Advertisement
Advertisement
Analisis | Indonesia dalam Ancaman Krisis Regenerasi Petani - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Indonesia dalam Ancaman Krisis Regenerasi Petani

Foto: Ilustrasi: Joshua Siringo ringo/ Katadata
Semakin sedikit anak muda berprofesi sebagai petani. Selain pendapatan dari sektor pertanian dinilai kurang menjanjikan, Indonesia menghadapi alih fungsi lahan produktif ke perindustrian dan infrastruktur jalan.
Dimas Jarot Bayu
1 April 2021, 08.33
Button AI Summarize

Indonesia pernah dikenal sebagai negara agraris. Bukan karena Koes Plus bilang “tanah kita tanah surga“, melainkan banyak penduduk di negeri ini yang bermata pencarian sebagai petani.

 Namun negeri ini berpotensi kehilangan profesi petani. Musababnya pekerja di sektor pertanian yang terus berkurang dari masa ke masa. Seperti yang ditunjukkan data Bank Dunia, bahwa proporsi penduduk yang bekerja sebagai petani menyusut tinggal 28,5% pada 2019.

Padahal tiga dekade sebelumnya jumlahnya mencapai 55,5% dari total angkatan kerja. Sementara di sektor lain, justru meningkat. Seperti industri yang naik dari 15,2% pada 1991 menjadi 22,36% pada 2019. Kenaikan lebih pesat terjadi pada sektor jasa dari 29,3% menjadi 49,1%.

Tak heran jika Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi, 42 tahun mendatang Indonesia tak lagi mempunyai petani bila tren tersebut terus berlanjut.

"Mungkin pada 2063 tidak ada lagi yang berprofesi sebagai petani seperti yang kita kenal," ujar Plt Direktur Pembangunan Daerah Kementerian PPN/Bappenas Mia Amalia dalam webinar “Sistem Pangan dan Perencanaan Kota” pada Selasa, 23 Maret 2021.

Data Bank Dunia tersebut sejalan dengan hasil Sensus Pertanian yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS). Jumlah rumah tangga yang melakukan usaha pertanian cenderung fluktuatif. Pada 2003 tercatat ada 31,2 juta rumah tangga, lalu turun menjadi 26,1 juta pada 2013.

Pada 2018 memang ada peningkatan jumlah rumah tangga petani sebesar 6,1% menjadi 27,7 juta dibandingkan pada 2013. Namun dilihat dari proporsi umur makin sedikit kelompok usia muda yang menjadi petani. Rumah tangga pertanian, oleh BPS didefinisikan sebagai rumah tangga yang sekurangnya ada satu orang anggota melakukan kegiatan produksi pertanian.

Kenaikan jumlah rumah tangga pertanian pada 2018, hanya terjadi pada petani berusia di atas 45 tahun. Bahkan kenaikan tertinggi terjadi pada kelompok usia di atas 65 tahun sebesar 24% menjadi 4,1 juta rumah tangga. Begitu juga dengan kelompok usia 55-64 tahun yang meningkat 20% menjadi 6,3 juta rumah tangga.

Sementara kelompok usia 45-54 tahun hanya naik 7%. Namun kelompok usia produktif di bawah 45 tahun justru mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan petani sebagai profesi orang tua bukan kalangan muda. Tak hanya dalam skala rumah tangga, secara individual petani usia muda pun cenderung berkurang, seperti yang ditunjukkan dalam grafik di bawah ini.

Rendahnya minat anak muda menjadi petani disebabkan pendapatan yang rendah. Berdasarkan data BPS per Agustus 2020, rata-rata upah pekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan hanya sebesar Rp 1,92 juta per bulannya, terendah dari 17 sektor yang ada.

Pendapatan yang rendah bisa menjadi salah satu pendorong terjadinya pergeseran pekerjaan penduduk, sebagaimana yang ditunjukkan data Bank Dunia di awal tulisan ini. Rata-rata upah pekerja tertinggi berasal dari sektor pertambangan dan penggalian, yakni sebesar Rp 4,48 juta per bulan.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira