Advertisement
Analisis | Roller Coaster Harga Bitcoin, Kemana Arah Selanjutnya? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Roller Coaster Harga Bitcoin, Kemana Arah Selanjutnya?

Foto: Ilustrasi: Joshua Siringo Ringo/ Katadata
Gelembung harga Bitcoin sejak awal tahun ini dikhawatirkan bakal meletus dan kembali jatuh seperti 2017 silam. Namun, yang berbeda dengan masa lalu, ekosistem uang kripto saat ini sudah dilirik institusi-institusi keuangan besar sebagai koleksi portofolio investasinya. Di sisi lain, masih ada ancaman dari bank sentral.
Andrea Lidwina
24 April 2021, 07.30
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Harga uang kripto melonjak pada awal 2021. Bitcoin, misalnya, harganya naik hampir 10 kali lipat dalam kurun setahun. Dari sekitar US$ 6-8 ribu pada akhir April 2020 menjadi US$ 63.503 per koin pada 13 April 2021. Titik tertinggi nilai mata uang yang diklaim para investornya mampu mendesentralisasikan dan independen dari otoritas keuangan, kemudian beranjak turun.

Penurunan tersebut menerbitkan kekhawatiran akan mengulang kejatuhan harga Bitcoin pada 2017-2018. Kala itu, nilai Bitcoin melonjak dari sekitar US$ 1.000 per koin pada awal tahun menjadi US$ 19 ribu pada Desember 2017. Lalu merosot hingga ke level US$ 3-4 ribu pada akhir tahun berikutnya.

Shaen Corbet, Brian Lucey, dan Larisa Yarovaya dalam tulisannya “Datestamping the Bitcoin and Ethereum Bubbles” yang terbit di Finance Research Letters (September 2018) mengatakan, kejatuhan pada waktu itu memang disebabkan oleh gelembung (bubble) karena kenaikan harga Bitcoin dinilai tidak sesuai fundamentalnya.

Apalagi ekosistem uang kripto ketika itu didominasi oleh investor individu. Menurut profesor keuangan dari University of Reading, Andrew Urquhart, kebanyakan dari mereka tertarik membeli Bitcoin karena dinilai langka dan berada di luar arus utama (mainstream) sistem keuangan dunia.

Kondisi ini didorong tekanan psikologi di era digital, yakni takut ketinggalan tren yang sedang berjalan atau yang sering dikenal dengan akronim FOMO (fear of missing out). “Pasar mata uang kripto 2017 memang menunjukkan tanda-tanda bubble keuangan klasik dan investor membeli dalam kondisi fear of missing out,” kata Urquhart dikutip dari The Conversation.

Situasi pada waktu itu diperparah oleh sejumlah negara yang diketahui melarang transaksi uang kripto. Sebelumnya Departemen Kehakiman Amerika Serikat menyita aset Bitcoin senilai US$ 1 miliar pada 2013. Penyitaan itu seiring pengungkapan situs perdagangan gelap, Silk Road. Uang kripto dipakai sebagai alat transaksi di situs itu, sehingga dinilai lekat dengan kriminalitas dan pencucian uang.  

Sedangkan kenaikan harga Bitcoin saat ini cenderung dipengaruhi masuknya sejumlah institusi besar ke dalam pasar mata uang kripto. Dua bank asal Amerika Serikat, Goldman Sachs dan Morgan Stanley, akan menawarkan Bitcoin dalam portofolio investasinya. Sebelumnya, PayPal juga telah memungkinkan transaksi menggunakan uang kripto.

Bitcoin bisa digunakan untuk membayar produk dan layanan yang bekerja sama dengan PayPal. Berdasarkan laporan Bloomberg Crypto Outlook 2021, penggunaan mata uang kripto untuk pembayaran pun meningkat dari US$ 640 juta pada kuartal I-2020 menjadi US$ 1,6 miliar pada Januari-Maret 2021.

Data Bitcoin Treasuries menunjukkan ada 33 perusahaan terbuka yang terang-terangan berinvestasi uang kripto. MicroStrategy misalnya, memiliki 91.579 koin, yang awalnya senilai US$ 2,2 miliar pada pertengahan 2020 menjadi US$ 5 miliar saat ini. Lalu, CEO Tesla Elon Musk membeli 48 ribu Bitcoin dengan total US$ 1,5 miliar pada Februari 2021. Harga seluruhnya kini sudah naik 1,8 kali lipat.

JP Morgan, salah satu institusi keuangan terbesar di Amerika Serikat, pun diketahui tertarik dengan uang kripto. Perusahaan itu diketahui telah menyiapkan infrastruktur blockchain internal. Blockchain merupakan sistem digital yang memungkinkan transaksi keuangan bisa dilakukan secara terdesentralisasi tanpa perantara, seperti pada uang kripto.

