Advertisement
Advertisement
Analisis | Ampuhkah Larangan Ekspor Bauksit Jokowi Mengobati 'Penyakit Belanda'? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Ampuhkah Larangan Ekspor Bauksit Jokowi Mengobati 'Penyakit Belanda'?

Foto: Joshua Siringo-ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Bank Dunia memperingatkan Indonesia berpotensi terkena penyakit Belanda (Dutch Disease). Ini terlihat dari ketergantungan ekspor yang tinggi terhadap produk komoditas mentah. Demi menangkal penyakit itu, Presiden Jokowi melakukan sejumlah upaya, salah satunya melalui program hilirisasi.
Reza Pahlevi
29 Desember 2022, 08.37
Button AI Summarize

Bank Dunia dalam laporan terbarunya mengingatkan Indonesia agar mewaspadai potensi terkena penyakit Belanda alias Dutch Disease. Penyakit ini adalah kondisi di mana ledakan komoditas justru menimbulkan efek buruk jangka panjang untuk perekonomian satu negara.

“Ketergantungan terhadap komoditas membuat Indonesia rentan terhadap ketidakstabilan harga dan terkena penyakit Belanda,” sebut Bank Dunia dalam laporan berjudul “Trade for Growth and Economic Transformation” yang diluncurkan 15 Desember 2022.

Istilah ini pertama kali diperkenalkan The Economist pada 26 November 1977. Majalah mingguan tersebut menganalisis dampak penemuan cadangan gas alam di Groningen pada 1959 terhadap perekonomian Belanda. 

Meski nilai ekspor migas terdongkrak, kontribusi hasil industri Belanda justru stagnan sejak 1974. Akibatnya ekonomi Belanda menjadi sangat tergantung pada komoditas. Lapangan pekerjaan di sektor industri pengolahan pun semakin merosot. 

Kurang dari sepekan sejak laporan Bank Dunia dirilis, Presiden Joko Widodo menyampaikan rencana larangan ekspor bauksit mulai Juni 2023. Sebelumnya, Indonesia telah melarang ekspor mineral mentah bijih nikel pada 2020 yang berbuntut gugatan Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Bukan Diagnosa Baru

Bukan kali ini saja Indonesia terdiagnosa berpotensi mengidap penyakit Belanda. Mengutip data Bank Dunia, nilai tambah industri pengolahan Indonesia merosot tajam sejak 2022. Dari 32% terhadap total produk domestik bruto (PDB) pada 2022 menjadi 19% pada 2021. 

Haryo Aswicahyono, Hal Hill, dan Dionisius Narjoko (2011) menjelaskan persoalan ini dalam artikel berjudul “Indonesian industrialization: A latecomer adjusting to crises”. Salah satu penyebab merosotnya kinerja industri pengolahan pada awal milenium kedua adalah minimnya pabrik baru yang masuk dalam industri. 

Krisis ekonomi yang puncaknya terjadi pada 1997-1998 menutup banyak pabrik. Meski ekonomi mulai kembali pulih pada 2004, tetapi pembangunan pabrik baru tidak menyamai kondisi sebelum krisis. 

“Padahal pertumbuhan ekonomi saat itu terus positif dalam empat tahun terakhir,” sebut mereka.

Perubahan tren manufaktur di Indonesia turut terlihat dari perubahan kontributor ekspor terbesar. Pada 2002, bahan bakar mineral adalah komoditas utama. Namun, produk hasil manufaktur seperti mesin dan perlengkapan berada di posisi kedua.

Susunan kontributor ekspor terbesar ini berubah drastis pada 2020. Bahan bakar mineral tetap menjadi yang utama. Akan tetapi, produk minyak hewani dan nabati (termasuk minyak sawit) merangsek di posisi kedua. Nilainya bahkan sudah mendekati bahan bakar mineral.

Pemerintah tidak mengabaikan hal ini. Presiden Joko Widodo beberapa kali menyoroti persoalan yang dia sebut sebagai “jebakan pengekspor bahan mentah” ini.

“Era kejayaan komoditas bahan mentah sudah berakhir, dan kita harus berani mengubah struktur ekonomi yang selama ini berbasis komoditas untuk masuk ke hilirisasi,” katanya saat peresmian pabrik sel baterai listrik di Karawang, 15 September 2021.

Jokowi panggilan akrab Presiden Joko mengatakan, fase selanjutnya setelah hilirisasi adalah Indonesia masuk ke industrialisasi. Tidak hanya mendapat nilai tambah, industrialisasi melepaskan ketergantungan Indonesia dari produk-produk impor.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira