Advertisement
Analisis | Dampak Ekonomi dan Emisi Karbon dari Ajang Formula E Jakarta - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Dampak Ekonomi dan Emisi Karbon dari Ajang Formula E Jakarta

Foto: Joshua Siringo-ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Di luar soal bisnis, Formula E ingin mengampanyekan visi global pengurangan emisi karbon melalui kendaraan listrik.
Adi Ahdiat
18 Mei 2022, 06.54
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Ajang balapan mobil listrik internasional Formula E, yang akan digelar di Jakarta pada 4 Juni 2022, bukan sekadar ajang kebut-kebutan belaka. Provinsi DKI Jakarta mengklaim, Formula E dapat menciptakan dampak ekonomi, finansial, dan reputasi bagi Indonesia.

“Dampak ekonomi adalah multiplier effect yang ditimbulkan gelaran Formula E, dampak finansial merupakan keuntungan yang didapat oleh Jakpro, dan dampak reputasional memberi pesan bahwa Indonesia back to business,” terang Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik (Diskominfotik) Provinsi DKI Jakarta dalam dokumen Katanya vs Faktanya Formula E yang dirilis pada 29 September 2021. 

Namun di luar soal bisnis, Formula E ingin mengampanyekan visi global pengurangan emisi karbon melalui kendaraan listrik. Menurut Direktur Keberlanjutan Formula E Julia Pallé, tujuan utama Formula E untuk mendorong adopsi kendaraan listrik.

“Untuk mempromosikan praktik berkelanjutan, meningkatkan kesadaran akan manfaat penggunaan kendaraan listrik yang dapat menangkal perubahan iklim,” ujarnya dalam siaran pers Senin, 21 September 2020. 

Ajang Kompetisi Inovasi Teknologi

Formula E berupaya mendorong adopsi kendaraan listrik dan gaya hidup berkelanjutan melalui banyak cara. Salah satunya dengan merangsang inovasi mobil elektrik berkecepatan tinggi, efisien, dan ramah lingkungan.

Sejak 2012, Formula E Operations Ltd (FEO) selaku principal atau perusahaan pemilik merek Formula E telah mengembangkan mobil balap roda terbuka (open-wheel car) berbasis baterai listrik yang disebut “Gen 1”.

Mobil Gen 1 dijadikan standar kendaraan untuk seluruh tim pembalap dan pabrikan peserta Formula E, mulai dari musim balapan pertama tahun 2014 sampai musim keempatnya yang berakhir pada Juni 2018.

Tidak berhenti di situ, FEO pun terus berinovasi hingga melahirkan mobil Gen 2 pada 2018 serta Gen 3 pada 2022. Di setiap generasi barunya, FEO melakukan perbaikan pada kualitas dan efisiensi baterai, kemampuan akselerasi mobil, serta menambah porsi material daur ulang dalam proses produksinya.

Mobil Formula E keluaran terbaru, yakni Gen 3 yang diluncurkan pada Kamis, 28 April 2022, tercatat memiliki kecepatan maksimum hingga 200 miles per hour (mph) atau sekitar 321,89 km/jam. Angka ini menyamai kecepatan mobil Tesla Model S Plaid, yang banyak disebut-sebut sebagai mobil listrik tercepat di dunia.

Mobil Gen 3 juga diklaim sebagai mobil balap elektrik paling efisien karena 40% energinya berasal dari mekanisme rem regeneratif (regenerative braking). Artinya, Gen 3 dapat mengubah energi kinetik hasil pengereman menjadi energi listrik, yang kemudian digunakan untuk mengisi ulang baterai saat mobil sedang melaju di sirkuit.

Konstruksi bodi mobil Gen 3 dilaporkan terbuat dari serat karbon hasil daur ulang. Baterai beserta bannya pun bisa didaur ulang secara keseluruhan.

“Di jantung filosofinya, Formula E adalah laboratorium untuk mengembangkan teknologi bersih untuk semua,” kata salah satu pendiri FEO Alejandro Ajag dalam Formula E Season 4 Sustainability Report (2019).

Selama periode 2014-2022 tercatat sudah ada 11 tim pabrikan mobil yang bergabung di “laboratorium” ini. Semua peserta saling berlomba mengembangkan mobil listrik tercepat, terefisien, seraya mengejar standar keberlanjutan lingkungan dalam proses produksinya.

Strategi Formula E Mencapai Nol-Emisi Karbon 

Berdasarkan perhitungan FEO, proses produksi dan penggunaan mobil balap Formula E hanya menyumbang sekitar 1% dari total emisi karbon yang dihasilkan selama satu musim balapan.

Sedangkan sekitar 72% emisi karbon ajang Formula E berasal dari aktivitas kargo, yang meliputi pengangkutan mobil balap serta logistik seluruh tim pabrikan dari satu negara ke negara lainnya.

Aktivitas perjalanan staf FEO antarnegara juga menghasilkan jejak karbon cukup besar, dengan persentase 14%. Sedangkan emisi dari mobilitas penonton, konsumsi makanan-minuman, serta kebutuhan operasional selama acara terbilang rendah dengan persentase masing-masing di bawah 10%. 

Menurut data yang tercatat dalam Formula E Sustainability Report, proporsi sumber emisi tersebut tidak mengalami perubahan signifikan dari tahun ke tahun.

Meski begitu, total bobot emisi karbonnya tercatat fluktuatif, seiring dengan perubahan jumlah peserta, jumlah negara tuan rumah yang terlibat, serta jarak antarnegara lokasi balapan. 

Emisi karbon formula E mencapai titik tertinggi pada musim balapan kelima periode 2018/2019, dengan total bobot emisi 45.000 ton ekuivalen karbon dioksida (CO2e).

Peningkatan terjadi karena pada musim balapan tersebut Formula E menyelenggarakan balapan di 11 negara berbeda, terbanyak sepanjang sejarahnya. Hal ini tentu sangat berdampak pada naiknya bobot emisi karbon dari aktivitas kargo dan perjalanan internasional para stafnya. 

Emisi karbon sebesar 45.000 ton CO2e, yang menjadi emisi terparah sepanjang sejarah Formula E, sesungguhnya masih jauh lebih rendah ketimbang emisi ajang Formula 1 yang menyentuh 256.551 ton CO2e per musim balapan 2019.

Namun, FEO tetap menyatakan komitmen untuk mengurangi emisi karbon Formula E sebesar 45% pada 2030, dengan menjadikan bobot emisi periode 2018/2019 sebagai patokan awal.

Upaya FEO untuk mengurangi emisi karbon dilakukan dengan memprioritaskan penggunaan jasa kargo kapal laut ketimbang pesawat terbang. FEO bahkan menerapkan kebijakan pembatasan perjalanan dinas, di mana hanya staf sangat penting yang dikirim ke negara-negara tuan rumah sepanjang musim balapan.

FEO juga tercatat sudah menerapkan skema pengimbangan karbon atau carbon offsetting. Dengan skema ini FEO berupaya mengimbangi emisi karbon yang tak terhindarkan dari kegiatan Formula E dengan berinvestasi pada proyek-proyek berkelanjutan di sejumlah negara yang pernah menjadi tuan rumah balapannya. 

Menurut keterangan di situs resminya, FEO telah berinvestasi pada proyek Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/Angin (PLTB), Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), proyek pemanfaatan biogas, serta program reduksi emisi dinitrogen oksida (N2O) dari sektor pertanian.

Jika diakumulasikan, sampai awal 2022 Formula E sudah terlibat dalam proyek carbon offsetting di 8 negara, dengan total estimasi pengurangan emisi sebesar 4,33 juta ton CO2 per tahun.

Angka tersebut jauh di atas emisi karbon tahunan Formula E, bahkan jauh melampaui akumulasi bobot emisi karbonnya selama 7 tahun yang hanya sebesar 161.100 ton CO2e pada periode 2014-2021.

Hal tersebut membuat Formula E didaulat sebagai satu-satunya ajang balap mobil yang menerapkan nol-emisi karbon atau net zero carbon emissions. Artinya, jumlah emisi yang dihasilkan dari seluruh rangkaian kegiatan Formula E tidak melampaui jumlah emisi yang mampu diserap oleh bumi.

"Salah satu momen saya yang paling membanggakan adalah saat Formula E diakui sebagai ajang olahraga pertama dalam sejarah yang memiliki sertifikat net zero carbon sejak awal kelahirannya," kata CEO Formula E Jamie Reigle dalam Formula E Season 6 Sustainability Report (2020).

"Jarang ada ajang olahraga yang memiliki tujuan lebih besar dari olahraga itu sendiri, tapi Formula E punya itu," pungkas Jamie Reigle.

Menyelaraskan Formula E Jakarta dengan Visi Global

Sebagai salah satu negara tuan rumah Formula E di periode 2021/2022, Indonesia, khususnya Jakarta, berupaya menyelaraskan diri dengan berbagai visi yang diusung oleh ajang internasional ini.

Terlebih, visi Formula E terkait adopsi kendaraan listrik dan energi terbarukan tampaknya cukup relevan dengan minat masyarakat Indonesia.

Menurut laporan survei Katadata Insight Center (KIC) yang dirilis Jumat, 22 April 2022, sebagian besar masyarakat Indonesia bersedia menggunakan kendaraan listrik, baik itu berupa motor, mobil, sepeda, maupun skuter listrik. 

Sayangnya, mayoritas warga belum memiliki pengetahuan terkait energi terbarukan. Dari 4.821 responden yang disurvei di seluruh Indonesia, hanya 38,6% yang sudah pernah mendengar dan mengetahui arti “energi terbarukan”. Sedangkan 34,1% lain belum tahu artinya, dan 27,3% bahkan belum pernah mendengar sama sekali. 

Melihat kondisi tersebut, gelaran Formula E Jakarta sangat potensial dimanfaatkan sebagai sarana edukasi terkait isu kendaraan listrik dan energi terbarukan untuk masyarakat Indonesia, tentunya dengan gimik balapan yang menarik dan menghibur, tepat seperti visi yang diusung Formula E sejak awal kelahirannya.

“Kami berharap bisa menginspirasi masyarakat di seluruh dunia untuk percaya bahwa melindungi lingkungan kita bukan hanya keputusan pribadi, tapi satu-satunya keputusan yang ada,” kata CEO Formula E Jamie Reigle dalam Formula E Season 7 Sustainability Report (2021).

Editor: Aria W. Yudhistira