Advertisement
Advertisement
Analisis | Untung Rugi Membolehkan Mudik Lebaran Tahun Ini - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Untung Rugi Membolehkan Mudik Lebaran Tahun Ini

Foto: Ilustrasi: Joshua Siringoringo/ Katadata
Pemerintah berencana membolehkan mudik lebaran tahun ini di tengah pandemi yang belum berakhir. Apalagi, saat ini ada varian baru virus corona B117 yang lebih cepat menular.
Dimas Jarot Bayu
24 Maret 2021, 07.29
Button AI Summarize

Musim mudik Lebaran tinggal hitungan bulan. Pemerintah berencana membolehkan masyarakat mudik ke kampung halaman. Kondisi ini berbeda dengan tahun lalu yang melarang mudik demi mencegah penurunan virus corona.

Salah satu alasannya adalah faktor ekonomi. Sebelum pandemi, lebaran berkontribusi lebih dari 25% terhadap pertumbuhan ekonomi secara kuartalan. Terutama didorong konsumsi yang meningkat menjelang hari raya. Lagi pula mudik akan memeratakan konsumsi, dari daerah perkotaan ke perdesaan.

Namun tahun ini sebagaimana tahun lalu, efek lebaran dinilai belum terlalu signifikan dibandingkan sebelum pandemi. “Kontribusi (lebaran) terhadap pertumbuhan ekonomi pasti ada, tapi masih relatif kecil,” kata Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad kepada Katadata.co.id pada Senin, 22 Maret 2021.

Sebabnya jumlah pemudik diperkirakan turun dibandingkan era sebelum pagebluk. Dari perkiraan Kementerian Perhubungan, jumlah penumpang angkutan umum hanya mencapai 11,89 juta orang pada tahun ini. Jumlah tersebut turun 41% dibandingkan saat lebaran 2019 yang sebanyak 20,04 juta orang.

Sementara pemudik yang menggunakan sepeda motor diperkirakan 1,2 juta atau turun 15% dibandingkan pada 2019. Jumlah pemudik dengan mobil via tol diperkirakan 2,2 juta atau turun 13%. Sementara, jumlah pemudik mobil via non-tol diprediksi sebesar 1,2 juta atau turun 2%.

Turunnya jumlah pemudik, otomatis perputaran uang di desa juga berkurang. Biasanya para pemudik yang rata-rata tinggal di kota membelanjakan sebagian penghasilannya bersama sanak keluarga di kampung halaman. “Kalau saya lihat situasi sekarang, orang mudik sudah berkurang jumlahnya,” kata Tauhid.

Selain itu, daya beli masyarakat masih terbatas karena penurunan pendapatan. Survei Indikator Politik Indonesia pada Februari 2021 mencatat, ada 72,6% responden yang pendapatannya menurun. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan pada September 2020 yang mencapai 66%.

Terbatasnya daya beli membuat masyarakat mengerem konsumsi, terutama untuk barang tersier. Sinyal lemahnya konsumsi ini terlihat dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) sebesar 85,8 pada Februari 2021. Angka tersebut berada di bawah batas optimistis 100.

Hal ini diperkuat pula oleh laporan firma Ernst and Young (EY) bertajuk “Future Consumer Index (FCI)”. Disebutkan 50% responden di Indonesia mengutamakan belanja bahan makanan segar saat pandemi. Sebanyak 35% responden memprioritaskan uangnya untuk membeli produk rumah tangga dan kebersihan rumah.

Selain itu, 54% responden mengaku mengurangi belanja barang mewah dan hiburan/kesenangan lainnya. Sedangkan, 47% responden mengurangi pengeluaran untuk barang-barang mahal, seperti furnitur.

“Akibat pandemi perilaku konsumen Indonesia telah bergeser. Mereka lebih fokus membeli barang kebutuhan pokok, mengurangi kunjungan fisik ke toko, dan mengurangi belanja barang tidak penting,” kata Head of EY-Parthenon Indonesia Iwan Margono dalam keterangan tertulisnya pada Jumat, 19 Maret 2021.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira