Advertisement
Analisis | Tanpa Orang Superkaya, Berapa Pendapatan Orang Indonesia yang Riil? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Tanpa Orang Superkaya, Berapa Pendapatan Orang Indonesia yang Riil?

Foto: Ilustrasi/ 123RF
BPS mencatat rata-rata pendapatan orang Indonesia tahun 2022 naik 13,9% menjadi sekitar Rp5,9 juta per bulan. Namun, pendapatan yang mengacu kepada data PDB per kapita itu juga akumulasi pendapatan semua penduduk, termasuk orang-orang superkaya. Di tengah kesenjangan yang masih tinggi, berapa sebenarnya rata-rata pendapatan masyarakat Indonesia tanpa menghitung para superkaya itu?
Vika Azkiya Dihni
13 Februari 2023, 12.45

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia naik 13,9% menjadi Rp71 juta pada 2022. PDB per kapita menunjukkan rata-rata pendapatan setiap penduduk Indonesia. Angka ini diperoleh dari pembagian total PDB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun, tanpa membedakan orang kaya dan miskin.

Ini artinya, dari total 275,7 juta penduduk Indonesia rata-rata memiliki pendapatan sebesar Rp71 juta atau Rp5,9 juta per bulan pada tahun lalu. Pertanyaannya, apakah PDB per kapita dapat menggambarkan kesejahteraan penduduk? Pada kenyataannya, Indonesia masih menghadapi tingkat kesenjangan distribusi pendapatan yang relatif tinggi.

Rasio gini adalah indikator tingkat ketimpangan pendapatan relatif antarwilayah. Ukurannya antara 0 sampai 1. Semakin mendekati satu artinya tingkat ketimpangan makin lebar. Sebaliknya mendekati nol artinya distribusi pendapatan semakin merata. Di Indonesia, rasio gini tercatat sebesar 0,381 per September 2022. Angkanya relatif tidak mengalami perubahan dalam satu dasawarsa terakhir.

Rata-Rata Pendapatan Penduduk Indonesia

Tidak ada data resmi yang mencatat berapa penghasilan yang diperoleh kelompok kaya. Namun berdasarkan daftar kekayaan orang-orang terkaya di Indonesia yang dilansir Forbes, kumulatif kekayaan 50 orang terkaya Indonesia mencapai US$180 miliar atau sekitar Rp2.795,7 triliun pada tahun lalu. Angka ini setara dengan 14,2% terhadap PDB 2022 yang sebesar Rp19.588,4 triliun. Di sisi lain BPS mencatat jumlah penduduk miskin mencapai 26,4 juta orang atau 9,57% per September 2022.

Dalam kasus seperti ini, statistik yang didasarkan pada nilai tengah (median) sebetulnya dapat lebih menggambarkan kondisi nyata masyarakat karena lebih mewakili distribusi data. Sedangkan jika menggunakan rata-rata (mean) angkanya cenderung lebih besar karena akan ikut terkerek oleh para pemilik kekayaan terbesar. 

Kendati demikian, perhitungan median lebih sulit dilakukan karena membutuhkan seri data yang besar. Hal ini mengingat jumlah penduduk Indonesia yang tidak sedikit.

Kami melakukan simulasi untuk menghitung rata-rata PDB per kapita yang lebih realistis. Pertama, dengan mengecualikan kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia. Kedua, mengecualikan harta para superkaya ditambah 26,4 juta penduduk miskin. 

Pada simulasi pertama diperoleh angka per kapita yang cenderung lebih kecil, yaitu Rp60,9 juta per tahun pada 2022. Dengan pendapatan per kapita sebesar ini berarti rata-rata warga Indonesia kecuali orang-orang terkaya memiliki pendapatan sekitar Rp5 juta per bulan. Angka ini 10 kali lipat di atas  garis kemiskinan Rp535.547 per kapita per bulan atau Rp6,4 juta per tahun per September 2022.

Pada 2022, terdapat 26,4 juta penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Jika diasumsikan pendapatan mereka sama dengan garis kemiskinan, maka kumulatif kekayaan mereka adalah Rp14,1 triliun per bulan atau Rp169,4 triliun per tahun. Angka ini hanya 6% dari kumulatif 50 orang terkaya.

Alhasil pada simulasi kedua yang mengecualikan orang-orang terkaya dan kelompok miskin, maka rata-rata pendapatan per kapita di Indonesia adalah Rp66,6 juta. 

Angka yang muncul dari hasil simulasi ini menunjukkan adanya selisih antara PDB per kapita resmi yang dikeluarkan BPS dengan PDB per kapita yang mengecualikan orang-orang superkaya dan kelompok miskin. 

Dalam distribusi pendapatan masyarakat yang timpang, PDB yang disajikan per kapita tidak menggambarkan kondisi sebenarnya dalam masyarakat. Angkanya cenderung lebih besar karena terpengaruh harta orang kaya di mana perhitungannya menggunakan rata-rata.

Misalnya, ketika 10% dari anggota kelompok terkaya mengalami kenaikan penghasilan sampai tiga kali lipat, maka PDB akan meningkat. Meski begitu, faktanya, sebut saja 20% anggota kelompok kelas bawah masih dalam kondisi terpuruk.

Kesenjangan Antar-Wilayah

Tingkat kesenjangan pendapatan akan semakin terlihat jika dilihat berdasarkan wilayahnya. Meskipun perekonomian masih terpusat di Jawa, yakni berkontribusi 56,5% terhadap PDB nasional, tetapi secara per kapita Jawa bukan yang terbesar. Ini dikarenakan populasi di Jawa yang lebih besar dibandingkan wilayah lainnya. 

Dilihat secara per kapita, produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita di Kalimantan adalah yang terbesar disusul Sumatera. Rata-rata pendapatan per kapita penduduk di Pulau Kalimantan mencapai Rp104,57 juta pada 2022. Ini jauh di atas rata-rata PDB per kapita nasional.

Sementara rata-rata pendapatan per kapita di Pulau Bali dan Nusa Tenggara hanya Rp34,1 juta. Angka ini pun jauh di bawah rata-rata pendapatan per kapita nasional. 

Begitu pula jika melihat data per provinsi, DKI Jakarta memiliki rata-rata PDRB per kapita tertinggi. Pada 2022, rata-rata PDRB per kapita di provinsi ini mencapai Rp298,36 juta. Hal ini lantaran Jakarta merupakan pusat perekonomian nasional dan memiliki PDRB mencapai Rp3.186,5 triliun, terbesar nasional. Adapun jumlah penduduknya relatif lebih sedikit dibandingkan penduduk provinsi lain di Pulau Jawa.

Editor: Aria W. Yudhistira