS,angka harapan hidup di Jakarta sebesar 74,8 tahun. Artinya, polusi udara di Jakarta dapat menyebabkan usia warga Jakarta hanya sampai 68,3 tahun.

Greenpeace Asia Tenggara juga memperkirakan polusi udara bisa menyebabkan 13 ribu kematian di Jakarta pada 2020. Kerugian ekonomi akibat berkurangnya produktivitas dari total kematian tersebut pun mencapai US$ 3,4 miliar.

“Perkiraan ini menunjukkan perlunya penekanan publik yang lebih besar pada pencegahan dan pengendalian polusi udara serta investasi dalam pembersihan dan teknologi pemantauan udara,” kata lembaga tersebut, seperti dikutip dari IQAir.

Tim Produksi

Koordinator

Aria W. Yudhistira

Penulis

Cindy Mutia Annur, Dimas Jarot, Monavia Ayu Rizaty, Ratri Kartika

Editor

Yura Syahrul, Aria W. Yudhistira

Desain Grafis

Lambok Hutabarat

Illustrator

Joshua Siringo Ringo

Produser

Ratri Kartika

Reporter

Dini Apriliana

Video Editor

Arfi Mustakim

Videographer

Wahyu Dwi Jayanto

Motion Grapher

Andriyansah

3D Animator

Timothy Adry Emanuel

Teknologi Informasi

Firman Firdaus, Mariana Garcia, Mohammad Afandi