Advertisement
Analisis | Bagaimana Riwayat Penanganan Banjir Jakarta dari Gubernur ke Gubernur? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Bagaimana Riwayat Penanganan Banjir Jakarta dari Gubernur ke Gubernur?

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Penanganan banjir adalah parameter keberhasilan gubernur DKI Jakarta. Melihat kondisi geografis Jakarta, hampir mustahil menghilangkan banjir dari kota ini. Berdasarkan data luasan wilayah banjir dan tingkat curah hujan, bagaimana pencapaian pemerintah provinsi DKI Jakarta mencegah ritual bencana tahunan tersebut?
Vika Azkiya Dihni
16 Maret 2023, 07.15

Banjir merupakan momok bagi gubernur DKI Jakarta. Siapa pun dia, parameter keberhasilan seorang gubernur dalam memimpin ibu kota adalah mengurangi banjir. Tak ada politisi yang berkampanye di Jakarta yang tak menjanjikan akan menghilangkan banjir. Kritik pedas warga mayoritas kerap berpusat di seputar isu tersebut.

Jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan perbaikan penanganan banjir merupakan harapan warga Jakarta pada 2023. Dalam survei yang dilakukan Oktober 2022, tercatat 25,9% responden menginginkan tidak ada lagi banjir besar di kota ini, terutama yang menyebabkan aktivitas terhambat dan menimbulkan korban jiwa.

Masyarakat kelas ekonomi bawah yang tinggal di perkampungan padat dan di bantaran sungai paling merasakan dampak banjir. Sebanyak 45,8% responden kelompok ekonomi bawah menyatakan tidak puas dengan kehidupan dan pemerintahan Jakarta.

Banjir Jakarta dari Tahun ke Tahun

Berdasarkan data informasi bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kejadian banjir di Jakarta fluktuatif dalam dua dekade terakhir. Jumlah tertinggi terjadi pada 2020, di mana terdapat 58 kejadian.

Meski demikian, jumlah kejadian saja tidak cukup untuk menggambarkan kondisi banjir di Jakarta. Hal ini lantaran banjir tidak lepas dari tingkat curah hujan. Jadi, untuk membandingkan kondisi banjir perlu dilihat juga data curah hujannya.

Menurut situs Pantau Banjir Jakarta, dimensi drainase kota Jakarta dirancang untuk menampung debit air dengan curah hujan maksimal 120 mm per hari. Namun pada beberapa kejadian hujan besar ekstrem, curah hujan melebihi kapasitas tersebut. 

Biasanya curah hujan tertinggi di Jakarta terjadi sekitar Januari dan Februari. Karena itu, banjir kerap melanda ibu kota pada bulan-bulan tersebut.

Pemprov DKI Jakarta mencatat pada 2002, saat dipimpin Sutiyoso, curah hujan tertinggi pernah tercatat di angka 168 mm per hari. Ketika itu, banjir menggenangi area seluas 168 km2 yang mencakup 353 RW.

Setiap gubernur sebetulnya sudah berupaya menanggulangi banjir, meski kebijakan dan programnya berbeda-beda. Di era Sutiyoso, pemprov mengupayakan pencegahan banjir dengan pengerukan kali dan pembangunan pompa air. 

Ketika itu pemerintah juga berupaya agar banjir 2002 tidak terulang kembali. Anggaran sebesar Rp721 miliar dialokasikan untuk meneruskan proyek Banjir Kanal Timur (BKT) yang sempat tertunda.

Kendati demikian, curah hujan ekstrem terjadi pada 2007. Tepatnya pada 2 Februari 2007 curah hujan mencapai 340 mm per hari. Dengan intensitas itu, wilayah yang terendam banjir lebih luas. Sebanyak 955 RW tergenang, dan banjir baru surut dalam waktu 10 hari.

Curah hujan ekstrem kembali terjadi pada 2013 ketika gubernur DKI Jakarta dijabat Joko Widodo (Jokowi). Namun intensitasnya tak separah pada 2007. Jumlah RW yang tergenang pun menurun dan waktu surut menjadi 7 hari.

Upaya mengendalikan yang dilakukan Jokowi dengan melakukan pelebaran serta pengerukan kali dan waduk. Jokowi juga memperbaiki tanggul, pendirian posko bantuan di titik-titik yang terkena banjir, relokasi pengungsi ke rumah susun, dan sebagainya.

Pada Februari 2015, Jakarta kembali dilanda banjir besar. Tingkat curah hujan tercatat mencapai rata-rata 277 mm. Dengan curah hujan tersebut, wilayah yang terdampak banjir mencapai 281 km2 dan mencakup 702 RW.

Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang menggantikan Jokowi, menambahkan beberapa upaya penanganan seperti menyiagakan tanggul pencegah banjir dan beberapa pompa untuk mengalirkan air.

Hujan yang lebih ekstrem terjadi lagi di Jakarta pada 2020. Curah hujan pada waktu itu mencapai 377 mm per hari, lebih tinggi dibandingkan saat banjir besar 2007 yang sebesar 340 mm. Meski demikian, luas wilayah yang terkena banjir lebih sedikit. Banjir pun lebih cepat surut. 

Pada masa pemerintahan Anies Baswedan, Pemprov DKI fokus membuat drainase vertikal atau sumur resapan. Tujuannya agar air yang terdapat di daratan dapat langsung masuk ke tanah. 

Sumur resapan sebetulnya pertama kali digagas dan dibangun saat Joko Widodo menjabat gubernur pada 2012. Pada waktu itu, terdapat total 19.106 sumur resapan. Pembangunan sumur resapan semakin masif di era Anies yang berhasil membangun 29.374 sumur atau sebanyak 7.344 sumur per tahun. 

Makin Cepat Surut 

Tidak mudah untuk menghilangkan banjir di Jakarta. Selain karena curah hujan yang tinggi, secara geografis DKI Jakarta merupakan dataran rendah yang berada di antara hulu sungai dan pesisir. Dataran di Jakarta diibaratkan mangkok karena berada di wilayah dataran rendah dan memiliki 13 aliran sungai, 

Jika hujan dengan intensitas tinggi terjadi di daerah hulu sungai, air akan terbawa melalui sungai yang melintasi Jakarta sebelum lepas ke laut. Kondisi ini yang membuat sungai yang bermuara di Jakarta meluap dan mengakibatkan banjir.

Meski masih terdapat wilayah yang terendam banjir, data selama kurun 2013-2020 menunjukkan pemerintah DKI Jakarta cukup berhasil mengendalikan banjir dari tahun ke tahun. Hal ini salah satunya terlihat dari durasi genangan banjir yang menurun. Begitu pula dengan ketinggian debit air yang juga cenderung turun.

Rata-rata ketinggian banjir maksimal pada 2014 adalah 240 cm. Angka ini terus turun hingga 2020 dengan ketinggian rata-rata air maksimal mencapai 145 cm. Sedangkan ketinggian air minimal relatif stabil berkisar antara 5-15 cm.

Mengatasi banjir di Jakarta merupakan pekerjaan jangka panjang dan berkesinambungan. Apalagi kondisi geografi Jakarta yang memang langganan banjir. Siapapun gubernurnya, banjir merupakan masalah yang tak mudah dihilangkan dalam waktu singkat.

Editor: Aria W. Yudhistira