Advertisement
Analisis | Daya Tarik Caleg Artis di Panggung Politik Indonesia - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Daya Tarik Caleg Artis di Panggung Politik Indonesia

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Sejumlah partai politik menggaet para artis sebagai bakal calon legislatif (bacaleg) untuk Pemilu 2024. Kehadiran figur publik tersebut dinilai jadi daya tarik pemilih untuk mencoblos partai politik. Apakah para artis dapat juga memberikan warna baru di panggung politik kita?
Andrea Lidwina
25 Mei 2023, 10.57

Dari 18 partai politik peserta Pemilu 2024, sembilan partai politik di antaranya mendaftarkan artis dan figur publik sebagai bakal calon anggota legislatif (bacaleg). Beberapa sosok masih duduk di parlemen saat ini, sementara yang lainnya merupakan nama-nama baru di dunia politik.

Misalnya, PDI Perjuangan mendaftarkan 14 orang dari kalangan artis dan seniman untuk berebut kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sejumlah nama sudah santer terdengar sejak pemilu sebelumnya, seperti Rano Karno, Rieke Diah Pitaloka, dan Kris Dayanti.

Pada pemilu tahun depan, PDI Perjuangan menambah amunisi dari kalangan tersebut. Beberapa nama yang tak asing di telinga publik, seperti Once Mekel, Denny Cagur, dan Tamara Geraldine masuk daftar bacaleg yang siap bersaing dalam kontestasi politik lima tahunan mendatang.

Partai politik lain pun tidak mau kalah. Berdasarkan catatan Katadata.co.id, Partai Perindo memiliki sembilan orang artis dan figur publik dalam daftar bacaleg untuk DPR. Jumlah itu diikuti Partai NasDem dan PAN masing-masing dengan delapan orang, kemudian Partai Gerindra dengan tujuh orang.

PKB dan Partai Demokrat sama-sama mendaftarkan lima orang artis dan figur publik sebagai bacaleg DPR. Begitu pula dengan PSI sebanyak tiga orang dan PKS satu orang.

Ramainya artis dan figur publik dalam pemilu sebetulnya bukan hal baru di Indonesia. Sebanyak enam orang dari kalangan tersebut melenggang ke Senayan pada periode 2004-2009. Jumlahnya bahkan naik dua kali lipat menjadi 15 orang pada periode 2009-2014.

Namun, dalam 10 tahun terakhir, jumlah anggota DPR yang berprofesi sebagai artis dan figur publik tercatat stagnan. Ada sebanyak 15 orang yang terpilih pada periode 2014-2019 dan sebanyak 14 orang pada periode 2019-2024.

Artinya, memajukan artis sebagai caleg menjadi salah satu strategi partai politik dalam pemilu. Peneliti senior Populi Center Usep Saepul Ahyar mengatakan, partai politik membutuhkan popularitas para artis untuk meningkatkan elektabilitas partai politik sendiri, seperti dikutip dari Koran Tempo.

Pasalnya, artis dan figur publik sering muncul di media yang dikonsumsi masyarakat, seperti YouTube dan televisi, sehingga sudah dikenali atau familiar bagi para pemilih. Tak hanya itu, mereka pun punya basis penggemar yang umumnya siap mendukung idolanya.

Modal-modal itu dibutuhkan partai politik agar masyarakat memilih sang artis, yang berarti memilih partai politik itu pula. Dengan begitu, partai politik bisa mengantongi kursi di parlemen.

Namun, menurut Usep, partai politik harusnya mengandalkan ide dan gagasan caleg untuk menaikkan keterpilihannya dalam pemilu, bukannya mengambil langkah instan tersebut.

Efektifkah Caleg Artis Mengerek Elektabilitas Partai Politik?

Partai politik yang berhasil mengerek elektabilitasnya karena melibatkan artis dapat dilihat dari kasus raja dangdut Rhoma Irama. Meski, beberapa faktor lain sebetulnya juga turut andil dalam keberhasilan tersebut.

Pada Pemilu 1977, perolehan suara PPP mengalahkan Golkar di DKI Jakarta dan DI Aceh. Sementara, secara nasional, PPP mengantongi 29,29% total suara, meningkat sekitar 2,2% ketimbang Pemilu 1971. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatakan kenaikan itu terjadi lantaran sejumlah tokoh Masjumi ikut tampil mendukung PPP.

Bersamaan dengan itu, Rhoma menjadi simpatisan dan juru kampanye partai Ka’bah. Ia sering tampil membawakan musik dangdut dalam kegiatan-kegiatan kampanye, sehingga sukses mendatangkan dan menghibur massa di acara politik tersebut.

Rhoma juga terlibat di PKB jelang Pemilu 2014. Bahkan, dia sempat diusung sebagai calon presiden dari partai politik tersebut. Baliho-baliho besar dengan gambar Rhoma sedang menunggang kuda dipasang di sejumlah lokasi di Jakarta sejak November 2013, seperti dikutip dari detikNews.

Alhasil, pada Pileg 2014 yang dilaksanakan enam bulan kemudian, perolehan suara PKB meningkat dua kali lipat ketimbang pileg sebelumnya. Angkanya yang sebesar 4,95% pada Pileg 2009 menjadi 9,04% pada Pileg 2014.

Andrew Weintraub dalam bukunya Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music (2010) berpendapat keberhasilan Rhoma menggaet massa—dan akhirnya suara dalam pemilu—tak lepas dari musik dangdut yang dibawakannya.

Menurut Weintraub, dangdut umumnya diasosiasikan sebagai musik rakyat. Lirik lagu-lagunya dinilai mewakili “aspirasi dan keinginan” mayoritas penduduk Indonesia. Lirik-lirik itu “sederhana, mudah dipahami, dan memanfaatkan situasi sehari-hari yang dekat dengan audiens.”

Namun, musik dangdut nyatanya tidak sesederhana itu. Dalam sebuah wawancara, seperti dilansir dari buku tersebut, Rhoma menggunakan dangdut untuk membentuk gagasan politik dan moral rakyat.

“Jika kita ingin merah, mereka (rakyat) akan jadi merah. Jika kita ingin putih, mereka akan jadi putih. Untuk itu, kita perlu menyelaraskan lirik, rasa, dan penampilan agar tujuan kita tercapai,” kata Rhoma.

Rhoma adalah tokoh sentral dalam sejarah dangdut di Indonesia. Dia seolah perpanjangan tangan masyarakat—menyampaikan aspirasi khalayak luas melalui lagu-lagunya—yang muncul di tengah ketidakberpihakkan pemerintah Orde Baru.

Selain itu, Rhoma yang kerap tampil sebagai pemeran utama dalam film-filmya selalu digambarkan sebagai pahlawan. Hal ini membuat beberapa penggemar “merasa berdaya (empowered)” atas sosok hero tersebut.

Dengan kepiawaian meracik dan menampilkan musik dangdut, ditambah persona sebagai pahlawan, Rhoma berhasil menarik perhatian dan simpati masyarakat kala itu. Sang raja dangdut lantas menjadi mesin pencetak suara bagi partai politik.

Kasus Rhoma Irama di atas menunjukkan popularitas saja tidak cukup untuk membuat artis dan figur publik punya jalan mulus ke parlemen. Mereka membutuhkan ikatan dan hubungan yang dekat dengan masyarakat agar mendapat dukungan sepenuhnya.

Pencalonan para artis secara instan tak jarang melahirkan cara-cara yang praktis pula. Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan mungkin para artis terpilih jadi anggota DPR karena bisa mengimbangi popularitas mereka dengan politik uang.

Bagaimana Kiprah Artis Anggota DPR di Parlemen?

Meski popularitas tidak selamanya menjamin langkah artis dan figur publik menuju Senayan, sejumlah orang dari kalangan itu nyatanya berhasil duduk di sana, bahkan lebih dari satu periode. Merujuk situs DPR, mayoritas artis di parlemen pada 2019-2024 hanya menjabat sebagai anggota di komisi masing-masing.

Rinciannya, Nico Siahaan, Nurul Arifin, Rachel Mariam, dan Muhammad Farhan di Komisi I. Eko Patrio, Tommy Kurniawan, Mulan Jameela, dan Rieke Diah Pitaloka di Komisi VI. Arzeti Bilbina dan Kris Dayanti ada di Komisi IX, kemudian Primus Yustisio ada di Komisi XI.

Harvey Malaiholo yang baru masuk melalui mekanisme penggantian antarwaktu (PAW) juga menjabat sebagai anggota di Komisi V. Rano Karno dan Desy Ratnasari bertugas sebagai anggota di Komisi X, sementara Dede Yusuf menjadi satu-satunya artis yang menjadi wakil ketua di komisi tersebut.

Artinya, para artis di DPR belum memiliki kapasitas atau diberi kepercayaan untuk memimpin sebuah komisi. Jabatan anggota komisi pun bisa menjadi ajang belajar bagi para artis sebagai wakil rakyat.

Sejalan dengan itu, melansir BBC Indonesia, pengamat politik dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus mengatakan kinerja para artis dan figur publik kurang memuaskan, baik dalam menyampaikan gagasan maupun dalam kerja-kerja legislasi.

Berdasarkan catatan kami, secara keseluruhan, sebanyak 20 RUU dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) disahkan DPR menjadi undang-undang sepanjang 2020 hingga April 2023. Jumlah itu lebih sedikit ketimbang periode 2015-2019 yang sebanyak 34 RUU Prolegnas.

“Jadi, tidak bisa dikatakan ada dampak positif yang mereka bisa tunjukkan di parlemen setelah menjadi anggota DPR,” kata Lucius.

Editor: Aria W. Yudhistira