Advertisement
Advertisement
Analisis | Beda Nasib Lonjakan Kasus Covid-19 di Inggris dengan Indonesia - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Beda Nasib Lonjakan Kasus Covid-19 di Inggris dengan Indonesia

Foto: Joshua Siringo Ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Inggris dan Indonesia sama-sama mengalami lonjakan kasus Covid-19 akibat merebaknya varian Delta sejak awal Juni lalu. Bedanya, Inggris mampu mengurangi tingkat keparahan pasien, sehingga jumlah kematiannya minim. Sedangkan Indonesia beberapa kali mencetak rekor kematian.
Andrea Lidwina
29 Juli 2021, 07.58
Button AI Summarize

Gelombang baru penularan Covid-19 melanda dunia, terutama disebabkan munculnya varian baru yang memiliki daya tular lebih cepat. Di tanah air, hingga 26 Juli 2021 pertambahan kasusnya mencapai rata-rata 40 ribu per hari. Meski sudah mulai meninggalkan puncak pertambahan di atas 50 ribu pada 18 Juli, tapi belum kembali ke kondisi sebelumnya yang hanya lima ribuan kasus per hari.

Tak hanya Indonesia, Inggris pun tengah mengalami ledakan kasus Covid-19. Salah satunya imbas pelaksanaan Piala Eropa 2020. Jumlah kasus baru tercatat sebanyak 36.055 kasus per hari dalam satu pekan terakhir. Angka ini masih lebih tinggi dari kisaran sebelumnya yang sebesar 2-3 ribu kasus per hari.

Meskipun pertambahan kasus harian relatif sama, angka kematian Covid-19 di Inggris jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia. Angka kematian di negeri Ratu Elizabeth II itu kini hanya sekitar 65 orang per hari. Sedangkan Indonesia terus mencetak rekor baru, bahkan mencapai 1.407 orang per hari.

Perbedaan tren kematian kedua negara dipengaruhi oleh program vaksinasi. Berdasarkan data Our World in Data, Inggris sudah menyuntikkan vaksin dosis pertama terhadap 68,6% populasinya dan sebanyak 54,7% telah divaksinasi dosis kedua. Sementara itu, cakupan vaksinasi di Indonesia masih sangat rendah, yakni 16,3% dari populasi untuk dosis pertama dan 6,5% untuk dosis kedua.


Belajar dari Kesalahan Inggris di Awal Pandemi

Keberhasilan Inggris menekan jumlah korban Covid-19 tidak serta merta terjadi. Pada awal pandemi, negara itu juga kewalahan dalam menangani pandemi. Pemerintahan Perdana Menteri Boris Johnson, seperti dikutip dari TIME, mengabaikan panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk melakukan tes dan pelacakan masif.

Mereka percaya diri lantaran merasa infrastruktur kesehatannya lebih kuat dalam menangani krisis kesehatan. Akibatnya, Inggris gagal mendeteksi Covid-19 sejak dini dan baru menerapkan karantina wilayah (lockdown) ketika virus sudah menyebar luas.

Apalagi pemerintah ketika itu sempat menerapkan strategi herd immunity. Strategi ini membiarkan infeksi tinggi terjadi di masyarakat sehingga tercipta kekebalan kelompok dengan sendirinya. Namun, langkah itu menyebabkan angka kematian naik tajam hingga hampir 1.000 kasus per hari pada April 2020.

Tekanan terhadap infrastruktur kesehatan semakin kuat ketika varian baru Covid-19, yakni B117 atau Alfa mulai menyebar sejak September 2020. Varian ini memiliki tingkat penularan 29% lebih tinggi dari varian asli. Karena itu, jumlah kasus baru terus menanjak sejak pertengahan Desember 2020. Begitu pula dengan kasus kematian yang mencetak rekor sepanjang pandemi, yakni rata-rata 1.253 kasus per hari pada 23 Januari 2021.

Namun di tengah lonjakan kasus Covid-19, Inggris juga menggenjot program vaksinasinya. Suntikan vaksin pertama diberikan pada 8 Desember 2020 untuk penduduk lansia dan tenaga kesehatan, lalu berlanjut pada kelompok usia lebih muda. Jumlah vaksinasi harian yang sekitar 1.000 dosis per satu juta penduduk pada akhir tahun naik menjadi 4-5 ribu dosis per satu juta penduduk pada Januari 2021.

Angkanya pun mencapai kisaran delapan ribu dosis per satu juta penduduk setiap hari pada Maret dan Mei 2021. Sementara itu, jumlah dosis yang diberikan tercatat sekitar tiga ribu dosis per satu juta penduduk pada Juli 2021. Alhasil, Inggris mampu memvaksinasi mayoritas penduduknya dan menekan kasus kematian akibat Covid-19.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira