Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit menular merebak di sejumlah daerah di tanah air. Baru-baru ini, Kabupaten Garut menetapkan KLB difteri karena telah menyebabkan delapan orang meninggal.
Difteri adalah penyakit infeksi di hidung dan tenggorokan yang ditandai gejala batuk akut, demam, lemas, dan pembengkakan kelenjar getah bening selaput lendir. Menurut Bupati Garut Rudy Gunawan, merebaknya kasus ini karena beberapa korban tidak memperoleh vaksin dasar lengkap, kata dia akhir Februari 2023 lalu.
Mundur ke belakang, sepanjang 2022 lalu, polio dan campak juga merebak menjadi KLB di berbagai wilayah Indonesia. Tiga kasus polio pada November 2022 teridentifikasi di Kabupaten Pidie, Aceh.
Padahal pada 2014, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyematkan label “bebas polio” kepada Indonesia.
Kemudian tercatat 22 provinsi melaporkan KLB Campak (2022) dengan jumlah kasus mencapai lebih dari 3.341 laporan. Kasus-kasus ini menyebar di 223 kabupaten/kota.
Sebaran KLB Campak berada di Sumatera Barat, Aceh, Sumatera Utara, Jambi, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Utara, NTT, Papua, dan Riau.
Provinsi Papua Tengah pada tiga bulan terakhir melaporkan hampir 400 kasus campak di tujuh kabupaten, yakni Nabire, Paniai, Puncak Jaya, Mimika, Puncak, dan Intan Jaya. Sebanyak 48 terkonfirmasi laboratorium positif campak, dan satu kasus rubela.
“Dua orang meninggal berasal dari Kabupaten Nabire, dan Kabupaten Paniai,” kata kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI Maxi Rein Rondonuwu seperti dilansir dari Antara News.
Di Papua, cakupan imunisasi measles dan rubela (MR) memang cuma 64,1% pada fase pertama (2022), lalu turun menjadi 48,6% pada imunisasi MR kedua
"Temuan di lapangan 87 kasus belum pernah imunisasi MR, bahkan status imunisasi dasarnya sebagian besar nol," lanjut Maxi.
Ancaman Penyakit Selain Campak dan Polio
Angka vaksinasi yang rendah menjadi faktor penyebab utama terjadinya KLB. Pandemi Covid-19 sempat diklaim menjadi periode penurunan angka vaksinasi. Ini disebabkan saat pembatasan sosial akses Posyandu yang biasa menyediakan imunisasi gratis bagi masyarakat terhenti.
Namun ketika ditelisik ulang, angka penurunan vaksinasi sudah terjadi sejak 13 tahun ke belakang, tepatnya sejak 2011, dan turun signifikan mulai 2010.
Secara umum selama 12 tahun, persentase balita yang sudah pernah mendapat imunisasi BCG turun 2,6%, DPT turun 3,3%, Polio turun 6,7%, dan Campak turun 7,5%.
Padahal vaksinasi dasar penting untuk mencegah tuberkulosis (BCG), menangkal difteri, batuk rejan (pertusis), dan tetanus (DPT), polio, campak, dan rubela.
Penyakit-penyakit tersebut hanya dapat dicegah dengan vaksin. Sebelum vaksin ditemukan, mereka menjadi penyakit paling ditakuti di dunia karena menyebabkan kematian.
Jika melihat angka cakupan imunisasi dasar lengkap pada balita yang mengalami penurunan, maka Indonesia masih berada di bawah ancaman berbagai penyakit menular.
Aceh dan Papua menjadi wilayah paling rentan karena nilai imunisasinya paling rendah se-Indonesia.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 tentang proporsi imunisasi dasar pada anak 12-23 bulan menyebut kedua wilayah ini berada jauh di bawah rata-rata nasional, yakni 57,9 persen.
Selain Aceh dan Papua, dari 34 provinsi di Indonesia ada 15 provinsi lagi yang punya proporsi imunisasi dasar anak di bawah rata-rata nasional. Artinya, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan jika pemerintah mau mencapai generasi muda yang lebih sehat dan berdaya.
Editor: Aria W. Yudhistira