Perusahaan ini menciptakan JPM Coin, token digital yang digunakan untuk kepentingan transaksi internal. Selain juga mulai mengizinkan kliennya melakukan transaksi menggunakan Coinbase dan Gemini, dua uang kripto yang diizinkan pemerintah Amerika Serikat.

“Kami selalu percaya potensi teknologi blockchain, dan kami mendukung mata uang kripto sepanjang dikontrol dan diatur dengan benar,” kata Umar Farooq, CEO Onyx, sebuah unit JP Morgan yang mengembangkan blockchain, seperti dikutip dari Yahoo Finance.

Apa yang terjadi di JP Morgan merupakan pergeseran besar yang terjadi di bank investasi tersebut. Pada September 2017, CEO JP Morgan Jamie Dimon menyebut Bitcoin sebagai yang aset terburuk dan penipuan.

Jika ada karyawan JP Morgan yang menjual uang kripto, Dimon tak berpikir panjang untuk langsung memecatnya. “Saya akan memecatnya saat itu juga, untuk dua alasan: karena melanggar kebijakan kami dan mereka bodoh. Keduanya berbahaya!” ujar dia dilansir dari Yahoo Finance.

Masuknya institusi-institusi keuangan besar ke dalam ekosistem uang kripto menambah kuat fundamentalnya. Hal ini yang tidak terjadi saat terjadi bubble pada 2017 lalu. Alhasil penurunan harga Bitcoin tidak terlalu dikhawatirkan para investornya karena cenderung disebabkan aksi ambil untung.

Meski sejumlah negara diketahui ingin memperketat regulasi yang melarang transaksi uang kripto, seperti di Turki dan India. Sementara Tiongkok berencana membuat uang digital. Departemen Keuangan Amerika Serikat pun dikabarkan akan memperketat aturan dan menindak pencucian uang pada aset digital.

Pendiri perusahaan layanan finansial Galaxy Digital Holdings Mike Novogratz mengatakan penurunan harga Bitcoin merupakan koreksi yang sehat. “Kita akan baik-baik saja dalam jangka menengah sebab banyak institusi yang masuk (ke pasar mata uang kripto),” katanya dilansir dari Bloomberg.

Masa Depan Mata Uang Kripto

Masuknya investor institusional dalam ekosistem Bitcoin membuat kepercayaan dan kemudahan aksesnya semakin meningkat. Ekosistem, teknologi, dan informasi yang mendukung perdagangan mata uang kripto juga kini jauh lebih matang dibandingkan empat tahun silam.

Kombinasi keduanya pun menciptakan perbaikan terhadap fundamental mata uang ini, yang sekaligus mendorong lonjakan harga. Sejumlah investor menganggap kenaikan saat ini bukan bubble yang akan pecah dan menyebabkan nilainya. Bloomberg bahkan memperkirakan Bitcoin bisa mencapai harga US$ 400 ribu pada 2021, mempertimbangkan tren harga pada tahun-tahun sebelumnya.

Meski begitu, sejumlah kalangan tetap mempertimbangkan kehati-hatian dalam berinvestasi uang kripto, seperti Bitcoin. Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengatakan, mata uang kripto merupakan aset yang spekulatif dan tidak stabil.

Menurut Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Filianingsih Hendarta, mata uang ini punya risiko tinggi di balik imbal hasilnya yang juga tinggi. Pasar mata uang kripto pun tidak lepas dari potensi kejahatan siber, seperti penipuan, pencucian uang, dan pendanaan teroris.

Di Indonesia, jual-beli mata uang kripto diatur oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Ada 229 jenis aset kripto yang bisa diperdagangkan di dalam negeri, seperti Bitcoin, Ethereum, Tether, Litecoin, dan Cardano. Jumlah aset yang diizinkan tersebut hanya sekitar 5% dari total 4.501 jenis hingga Februari 2021.

Sementara itu, ada 13 pedagang mata uang kripto yang kini terdaftar di Bappebti. Misalnya, Indodax, Tokocrypto, dan Zipmex. Para pedagang ini telah memenuhi beberapa syarat, yakni aspek tata kelola, kualifikasi sumber daya menusia, serta sistem informasi dan pengamanan. Tujuannya menghindari pihak-pihak yang bisa merugikan pasar.

Meski diperdagangkan di Indonesia, Bitcoin dan mata uang kripto lainnya dinilai tidak bisa menggantikan posisi rupiah di dalam negeri. “Bitcoin tidak bisa menjadi alat pembayaran yang sah, demikian juga dengan mata uang kripto lainnya,” kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo pada 25 Februari 2021.

Karena itu, Bank Indonesia tengah merumuskan penerbitan mata uang digital bank sentral (central bank digital currency) bersama bank sentral negara-negara lain. Mata uang ini akan diedarkan melalui perbankan dan fintech.

Editor: Aria W. Yudhistira