Advertisement
Advertisement
Analisis | Risiko Maraknya Pekerja “Freelance” di Masa Pandemi - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Risiko Maraknya Pekerja “Freelance” di Masa Pandemi

Foto: Ilustrasi: Joshua Siringo Ringo/ Katadata
Jumlah pekerja bebas atau freelancer meningkat selama pandemi Covid-19. Namun, kondisi mereka rentan karena tidak memiliki perlindungan. Pemerintah perlu membuat aturan yang dapat melindungi mereka.
Dwi Hadya Jayani
25 Maret 2021, 08.56
Button AI Summarize

Pandemi Covid-19 telah menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan. Fahri (24) salah satunya. Pada Juli tahun lalu, dia harus berhenti dari perusahaan tempatnya bekerja. Perusahaan itu merupakan startup di bidang HRD yang terkena imbas krisis.

Beruntung sebulan kemudian dia segera mendapatkan pekerjaan baru. Namun bukan sebagai pekerja tetap seperti sebelumnya, kali ini dia menjadi pekerja bebas atau freelancer di bidang IT. “Susah cari kerja, ada tawaran kerja sambilan ya diambil,“ katanya sambil tertawa saat berbincang dengan Katadata.co.id, Kamis 18 Maret 2021 lalu.

Meski jam kerjanya sama, sebagai pekerja bebas penghasilan dan insentif yang diterimanya jauh berkurang dari sebelumnya. Upah yang diterima Fahri naik turun, sesuai durasi pekerjaannya. “Kadang tinggi kalau ambil full time. Tapi load kerja juga naik. Kerja enam hari dan sering lembur,” tuturnya.

Fahri adalah salah satu pekerja yang beralih menjadi freelancer akibat pandemi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah mereka meningkat, berbeda dengan pekerja formal yang justru menurun.

Pekerja bebas, baik di sektor pertanian maupun non-pertanian, naik masing-masing 12% dan 5% pada Agustus 2020 dibandingkan tahun sebelumnya. Jumlah pekerja bebas di sektor pertanian mencapai 5,9 juta orang dan di non-pertanian 7,2 juta orang pada Agustus 2020. Sementara pekerja formal malah turun hingga 11%.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan, peningkatan jumlah pekerja bebas salah satunya didorong oleh pekerja yang dirumahkan karena pandemi. Mau tak mau mereka harus mencari sumber penghasilan lain.

“Memang ada juga yang sudah freelancer sejak sebelum pandemi, seiring pertumbuhan startup atau ekonomi digital,” kata Bhima saat dihubungi Katadata.co.id pada Rabu, 17 Maret 2021. “Jadi banyak yang bekerja dari rumah dan bisa melayani banyak perusahaan. Ini umumnya pekerja bebas yang taraf pendidikannya relatif tinggi.”

BPS membagi status pekerja ke dalam dua bagian, yakni buruh/ karyawan/ pegawai dan pekerja non-buruh. Pekerja non-buruh ini terdiri dari pekerja bebas di pertanian dan pekerja bebas di non-pertanian.

Namun kebijakan upah di Indonesia hanya mengatur mereka yang bekerja formal melalui Upah Minimum Provinsi (UMP). Sementara upah pekerja bebas tidak diatur, karena dinilai berdasarkan kesepakatan harga antara pemberi dan penerima kerja. Sebutan terhadap uang hasil kerja yang diterima pun berbeda. Pekerja formal disebut upah, sedangkan freelancer disebut pendapatan.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira